Selasa, 08 Januari 2013

KOSMOLOGI BATAK

KOSMOLOGI BATAK (I): 

SANG MAHA PENCIPTA SEMESTA ALAM BESERTA ISINYA

Kosmologi --menurut  Kamus Besar Bahasa Indonesia--, yakni ilmu yang menyelidiki asal-usul, struktur dan hubungan ruang-waktu dari alam semesta;  dan juga ilmu (cabang dari metafisika) yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan. 


Pemahaman suku Batak kuno mengenai semesta bahwa: alam semesta merupakan suatu system yang berhubungan satu sama lain; tidak terjadi begitu saja melalui suatu proses; tetapi karena daya kreasi yang luar biasa dari yang tidak ada menjadi ada oleh suatu kekuasaan yang melebihi apa pun yang ada di semesta.

Sang Maha Pencipta semesta alam beserta segala isinya menurut kepercayaan Batak Kuno adalah Ompu Mulajadi Na Bolon (Sang Maha Pencipta yang Akbar) yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. 
Etimologinya:
  • Ompu = Mpu, panggilan hormat terhadap yang lebih tinggi (tertinggi) status dan kedudukannya.
  • Mula   = mula, awal, pertama,
  • Jadi    = cipta, menciptakan, menjadikan
  • Na       = yang
  • Bolon = maha, besar, akbar.

Pemahaman atau kepercayaan ini tidak serta merta atau timbul begitu saja atau bersumber dari pengetahuan (parbinotoan) manusia, pemujaan terhadap roh (hasipelebeguon), hadatuon (perdukunan), kesurupan (siar-siaran) atau kisah turun temurun (turi-turian) melainkan melalui wahyu atau istilah Batak Kuno adalah “Tondi na Badia” (Roh yang Kudus) dari Ompu Mulajadi Na Bolon kepada Si Raja Batak.

Wahyu inilah sebagai sumber yang “manuturi (mengilhami, menasihati, memandu), marmeme (menuntun, mengarahkan), marorot (mengawasi, menjaga)” untuk nilai-nilai dasar religi, budaya dan tata masyarakat Batak sebelum masuknya ajaran agama ke Tanah Batak tahun 1820-1850-an.


KOSMOLOGI BATAK (II): 

TIGA RUANG KOSMOS (BANUA NA TOLU)

Menurut kepercayaan Suku Batak, alam semesta terbagi  atas tiga ruang kosmos, yaitu
  • Banua Ginjang (Dunia Atas),
  • Banua Tonga (Dunia Tengah), dan
  • Banua Toru (Dunia Bawah). 

Ketiga Banua ini disebut Banua Na ToluBanua Ginjang, terdiri dari 7 (tujuh) tingkatan langit (langit si pitu lampis), dan tempat paling tinggi dari yang tertinggi (di ginjang ni ginjangan) sebagai tempat ilahi (surga) kedudukan Ompu Mulajadi Na Bolon.  Banua Tonga, sebagai bumi, tempat manusia dan segala makhluk berinteraksi dengan lingkungan alamnya dalam melaksanakan kehidupan, dan Banua Toru tempat Raja Padoha atau Naga Padoha dan para begu, yakni arwah orang yang telah meninggal.
 
Ketiga banua tersebut saling terkait satu sama lain, Banua Ginjang mengendalikan kehidupan di Banua Tonga dan Banua Toru.

KOSMOLOGI BATAK (III): 

HARIARA SUNDUNG DI LANGIT


Hariara Tungkot Harajaon Sisingamangaraja
di Huta Sinambela, Negeri Bakara (Foto, 2006)

Kesatuan ketiga kosmos (banua na tolu) dilambangkan dengan pohon Hariara Sundung di Langit atau Hariara Jambu Barus atau Baringin Tumbur Jati atau Baringin Tumbur Tua.  Pohon ini berada di lingkungan ketiga banua, dedaunan serta pucuknya berada di Banua Ginjang batang dan cabang-cabangnya di Banua Tonga, dan akarnya menembus Banua Toru.

Hariara Sundung di Langit  mempunyai cabang delapan yang mengarah ke delapan penjuru mata angin. Kedelapan arah mata angin (Desa na Ualu) yaitu Timur (Purba/Habinsaran), Tenggara (Anggoni), Selatan (Dangsina), Barat Daya (Nariti), Barat (Pastima/ Hasundutan)
Barat Laut (Manabia), Utara (Otara),  Timur Laut (Irisanna).

“Sangkamadeha” Pohon Kehidupan Orang Batak

 

 

 “Sangkamadeha” diartikan sebagai pengekspresian hidup dan kehidupan manusia dalam dunia nyata dengan segala kebanggaan dirinya.
Budayawan dari kabupaten Toba Samosir, Monang Naipospos, menuturkan, “sangkamadeha” merupakan penggambaran pohon kehidupan pemberian sang pencipta (Mulajadi Nabolon) kepada manusia.
Sejak muda hingga tua, pohon ini tumbuh tegak lurus dan tajuknya “sundung” (menuju) langit.
Hidup di dunia dalam pertengahan usia adalah perkembangan sangat subur dan optimal, berkaya-nyata untuk dirinya dan orang lain.
“Hasangapon, hagabeon dan hamoraon, adalah gambaran kesuburan yang dinikmati atas karunia sang khalik, “ujar Monang.
Biji berkecambah, tumbuh tunas, kemudian mekar. Dahan mengembang ke samping dan ke segenap penjuru angin, bagaikan tangan-tangan membentang (mandehai). Tumbuh makin matang (matoras) dan semakin kuat (pangko).
Dalam bahasa Batak, Monang menyebutnya,”torasna jadi pangkona”, diartikan sebagai kedewasaan yang dibarengi kebiasaan-kebiasaan hidup yang menjadi tabiat. Dalam kiasan (umpasa) Batak disebut “torasna jadi pangkona, somalna jadi bangkona”.
Menjelang ujur, tajuk semakin tinggi dan tetap menuju ke atas. Di masa tua, upaya pencapaian “sundung di langit” semakin terarah. Dari sana awalnya datang, di sana juga berakhirnya. Inilah akhir hidup manusia. Semua menuju ke penciptanya.
Perjalanan kehidupan manusia diakhiri, dan “sundung” ke alam penciptaan. Semua yang diperoleh di alam nyata, dunia fana, akan ditinggalkan.
Menurut Monang, kebanggaan terpuji adalah tabiat yang baik dan benar, sesuai hukum dan adat istiadat. disebut sebagai “hasangapon”.
Cabang dan ranting yang banyak akan mempengaruhi kerimbunan dedaunan. Akar yang kokoh dan kerimbunan daun (hatoropon) sebagai gambarannya. Banyaknya populasi, disebut “hagabeon”.
“Buah adalah biji disertai zat bermanfaat untuk pertumbuhan dan stimulant kepada mahluk hidup untuk menyebarkannya. Ada buah, ada pemanfaat dan ada pertumbuhan. Inilah yang disebut “hamoraon, “ujarnya.
“Parjuragatan”, mengartikan tempat bergelantungan ke sumber penghidupan. Sumber penghidupan ada beragam, seperti apa yang diberikan secara langsung (material) dan tidak langsung (non-material).
Pemimpin adalah “parjuragatan”, di mana ditemukan keadilan dan pencerahan.
Dia adalah “urat” (akar) hukum dan keadilan. Orang kaya (namora) adalah “parjuragatan”. Karena akar, memberi kehidupan material, penyambung hidup,
Kekayaan dengan `banyaknya buah`, bila tidak ada manfaat bagi orang lain, tidak akan ada yang berperan `menaburnya`.
Dia akan seperti ilalang yang menebar biji oleh tiupan angin karena tidak ada memberi manfaat dari buahnya bagi mahluk lain.
Kekurangan harta disebut “napogos” (miskin). Bila hartanya hanya cukup untuk bekal satu tahun disebut “parsaetaon” (pra sejahtera).
Bila sudah bisa menabung untuk cadangan pengembangan disebut “naduma” (sejahtera). Bila harta sudah menumpuk disebut `paradongan”.
“Namora” adalah sebutan kehormatan untuk yang aktif menolong sesama dengan harta bendanya sendiri. Jabatan ini, juga disandang dalam “harajaon” yang diartikan sebagai bendahara.
Kepada Raja dan “namora” disebut akar dari hukum dan kehidupan.
“Raja urat ni uhum, namora urat ni hosa”, jelas Monang.
Bila ada orang yang memiliki banyak harta, tapi tega membiarkan manusia di sekitarnya kelaparan, dia tidak dapat disebut “namora”, tapi “paradongan” atau “pararta.
Jika seseorang bermohon kepada Yang maha Kuasa “hamoraon”, jabarannya adalah harta benda, berikut hati yang iklas untuk mau dan mampu melakukan pertolongan kepada sesama manusia.
Monang menyebutkan, ada yang membedakan “hau sangkamadeha” dengan hau parjuragatan dan hau sundung di langit.
Menurut penjelasan beberapa orang tua dan pandai mengukir (gorga), bahwa penggambarannya adalah satu, tapi penjelasannya beragam.
Banyak yang memitoskan sebutan itu seperti pohon yang tumbuh di alam penciptaan, sehingga banyak yang tidak memahami pemaknaan beberapa perkataan itu dalam satu penggambaran.
Pada rumah “gorga” lama, gambaran “hau sangkamadeha” ini selalu dilukiskan dalam dinding samping agak di depan. Dalam penggambarannya kadang ada yang menyertakan gambar burung dan ular membelit.
Kayu yang berbuah selalu dihinggapi burung pemakan buah. Ular pun datang ke pohon itu, untuk memangsa burung (marjuragat). Semua mahluk berhak hidup, seperti manusia diberi hidup, menjadi bagian dari ekosistem.
Namun, dari semua mahluk yang “marjuragat” dalam pohon hidup, hanya manusia yang memahami “sundung di langit”.
Ada pemahaman lain yang dijelaskan, bahwa dalam menjalani hidup harus cermat dan teliti karena banyak musuh yang mengintip.
Sejak pemahaman barat masuk ke batak, dan mereka mengetahui penjelasan dari pohon (hau sangkamadeha), ada anjuran untuk tidak membuat lukisan itu lagi dalam rumah adat Batak.
Pemahaman itu dianggap sesat. Sehingga, kemudian banyak rumah adat batak dibangun tidak menggambarkannya lagi. Tapi, diganti dengan gambar orang barat yang membawa hal baru, yang cenderung menyesatkan budaya batak.
Pemerhati budaya, Baginda Sahat Napitupulu, tinggal di Malaysia, menilai, orang Batak zaman dulu, cukup genius. Sebab, mereka mampu menggambarkan serta merumuskan tentang pohon kehidupan.
“Banyak filosopi yang dapat dimaknai dari sangkamadeha yang mengambarkan posisi kita sebagai orang batak. Apakah terkategori `napogos`, `parsaetaon`, `naduma`, `paradongan` dan `namora/harajaon`, “ujarnya.
Tapi, kata dia lagi, jika sudah jadi “namora”, jangan lupa membantu orang di sekeliling. Sanak saudara yang masih butuh bantuan. Kalau bisa, bantuannya jangan hanya dalam bentuk uang/materi. Melainkan, kemudahan pendidikan dan pengembangan keahlian.
Martua Sidauruk, praktisi hukum dari Jakarta, menyampaikan idenya, untuk melakukan invetarisasi tentang nilai “habatahon” di bidang hukum.
Alasannya, dia contohkan dalam “hukum kontrak”. Hukum adat Batak, jauh lebih maju dan bersifat universal dari hukum nasional.
Antara lain, disebutkannya, semua praktisi hukum umumnya mengetahui, hukum kontrak bersifat universal. Di dalamnya, terkandung satu prinsip, janji lebih kuat daya ikatnya dari undang-undang.
Tapi, kata dia lagi, daya mengikatnya hanya berlaku bagi mereka yang membuat perjanjian saja. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dilanjutkannya, dalam hukum adat batak, ada sebuah umpasa “Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang. Togu na nidok ni uhum, toguan na ni dok ni padan”.
Artinya, kata Martua, ikrar (padan) bagi orang batak, tidak hanya berlaku bagi mereka yang membuat padan itu saja, tapi secara turun temurun.
Makanya, sebut Martua, kita sering mendengar dan menemukan, adanya pantangan atau tabu tertentu, serta ikatan tertentu bagi satu marga dengan marga lain. Juga, sesama satu rumpun marga tertentu untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Bahkan, lanjutnya “pinompar” (keturunan) dari orang yang membuat padan tersebut, hingga hari ini masih menghormati dan tidak berani melanggar padan itu. Alasannya, antara lain, takut akibat pelanggaran yang dilakukan.
Dalam hal ini, keistimewaan padan atau janji dari orang Batak bukan hanya bersifat legalistik, tetapi juga bersifat magis.
Bicara tentang budaya Batak dulu dan sekarang, cenderung diklaim sebagai kekeliruan (haliluon).
Sejatinya, kebebasan berpikir tanpa terikat satu doktrin, akan menguraikan nilai budaya Batak secara total, semampunya berdasarkan pemahaman yang utuh tanpa dilatari kepentingan golongan tertentu.