Sabtu, 06 April 2013

’Arisan’ Kematian di Bululangkan



Tana Toraja terkenal akrab dengan kematian, tradisi yang melekat sejak animisme masih dianut. Salah satu kegiatan yang masih berlangsung sehubungan dengan itu adalah ma’nene, ziarah kubur dengan membersihkan dan mengganti pakaian para jasad. Wartawan Tempo, Irmawati, berkesempatan mengikuti warisan aluk todolo (adat orang dulu) ini di Desa Bululangkan, Kecamatan Rindingallo, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, September lalu.
Jasad Esra Lumbaa yang masih utuh, meninggal 11 tahun lalu. (Irmawati)
PULUHAN peti jenazah beraneka usia berjejer di depan setiap patane atau rumah makam keluarga. Setelah tiga tahun, baru peti-peti itu dikeluarkan. Wujudnya macam-macam. Ada yang polos, ada yang berukir khas Toraja. Beberapa jasad dalam peti masih terbungkus rapi, sebagian lainnya ada yang kotor berdebu. Nama-nama yang tercantum di masing-masing kain sulit dibaca.
Di samping puluhan peti itu, terdapat bungkusan jenazah lain tanpa peti. Bentuknya seukuran tubuh manusia yang dibalut kain tebal. ”Nek Banaa tak suka dikasih peti,” kata Sarlota Sanda, putrinya.
Di patane sebelah, tiba-tiba terdengar sorak-sorai. Keluarga yang sedang membuka peti mayat para leluhurnya itu tampak kegirangan. Satu mumi laki-laki sedang dipegang dalam posisi berdiri. Ia tampak utuh. Massa tubuhnya sedikit mengecil, meski tingginya bak orang normal. Namanya: Bapak Esra Lumbaa. Menurut keluarga, ia wafat pada 1998.
Jeprat-jepret kamera langsung terjadi, baik dengan kamera saku, handycam, maupun telepon seluler. Beberapa orang minta difoto bersama mumi-mumi itu. Tak ada rasa takut. Ada yang menciumi mumi-mumi tersebut berulang-ulang.
Tapi, dalam hitungan menit, ekspresi kegirangan itu segera berganti. Tawa berubah menjadi tangisan. Lambat-laun tangisan saling bersambut hingga terdengar seolah berkejaran satu sama lain. Setelah senang melihat wujud jasad yang masih utuh, kali ini mereka mengutarakan rindu dan kesedihan mereka, sepeninggal orang-orang kesayangan itu ke alam baka. Suasananya seperti drama sebuah arisan berkala dengan mereka yang telah pergi selamanya.
***
Jasad Markus moli, yang wafat 2002. (Irmawati)

’Arisan’ berkala itu adalah ma’nene atau upacara penggantian kain jenazah yang menjadi wujud rasa hormat kepada para leluhur, atau semacam ziarah kubur. Ma’nene, yang artinya menanam bunga, adalah warisan aluk todolo (adat orang dulu) saat masyarakat masih menganut kepercayaan animisme. Prosesi ini digelar setelah pesta rambu solo, upacara pemakaman yang sering juga disebut pesta kematian, dan sebelum rambu tu’ka atau pesta naik rumah Tongkonan—rumah asli Toraja dengan atap menyerupai perahu.
Kepada antropolog Toby Alice Volkman, yang menuliskannya dalam buku Feast of Honor, Ritual and Change in The Toraja Highlands, seorang warga Toraja mengatakan bahwa dalam tradisi ma’nene, mereka yang masih mempercayai tradisi aluk ini harus ikut serta, yang paling miskin sekalipun. Ia biasanya diadakan pada Agustus, setelah mereka yang mati dikuburkan dan sebelum musim tanam dimulai. Di sejumlah daerah upacara ini diadakan hanya lima atau sepuluh tahun sekali.
Kali ini penyelenggaranya adalah Desa Bululangkan, Kecamatan Rindingallo, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Toraja Utara adalah kabupaten baru, hasil pemisahan dari Kabupaten Tana Toraja. Beberapa kecamatan di Toraja Utara yang masih menggelar prosesi ini adalah Rindingallo, Ampang Batu, Kantun Poya, Baruppu, Awan, dan Sesean.
Desa Bululangkan berjarak sekitar 50 kilometer dari Kota Rantepao, pintu masuk wilayah Tana Toraja. Jarak ini jika kita menempuh jalur Tikala yang saat ini hanya bisa dilalui dengan kendaraan roda dua. Jika bermobil, jalan yang harus dipilih adalah berputar melalui Lolai sehingga jaraknya lebih jauh dan medannya pun lebih berat karena kondisi jalan yang rusak. Di desa ini ma’nene disepakati digelar setiap tiga tahun.
Menurut Yunus Lumbaa, 53 tahun, tujuan prosesi ma’nene zaman dulu adalah menyembelih kerbau bagi mereka yang saat pemakaman belum melakukannya. Kini ma’nene tetap digelar, meski tujuannya lebih untuk mengingat leluhur dan menjaga silaturahmi keluarga. Apalagi ma’nene sering digunakan untuk ajang berkumpul mereka yang merantau.
Menumpang Toyota Avanza, Tempo dan tiga wartawan lain pada akhir Agustus lalu bergerak menuju Desa Bululangkan. Matahari sudah tampak, meski udara terasa dingin. Mobil mendaki dataran tinggi berbelok-belok, melalui banyak persimpangan dengan kondisi jalan yang hanya kadang-kadang mulus. Kontur daerahnya berbukit-bukit dengan vegetasi yang rapat. Udara sungguh segar. Kabut tebal menyelimuti meski waktu sudah menunjukkan lewat pukul tujuh pagi.
Setiba di Lembang (Desa) Bululangkan, suasana terasa sunyi. Tak banyak warga lalu-lalang di rumah-rumah seperti lazimnya permukiman. Menyusuri jalan menuju bukit, sebagian orang mulai tampak. Di sisi sebelah kiri jalan terdapat enam buah patane: satu dari kayu, lima lainnya dari bangunan beton. Di situ banyak warga desa berkumpul. Mereka mengeluarkan peti-peti jenazah dan jasad yang terbungkus kain tebal dari dalam makam. Tak ada yang terganggu oleh kedatangan orang asing atau turis di lokasi.
Foto keluarga dengan mereka yang diganti kain jasadnya. (Irmawati)
Sebagian warga sudah mulai membuka lapisan-lapisan kain yang berisi jasad keluarga mereka. Tampak potongan tulang dari bagian tubuh ataupun kepala. Sambil dibersihkan, sebagian ditebar dan dijemur di bawah terik matahari pagi. Beberapa warga nongkrong, menikmati bekal mereka. Kaum lelaki mengisap rokok dan meminum kopi hitam. Nyaris tak ada bau apa pun dari jasad yang terbuka itu. Kalaupun ada yang tercium oleh hidung, yang terasa menyengat adalah bau kemenyan dan kapur barus.
Sarlota Sanda, 54 tahun, hadir di situ dengan tiga saudaranya, Debora Tumba’ (56), Samaa Moli’ (52), dan Benyamin Bondo (40). Namun, tak seperti keluarga Lumbaa, keluarga Sarlota hanya membuka sebagian. Jasad kedua orang tua mereka, Moli Sesa’ dan Nek Banaa, dikeluarkan dari peti, kemudian dibuka sepertiga pada bagian atas saja, sehingga yang kelihatan hanya muka dan kepala.
Dari penglihatan Tempo, bagian kepala jasad Moli Sesa’ terlihat agak basah. Ada balutan perban. Semacam daun-daunan sirih dan tembakau yang agak halus memenuhi beberapa pancaindranya, seperti di bagian mulut, hidung, telinga, dan mata. Jasad istrinya, Nek Banaa, terlihat kering-keropos, berwarna cokelat tua, dan rapuh seperti kertas. Semasa hidup Moli Sesa’ bertani serta berdagang kerbau dan kopi. Kini diteruskan oleh Samaa, anak lelakinya.
Di patane sebelah, kini giliran ibunda mumi laki-laki tadi yang dibuka petinya. Namanya Mama Sara. Agar semua warga bisa melihat, mumi perempuan tua ini juga dipegang oleh keluarga dalam keadaan berdiri. Ia terlihat masih sangat utuh, bahkan hingga ke wajah. Drama itu pun terulang kembali, dari suasana gembira dan tertawa-tawa hingga ke tangisan menyayat yang dilakukan keras-keras.
Kepala Lembang Bululangkan, E Ungke Toding Allo, 40 tahun, mengatakan sorak-sorai itu terjadi karena keluarga gembira menemukan jasad yang masih utuh dan bisa dikenali. ”Kondisi jasad yang utuh itu kebanggaan bagi keluarga yang ditinggal,” katanya. Adapun suasana haru dan sedih yang menyusulnya adalah pertanda para keluarga mengenang kehidupan tubuh-tubuh yang mati itu kala masih bersama mereka.
Banyak cerita bisa diperoleh dari peti-peti itu. Misalnya warna kain pembungkus jasad: ada yang polos, bermotif, tapi yang dominan adalah warna merah polos. Dalam penggunaan kain, merah menempati status sosial tertinggi. Untuk bisa menggunakan kain merah polos, keluarga harus memotong minimal tujuh ekor kerbau saat upacara rambu solo atau upacara pemakaman.
Yunus Lumbaa memberi contoh. Saat orang tua Thomas Seba, 69 tahun, wafat pada 1960, keluarganya belum mampu sehingga hanya memotong seekor kerbau. Mereka tak berhak menggunakan kain merah sebagai pembungkus jasad. Baru pada 1981, ketika Thomas yang merantau ke Papua sudah punya uang, ia mengorbankan delapan ekor kerbau untuk orang tuanya. Dengan kata lain, jasad orang tuanya sudah berhak mengenakan kain merah polos. Kini aturan soal kain itu sudah tak terlampau ketat lagi karena jenis kain yang tampak sudah beraneka ragam: ada pakaian bekas, sarung, seprai, bahkan karung terigu.
Ada lagi cerita tentang ukurannya, yang berbeda-beda karena sesuai dengan bentuk tubuh orang yang wafat. Seperti jasad-jasad di patane milik keluarga Ajun Komisaris Polisi Simon Moli. Jumlahnya ada sebelas—enam jasad orang dewasa dan lima jasad anak-anak berbagai usia. Yang paling kecil berukuran seperti bantal guling kecil dengan panjang 40 sentimeter. Kata Ne’ Maria, 70 tahun, jasad terkecil itu adalah anaknya yang meninggal saat masih dalam kandungan, berusia 5 bulan. ”Saat itu saya keguguran,” katanya. Setiap ma’nene, jasad yang satu itu hanya dijemur tanpa pernah dibuka kain bungkusannya.
Di patane lain, tampak keluarga memegang dengan gembira tiga jasad orang tua yang masih utuh, meski sudah wafat lebih dari dua dasawarsa lalu. Salah satunya perempuan, terlihat dari rambutnya yang panjang. Mumi tua ini bernama Nek Sombo Allo, yang meninggal di usia 80 tahun.
Setelah dibersihkan dan sedikit dijemur di bawah sinar matahari, bungkusan jasad-jasad itu kemudian dirapikan kembali. Kain-kain yang sudah kurang bagus dibuang dan kain yang masih bagus tetap dipakai, ditambah beberapa helai kain baru. Setelah rapi, sebagian kemudian diikat dengan tali rafia atau tali dari sobekan sarung bekas. Yang tidak diikat langsung dimasukkan kembali ke peti.
***


Setelah ”arisan” dengan jenazah itu rampung, berikutnya adalah ”arisan” dengan handai taulan. Ini biasa disebut ne pare lapuk atau acara bersyukur bersama menutup ma’nene. Ini digelar di Rante, lapangan khusus yang memiliki batu-batu menhir di sekelilingnya. Batu-batu ini konon simbol tokoh masyarakat kampung yang telah wafat. ”Semakin besar batu,” kata E Ungke Toding Allo, Kepala Lembang Bululangkan, ”semakin tinggi kedudukannya.”
Penutupan prosesi yang sedianya digelar pada Minggu ditunda karena hari itu adalah jadwal warga mengikuti kebaktian. Di sore hari, beberapa anak muda tampak bermain sepak takraw di lapangan Rante. Dekat dari situ terdapat rumah Tongkonan yang berusia ratusan tahun. Tongkonan ini sudah berlumut dan pada bagian atapnya sudah ditumbuhi tanaman pakis atau semacam benalu yang cukup lebat.
Para orang tua memanggil anak-anak agar membantu mereka membuat pa’piong, masakan dari daging babi yang dimasukkan ke bambu lalu dibakar—makanan wajib Mappakende. Anak-anak membantu mengangkat babi yang telah diikat dan memegang kakinya ketika badik menikam ternak itu tepat pada jantungnya. Darah yang mengalir ditampung di botol. Setelah itu, mereka berlarian menyiapkan kayu dan ranting bambu untuk membakar babi yang sudah disembelih tersebut. Anak-anak perempuan lalu menyiapkan bumbu pa’piong, seperti daun bawang, bawang putih, cabai, merica, garam, dan daun-daunan setempat. Kurang dari 30 menit, bulu-bulu babi tadi bersih dilahap api dan babi itu tampak kaku dengan tubuh yang hitam gosong. Setelah dikeluarkan isi perutnya dan dipotong kecil-kecil, potongan-potongan itu kemudian dimasukkan ke beberapa batangan bambu berukuran setengah meter, lalu dibakar.
Keesokan harinya, pagi-pagi, warga terlihat mulai berdatangan ke Rante. Mereka menggelar tikar. Di atasnya mereka menata makanan yang akan disantap bersama. Acara akan dimulai pukul 08.00 Waktu Indonesia Tengah. Hadirin dari anak-anak hingga mereka yang berusia lanjut hadir. Salah satunya Nek Rande, tokoh masyarakat yang usianya lebih dari 100 tahun. Tampak juga beberapa tamu dari desa tetangga, seperti rombongan dari Lembang Punglu, Kecamatan Buntu Pepasa. Rombongan ini dipimpin Bapak Pore, 40 tahun.
Kerabat melakukan foto bersama dengan salah satu jasad.
Sempat terjadi diskusi pembagian daging; beberapa orang berpendapat daging dibagi rata untuk semua, ada pula yang berpendapat daging dibagi untuk mereka yang menyumbang saja. ”Ta bagi ratai to, ri ma sumbang,” kata Yunus Lumbaa. Kerbau dibeli seharga Rp 6,5 juta, sedangkan total sumbangan mencapai dua pertiganya. Penyumbang memberi dengan nilai nominal yang berbeda-beda, mulai Rp 40 ribu hingga Rp 2 juta—nilai nominal terbesar yang disumbang Thomas Seba. Kerbau yang dikorbankan dalam upacara penutupan ini tak boleh utangan. Mesti lunas.
Akhirnya disepakati daging kerbau dibagi rata untuk semua. Daging lantas dipotong-potong seukuran setengah sampai satu kilo, lalu ”plok!” dilemparkan ke hadapan masing-masing warga. Di tempat lain boleh jadi hal ini kurang sopan, tapi begitulah adat di Bululangkan.
Daging habis, yang tersisa tinggal kepala kerbau di tengah lapangan. Kini giliran kepala babi, bagi mereka yang membuat pa’piong, yang dikumpulkan. Totalnya 37 ekor. Semuanya kemudian dilelang dengan harga bervariasi, dari Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu. Setelah semuanya terjual, dana yang terkumpul mencapai Rp 4,35 juta, yang disumbangkan untuk enam gereja di Bululangkan.
Sang pemandu acara, Yunus Lumbaa, sejenak beristirahat. Ia minum tuak nira dari batang bambu sebagai pengganti gelas. Setelah itu, ia kembali berdiri di tengah Rante dan berdialog. Kini ia menagih utang dan janji-janji warga yang belum diselesaikan. Hasil tagihan dan sumbangan, sebesar Rp 26 juta, dikumpulkan untuk pembangunan fasilitas umum desa.
Thomas Seba, sebagai anak rantau yang pulang dengan harta melimpah, lantas mengumumkan: ma’nene berikutnya akan digelar pada 2012. Pengumuman ini dilanjutkan dengan kebaktian bersama yang dipimpin seorang pendeta Bululangkan. Acara pun ditutup dengan makan bersama. Warga membuka bekal masing-masing, yakni pa’piong dalam berbagai rupa—ada yang bumbunya agak hitam, ada yang cokelat pucat, ada juga yang kekuningan. Tamu seperti Pore mendapat pa’piong utuh, masih dalam batang bambunya. Jumlahnya hingga 17 buah. ”Akan kami bawa pulang untuk dibagi-bagi kepada warga desa kami,” katanya.
Setelah makan, ”arisan” pun ditutup dengan warga beramai-ramai berjalan menuju tanah lapang tepat di halaman gereja, sekitar 1 km dari Rante. Di situ, para pria dewasa, minimal 12 tahun, beradu kaki sebagai perlambang kejantanan dalam olahraga sisemba. Siapa pun yang ikut harus menanggung akibatnya sendiri bila terluka, patah, atau bahkan meninggal dunia. Sekitar seratusan orang terlibat. Dalam riuhnya gerak tubuh dan kaki mereka yang beradu, beberapa orang sempat hampir adu jotos meski kemudian dapat didamaikan. Dengan damai seluruh prosesi ”arisan” pun usai.
Sumber: (By Irmawati–Intermezo, Majalah Tempovol. 38 no. 34, Edisi Oktober 2009)

Gunung Merapi Legenda dan Mythos

Gunung Merapi

Gunung Merapi (2914 meter) hingga saat ini masih dianggap sebagai gunung berapi aktif dan paling berbahaya di Indonesia, namun menawarkan panorama dan atraksi alam yang indah dan menakjubkan. Secara geografis terletak di perbatasan Kabupaten Sleman (DIY), Kabupaten Magelang (Jateng), Kabupaten Boyolali (Jateng) dan Kabupaten Klaten (Jateng). Berjarak 30 Km ke arah utara Kota Yogyakarta, 27 Km ke arah Timur dari Kota Magelang, 20 Km ke arah barat dari Kota Boyolali dan 25 Km ke arah utara dari Kota Klaten.


Menurut Atlas Tropische Van Nederland lembar 21 (1938) terletak pada posisi geografi 7 derajad 32.5' Lintang Selatan dan 110 derajad 26.5' Bujur Timur. Dengan ketinggian 2914 m diatas permukaan air laut. Berada pada titik persilangan sesar Transversal perbatasan DIY dan Jawa Tengah serta sesar Longitudinal lintas Jawa (lihat Triyoga Lucas Sasongko 1990, Manusia Jawa & Gunung Merapi Persepsi dan Sistem Kepercayaanya, Gadjahmada Univ. Press). Meletus lebih dari 37 kali, terbesar pada tahun 1972 yang menewaskan 3000 jiwa. Terakhir meletus pada Selasa Kliwon tanggal 22 November 1994, dengan korban tewas lebih dari 50 orang


Mitologi G. Merapi.


Untuk memahami mitologi Gunung Merapi tidak bisa terlepas dari filosofi Kota Yogyakarta dengan karaton sebagai pancernya. Kota ini terbelah oleh sumbu imajiner yang menghubungkan Laut Kidul, Parangkusumo - Panggung Krapyak - Karaton - Tugu Pal Putih dan Gunung Merapi. Secara filosofis hal ini dibagi menjadi dua aspek, yaitu Jagat Alit dan Jagat Ageng.


Jagat alit, yang mengurai proses awal-akhir hidup dan kehidupan manusia dengan segala perilaku yang lurus sehingga terpahaminya hakekat hidup dan kehidupan manusia, digambarkan dengan planologi Kota Yogyakarta sebagai Kota Raja pada waktu itu. Planologi kota ini membujur dari selatan ke utara berawal dari Panggung Krapyak, berakhir di Tugu Pal Putih. Hal ini menekankan hubungan timbal balik antara Sang Pencipta dan manusia sebagai ciptaannnya (Sangkan Paraning dumadi).


Dalam perjalanan hidupnya manusia tergoda oleh berbagai macam kenikmatan duniawi. Godaan tersebut dapat berupa wanita dan harta yang digambarkan dalam bentuk pasar Beringharjo. Adapun godaan akan kekuasaan digambarkan oleh komplek Kepatihan yang kesemuanya berada pada sisi kanan pada jalan lurus antara kraton dan Tugu Pal Putih, sebagai lambang manusia yang dekat dengan pencipta-Nya (Manunggalaing Kawula Gusti).


Jagat Ageng, yang mengurai tentang hidup dan kehidupan masyarakat, di mana sang pemimpin masyarakat siapapaun dia senantiasa harus menjadikan hati nurani rakyat sebagai isteri pertama dan utamanya guna mewujudkan kesejahteraan lahir bathin bagi masyarakat dilandasi dengan keteguhan dan kepercayaan bahwa hanya satu pencipta yang Maha Besar. Jagat Ageng ini digambarkan dengan garis imajiner dari Parangkusuma di Laut selatan - Karaton Yogyakarta - Gunung Merapi. Hal ini lebih menekankan hubungan antara manusia yang hidup di dunia dimana seorang manusia harus memahami terlebih dahulu hakekat hidup dan kehidupannya sehingga mampu mencapai kesempurnaan hidup (Manungggaling Kawula Gusti).


Gunung Merapi menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa, diyakini sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai "swarga pangrantunan", dalam alur perjalanan hidup yang digambarkan dengan sumbu imajiner dan garis spiritual kelanggengan yang menghubungkan Laut Kidul - Panggung krapyak - Karaton Yogyakarta - Tugu Pal Putih - Gunung Merapi. Simbol ini mempunyai makna tentang proses kehidupan manusia mulai dari lahir sampai menghadap kepada sang Maha Pencipta.


Menurut foklor yang diceritakan oleh Juru Kunci Merapi yang bernama R. Ng. Surakso Hargo atau sering disebut mbah Marijan disebutkan bahwa konon Karaton Merapi ini dikuasai oleh Empu Rama dan Empu Permadi. Dahulu sebelum kehidupan manusia, keadaan dunia miring tidak stabil. Batara Guru memerintahkan kepada kedua Empu untuk membuat keris, sebagai pusaka tanah Jawa agar dunia stabil. Namun belum selesai keburu mengutus para Dewa untuk memindahkan G. Jamurdipa yang semula berada di Laut Selatan ke Pulau Jawa bagian tengah, utara Kota Yogyakarta (sekarang) dimana kedua Empu tersebut sedang mengerjakan tugasnya. Karena bersikeras berpegang pada "Sabda Pendhita Ratu" (satunya kata dan perbuatan) serta tidak mau memindahkan kegiatannya, maka terjadilah perang antara para Dewa dengan kedua Empu tadi yang akhirnya dimenangkan oleh kedua Empu tersebut.


Mendengar kekalahan para Dewa, Batara Guru memerintahkan Batara Bayu untuk menghukum keduanya dengan meniup G. Jamurdipa sehingga terbang diterpa angin besar ke arah utara dan jatuh tepat diatas perapian dan mengubur mati Empu Rama dan Permadi. Namun sebenarnya dia tidak mati hanya berubah menjadi ujud yang lain dan akhirnya menguasai Kraton makhluk halus di tempat itu. Sejak itu arwahnya dipercaya untuk memimpin kerajaan di Gunung Merapi tersebut. Masyarakat Karaton Merapi adalah komunitas arwah mereka yang tatkala hidup didunia melakukan amal yang baik. Bagi mereka yang selalu melakukan amalan yang jelek arwahnya tidak bisa diterima dalam komunitas mahluk halus Karaton Merapi, biasanya terus nglambrang kemana-mana lalu hinggap di batu besar, jembatan, jurang dsb menjadi penunggu tempat tersebut.


Menurut cerita rakyat yang lain yang juga diceritakan oleh mbah Marijan : Konon pada masa kerajaan Mataram tepatnya pada pemerintahan Panembahan Senopati Pendiri Dinasti Mataram (1575-1601). Panembahan Senopati mempunyai kekasih yang bernama Kanjeng Ratu Kidul, Penguasa Laut Selatan. Ketika keduanya sedang memadu kasih dia diberi sebutir "endhog jagad" (telur dunia) untuk dimakan. Namun dinasehati oleh Ki Juru Mertani agar endog jagad tersebut jangan dimakan tapi diberikan saja kepada Ki Juru Taman. Setelah memakannya ternyata Juru Taman berubah menjadi raksasa, dengan wajah yang mengerikan. Kemudian Panembahan Senopati memerintahkan kepada si raksasa agar pergi ke G. Merapi dan diangkat menjadi Patih Karaton Merapi, dengan sebutan Kyai Sapujagad. (Marijan 1996, wawancara)


Labuhan & Selamatan


Sebagai perwujudan kepercayaan Karaton Mataram terhadap keberadaan sekutu mistisnya yaitu Karaton Kidul (di Samodera Indonesia) dan Karaton Merapi ini, maka diselenggarakan prosesi Labuhan. Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya persembahan. Upacara adat karaton Mataram (Yogyakarta dan Surakarta) ini sebagai perwujudan doa persembahan kepada Tuhan YME agar karaton dan rakyatnya selalu diberi keselamatan dan kemakmuran. Labuhan biasanya diselenggarakan di beberapa tempat antara lain di : G. Merapi, Pantai Parangkusumo, G. Lawu dan Kahyangan Dlepih. Biasanya dilaksanakan untuk memulai suatu upacara besar tertentu seperti Tingalan Jumenengan. Barang-barang milik raja yang dilabuh antara lain : Semekan solok, semekan, kain cinde, lorodan layon sekar, guntingan rikmo, dan kenoko selama setahun, seperangkat busana sultan dan kuluk kanigoro.


Disamping labuhan ada beberapa upacara selamatan yang lain yang dilakukan oleh masyarakat setempat, seperti : Sedekah Gunung, Selamatan Ternak, Selamatan Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, Selamatan Mencari Orang Hilang, Selamatan Orang Kesurupan, Selamatan Sekul Bali, Selamatan Mengambil Jenazah, Selamatan Menghadapi Bahaya Merapi, dll. Dua diantaranya ditunjukkan oleh Upacara Becekan dan Upacara Banjir Lahar berikut ini.


Upacara Becekan, disebut juga Dandan Kali atau Memetri Kali yang berarti memelihara atau memperbaiki lingkungan sungai, berupa upacara meminta hujan pada musim kemarau yang berlangsung di Kalurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Air sungai sangat penting bagi penduduk setempat untuk keperluan pertanian. Konon sesudah diadakan upacara biasanya segera turun hujan sehingga tanah menjadi becek maka lalu disebut becekan. Becek diartikan juga sebagai sesaji berujud daging kambing yang dimasak gulai. Dusun yang melaksanakan upacara ini antara lain : Dusun Pagerjurang, Dusun Kepuh dan Dusun Manggong. Penyelenggaraannya dibagi menjadi beberapa tahap: Pertama, memetri sumur di Dusun Kepuh (di kawasan itu hanya dusun ini yang memiliki sumur); Kedua, Upacara Becekan dilakukan di tengah-tengah Sungai Gendol; Ketiga upacara khusus di masing-masing dusun. Upacara ini dimaksudkan untuk berdoa memohon hujan kepada Tuhan YME agar tanah menjadi subur, sehingga warga menjadi sehat, aman, selamat dan sejahtera. Waktu penyelenggaraan, menggunakan pranotomongso yaitu pada mongso kapat dan harinya Jumat Kliwon, jika pada mongso kapat tidak terdapat Jumat Kliwon diundur pada mongso kalimo, sebab hari itu dianggap keramat. Upacara ini dipimpin oleh seorang modin dan diikuti oleh warga ketiga dusun. Perlu diketahui bahwa seluruh rangkaian acara ini harus dilakukan/diikuti oleh kaum laki-laki dan sesaji sama sekali tidak boleh disentuh oleh wanita serta kambing untuk sesaji harus kambing jantan.


Upacara Banjir Lahar, tradisi penduduk sekitar gunung berapi, khususnya dalam menanggapi bencana lahar. Salah satunya bisa disaksikan di Dusun Tambakan, Desa Sindumartani, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, sebagai salah satu desa yang sering dilewati bencana lahar (dingin atau panas) dari Gunung Merapi.


Upacara ini berupa doa mohon keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan YME bagi segenap penduduk agar terhindar dari marabahaya, disertai dengan peletakan sesaji berupa kelapa muda di sungai yang diperkirakan akan dilewati lahar. Hal ini dilakukan bila telah melihat tanda-tanda alam akan datangnya bencana lahar yang telah mereka kenal secara turun temurun.


Penduduk yang bermukim di tepi sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi kadang mendengar suara-suara aneh di malam hari, misalnya gemerincing suara kereta kencana yang lewat. Konon merupakan pertanda bahwa Karaton Merapi sedang mengirimkan rombongan dalam rangka hajat untuk mengawinkan kerabatnya dengan salah satu penghuni Karaton Laut Kidul. Hal itu ditafsirkan sebagai pertanda mistis bahwa sebentar lagi akan terjadi banjir lahar yang akan melalui sungai itu, sehingga bagi mereka yang tahu akan segera membuat langkah-langkah pengamanan dan penyelamatan.


Adapun tujuan dari penyelenggaraan berbagai prosesi selamatan tersebut konon adalah untuk berdoa memohon keselamatan dan kelimpahan rejeki kepada Tuhan YME serta memberi sedekah kepada makhluk halus penghuni Merapi agar tidak mengganggu penduduk, damai dan terbebas dari marabahaya, sehingga tercipta satu harmoni antara manusia dan lingkungan alam. Apabila perilaku manusia negatif maka maka alampun akan negatif pula.


Konsep keseimbangan yang menjadi kearifan penduduk sekitar Gunung Merapi merupakan implementasi dari nilai-nilai yang mereka percaya bahwa para penghuni akan murka ketika menyimpang dari kaidah-kaidah alam yang benar dan seimbang. Letak harmoninya tidak saja terletak pada sesaji yang disediakan namun pada perilaku yang selalu diusahakan untuk tidak nyebal (menyimpang) dari kaedah-kaedah keseimbangan alam, yang selalu selaras serasi dan seimbang untuk menjaga keutuhan ekosistem.



Mbah Maridjan Dikawal Lengkap Ketika Menghadap Eyang Merapi

http://4.bp.blogspot.com/_19j87EQervM/RiToqbrM3pI/AAAAAAAAAUQ/BV7fsAbQCcs/s320/mbah%2Bmarijan.jpg
Orang Jawa dalam kehidupannya sejak zaman prasejarah bahkan sampai sekarang masih memegang kuat KEPERCAYAAN terhadap hal-hal yang berbau mistik. Hal demikian tidak lepas dari unsur Sejarah, unsur Agama (terutama Hindu dan Budha) dan unsur kepercayaan Animisme. Sebab kepercayaan manusia diresmikan dengan legenda dan setiap legenda didasarkan pada sejarah.
Orang yang tinggal di daerah Gunung Merapi percaya bahwa ada Keraton Mahluk Halus di gunungnya yang mirip Kraton Mataram dalam dunia manusia. Maka tak heran bila nama Eyang Merapi dianggap sebagai penguasa alias pimpinan seluruh lelembut  penghuni Gunung Merapi. Bahkan para praktikan kebatinan mampu melihat kemegahan Keraton Merapi yang indah gemerlap tersebut dengan mata batinnya.
Eyang Merapi tidak sendiri dalam mendiami Gunung teraktif di dunia ini, ada Eyang Panembahan Sapu Jagat yang diberi kepercayaan sebagai juru kunci kawah Merapi, yang berkuasa untuk membuka kawah bila sudah tiba saatnya akan meletus. Eyang Sapu Jagat mempunyai staf juga yaitu Kyai Grinjing Wesi dan Kyai Grinjing Kawat.
http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQ2TMKbxn9rrKnLTtcDnvM68Ff6fdg5YQft3fWLYrshUHEl4kc&t=1&usg=__Sid0b06NjDzl1rf6_uqakCi2IBw=
Pembantu Eyang Merapi lainnya adalah Eyang Megantara yang memiliki kewenangan mengendalikan cuaca di sekitar Merapi, hujan atau panas tergantung Eyang Megantara. Eyang Merapi juga menugaskan Nyi Gadung Melati untuk menjaga kesuburan tetumbuhan di sekitar Merapi. Tokoh berikutnya sebagai pembantu Penguasa Merapi adalah Eyang Antaboga. Makhluk dari bangsa jin ini mendapat tugas cukup berat karena harus selalu menjaga keseimbangan gunung agar tidak melorot tenggelam ke dasar bumi.
Adalagi nama tokoh yang sering disebut masyarakat sekitar Gunung Merapi yaitu Kyai Petruk. Pemuka jin ini bertugas memberi wangsit mengenai waktu meletusnya Merapi, termasuk juga memberi kiat-kiat tertentu kepada penduduk agar terhindar dari ancaman bahaya lahar panas Merapi. Dipundak jin inilah keselamatan penduduk tergantung. Sedang pemimpin roh halus ketujuh yang khusus mengatur arah angin adalah Kyai Sapu Angin. Pemuka jin kedelapan yang tugasnya menjaga sembari mengatur teras keraton Merapi adalah Kyai Wola-Wali.
Adapun Kartadimejo, tokoh kesembilan ini bertugas sebagai komandan pasukan makhluk halus sekaligus menjaga ternak serta satwa gunung, termasuk memberi kepastian kepada penduduk tentang kapan tepatnya Merapi meletus. Jin terakhir ini kerap mendatangi penduduk sehingga namanya cukup terkenal di kalangan penduduk Merapi.
Seperti layaknya sebuah Keraton, tentu saja masih banyak tokoh-tokoh yang mendiami Keraton Merapi selain yang sudah disebutkan di atas.
Mbah Maridjan sendiri konon mampu berkomunikasi dengan beberapa penunggu Gunung Merapi, maka tak heran dia selalu menunggu WANGSIT dari Kyai Petruk untuk tindakan selanjutnya bila Gunung Merapi mengeluarkan gelagat mau meletus. Lewat Kyai Petruklah Mbah Maridjan sudah puluhan tahun menjadi Juru Kunci Gunung Merapi selalu selamat dari akibat letusannya.
Selama ini memang sudah terbukti bahwa dimana Mbah Maridjan tinggal yaitu desa Kinahrejo  selalu luput dari ancaman bahaya lahar panas atau Wedhus Gembelnya Merapi, desa yang konon termasuk desa kesayangan Eyang Merapi itu juga menjadi sebuah representasi dari sebuah suasana kehidupan yang serba nyaman dan tentram.
Dalam bahasa Mbah Maridjan alias Raden Mas Panewu Surakso Hargo ini bahwa gejolak di Gunung Merapi diterjemahkan sebagai “eyang” yang melenggahinya sedang punya hajat membangun “keraton”. Mbah Maridjan yang pantang menggunakan istilah “Gunung Merapi meletus”, menjelaskan bahwa di saat eyang sedang punya hajat semua orang di lingkungan Merapi harus sabar, tabah dan tawakal.
Memang letusan Merapi tahun ini cukup hebat dan berlangsung cukup lama, konon Eyang Merapi tengah punya HAJAT BESAR yang dimulai sejak tanggal 10-10-2010 lalu. Untuk itu ia mengundang juru kunci Merapi sebagai wakil dari Keraton Jogjakarta untuk menghadap ke Keratonnya. Mbah Maridjan mungkin sudah menerima wangsit yang berupa “undangan” dari Eyang Merapi, maka ia tak beranjak untuk meninggalkan kediamannya demi menerima undangan sang penguasa Gunung Merapi itu.
Desa Kinahrejo akhirnya menjadi sasaran letusan Gunung Merapi setelah sekian puluh tahun selalu selamat, dalam terawang mistik, Mbah Maridjan dijemput para pengawal Eyang Merapi untuk berangkat ke Keratonnya. Namun Mbah Maridjan tidak berangkat sendirian, ia juga “membawa” pengawal lengkap, mulai dari tenaga medis dari PMI, Wartawan dari Vivanews, Tentara Nasional Indonesia (TNI), juga warga biasa dengan berbagai profesi, yang meninggal bersama Mbah Maridjan saat itu. Meninggalnya Mbah Maridjan dalam posisi bersujud itu bisa ditafsirkan dari sisi mistik bahwa Mbah Maridjan memang tengah sujud kepada utusan Eyang Merapi yang mengundangnya.
Sementara ahli Numerologi juga mempunyai catatan tersendiri tentang Mbah Maridjan ditinjau dari angka-angka kejadian, makna nama sang Juru Kunci berikut tanggal bulan dan tahun peristiwanya.
http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSuHMb6HtLIDzInWmV2t6uWMNs04gUwU91pzgktYsLdSfwaO_w&t=1&usg=__MktF5Coim-yGnWcQFdwapeJn2Z4=
Lepas dari cerita di atas, memang seluruh kepercayaan manusia Jawa terhadap gunung berunsur kepercayaan animisme dari zaman prasejarah sampai sekarang, termasuk kepercayaan tentang mahluk halus, roh leluhur yang mendiami macam-macam tempat adalah kepercayaan animisme. Walau demikian ada unsur positif dalam setiap ritual kepercayaan itu, bekerjasama menjaga alam dan seisinya sebagai salah satu amanat Tuhan Allah kepada manusia. Setiap Gunung mempunyai cerita mistisnya, alam raya menyimpan banyak misterinya, dan budaya Jawa melakukan ritual tradisinya sebagai unsur peninggalan nenek moyang yang tak lepas dari fungsi sebuah Keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Negara mawa tata, desa mawa cara artinya negara punya peraturan, desa dengan tradisinya. Setiap desa memiliki tradisi sendiri yang berbeda dengan desa yang lain. Tiap-tiap negara atau daerah memiliki keunikan tersendiri, entah dari segi bahasa, seni, budaya, atau adat istiadat. Tidak bisa dikatakan begitu saja mana yang lebih baik atau mana yang lebih buruk, tergantung pada warganegara atau penduduknya menghayati adat atau tradisi mereka.
Gunung Merapi mempunyai tradisi, Eyang Merapi yang mendiami, Orang Jawa NGALAP BERKAH jangan disalahkan, sebab menurut filosofi kerohanian Jawa, dibenarkan.

Penampakan Hantu Gunung Merapi

http://gambarfotohantu.com/wp-content/uploads/2008/05/hantu-kepala311.jpg
Imel memang sudah bertunangan dengan Erik, bertunangan artinya dalam tahap melatih bagaimana menyesuaikan diri dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan citarasa pribadinya. Masa pertunangan merupakan masa perwujudan saling percaya dan saling membina. Itulah langkah pertama cinta yaitu mewujudkan tanggung jawab seorang aku terhadap seorang engkau.
Cinta memang lambang keabadian, bagi seorang wanita cinta adalah seluruh riwayat hidupnya, namun bagi seorang lelaki hanyalah sebuah episode. Pertunangan itu ideal namun perkawinanlah yang yang real. Imel sudah membayangkan akan mengenakan gaun putih dari kain yang bercahaya, wajahnya semakin cantik dengan riasan khas pengantin, kain tule sebagai kerudungnya, lalu dibelakangnya ada dua gadis kecil menjadi 
'bruid-meisjes' yang mengangkat 'sluier' manakala kain panjang itu menyapu lantai gereja menuju altar.
Kemudian umat di kiri kanan akan berdiri mengikuti tangan sang pendeta yang berdiri di mimbar, sementara paduan suara dengan merdu bakal menyanyikan salah satu lagu ciptaan Mozart atau Bach. Namun lagu itu tak jadi merdu, justru berubah menjadi ratapan panjang, entah kapan berakhirnya.
Hampir tiga bulan hati Imel berkabung. Dan selama itu ia selalu mengigau, seakan ia tak percaya bahwa Erick tunangannya telah hilang di Gunung Merapi saat mendaki seorang diri. Mama papanya tak henti-henti menghibur dengan doa.
"Seperti Ayub, semakin dekat manusia pada Tuhannya, semakin sering pula dicobai iblis. Tetapi bila mampu bertahan, Tuhan akan memberi ganti lebih dari yang pernah ia punya." kata sang papa suatu kali.
"apa maksudnya papa selalu berbicara tentang GANTI? Papa mestinya tahu, tidak ada lelaki yang bisa mengggantikan Erik!" teriak Imel tak mampu menyumbat emosinya.
Sang papa tetap tenang, dengan lembut dan bijaksana dia meredam letupan emosi Imel.
"Nak, barangkali ini memang maksud Tuhan. Tuhan tak mungkin memutar dan mengubah masa lalu. Hidup seperti matahari, redup dan bersinar silih berganti. Kita harus bisa menerima kenyataan ini untuk mengurangi kesedihan hati."
"Tidak! Papa harusnya bilang kalau Erik masih hidup. Erik tidak mati!" teriak Imel histeris.
Sang papa semakin kuatir, sang mama sudah tak bisa membendung air matanya. Apakah anaknya sudah tidak waras? Dan kekuatiran itu semakin terjawab ketika paginya Imel menghilang, entah ke mana? Keduanya panik, segera menghubungi polisi dan semua orang ikut sibuk. Tapi semua tak 
ada yang tahu keberadaannya.
 *****
"Kau sungguh gila Imel, pergi diam-diam dan minggat ke rumahku, nanti aku dituduh menculikmu, gimana?!" kataku kaget ketika Imel pagi-pagi sudah menggedor rumahku tanpa memberitahu terlebih dahulu.
"Mas Toni, saya minta tolong," Imel meluncurkan kalimat pertamanya.
"Minta tolong apalagi Imel?"
"Antarkan aku naik ke Gunung Merapi?"
"Hah? Bukankah Erik sudah dinyatakan hilang oleh tim SAR dan para pendaki lain yang ikut mencarinya waktu itu. Untuk apa lagi naik ke sana?"
"Saya hanya percaya mas Toni sebagai teman paling dekatnya kak Erik. Saya penasaran dan merasa kak Erik masih hidup dan menungguku di puncak sana."
Aku tak bisa mengelak lagi, segera saja aku berkemas menyiapkan segala keperluan untuk mendaki seperti  tenda, kompor gas kecil, nesting, senter, double jaket, celana, syal dan sebagainya, walau saya memastikan tidak akan naik sampai puncak, saya kuatirkan Imel tidak akan mampu bertahan dalam pendakian, karena ia memang tidak pernah mendaki gunung.
 Dan mobil kami meluncur ke arah Jogya, ke desa Pakem. Karena dari jalur itulah dulu Erik naik ke puncak Gunung Merapi. Walau ia berangkat sendirian, tapi dalam pendakian sudah berteman dengan banyak pendaki lainnya.Sayang dalam pendakian itu Erik dinyatakan hilang. Berminggu-minggu ditelusuri berbagai sudut Merapi tak ada jejaknya sama sekali. Erik 
dinyatakan hilang begitu saja.
*****
Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Sleman, menjadi tujuan pertama kami. Menemui Mbah Maridjan sebagai juru kuncinya dan menceritakan tujuan kami untuk pendakian ini. Dan Mbah Maridjan dengan senyum khasnya menceritakan keangkeran Gunung Merapi dengan bahasa Jawa khasnya.
Diceritakan bahwa Gunung Merapi ada penghuninya yang bertindak sebagai tokoh jahat yaitu Mak Lampir, tokoh setengah manusia setengah jin. Penguasa Merapi sendiri namanya Eyang Merapi, Gunung Merapi bila dilihat dengan mata batin adalah sebuah Keraton yang megah, namun tidak sembarang orang bisa melihatnya.
Si Mbah juga menceritakan tentang Pasar Bubrah atau Pasar Demit atau Pasar Setan. Sebuah tempat yang diyakini sebagai tempat yang paling angker sebagai tempat berkumpulnya para penduduk halus Merapi. Setiap malam jumat biasanya keramaian di Pasar Bubrah itu akan berlangsung hingga tengah malam. Biasanya akan terdengar suara gamelan dan  gending Jawa mengalun menambah keriuhan pasar tersebut.
Kami mendengarkan cerita Mbah Maridjan sambil menikmati hidangan yang disediakan, segelas teh hangat, pohung godok dan beberapa makanan jajan pasar. Saya pun menterjemahkannya pada Imel yang mendengarkan dengan seksama. Maklum Imel orang Jakarta asli, tidak mengerti banyak 
bahasa Jawa.
Kurang lebih pukul sembilan pagi, saya mohon izin Mbah Maridjan untuk naik dan saya mengatakan tidak akan sampai puncak, paling sampai Pasar Bubrah terus turun kembali. Mbah Maridjan mengangguk dan akan menunggunya.
*****
Sinar mentari mulai menampakkan keperkasaannya dari ketinggian 2900 Dpl ini. Saya lihat Imel terengah-engah di belakangku, tapi semangatnya begitu membara. Jalanan berbatu yang terjal disertai angin kencang menjadi teman kami. Namun sebelum sampai Pasar Bubrah Imel sudah mengajak duduk beristirahat sambil membuka minumannya.
Pepohonan di sekililing kami begitu sunyi, hanya desau angin seperti suara simpony alam yang saling bersahutan. Tiba-tiba ada kelebatan bayangan melintas di depan kami, kurang lebih 10 meter dari kami duduk ini.
"Mas Toni, kamu ngeliat nggak?" tanya Imel setengah berbisik.
"Ya saya melihatnya. Ia berhenti di sana, sepertinya tengah mencari sesuatu. Mari kita hampiri." kataku sambil menggandeng Imel.
Langkah kami semakin dekat, namun bayangan hitam itu memang berbaju hitam, tidak berusaha menghindar. Sosok itu mengenakan caping, topi yang terbuat dari anyaman bambu. Saya pun menyapanya.
"Sugeng enjing pak! (Selamat pagi pak!)." Ia memandang kami sebentar lalu melanjutkan kesibukannya, mencari rerumputan.
"Kalian mau mencari apa kok duduk di sini?" katanya pelan, masih tak memandang kami.
"Saya mengantarkan teman saya ini dalam mencari jejak kekasihnya yang 3 bulan lalu hilang di Gunung Merapi ini."
"Banyak orang hilang di sini, percuma kalian mencarinya." jawabnya singkat. Yang membuat saya agak heran, logat bicaranya orang ini tidak seperti penduduk asli di sekitar Merapi yang kebanyakan memakai bahasa Jawa, tapi ia begitu fasih berbahasa Indonesia.
Mendadak saja Imel duduk dan sesenggukan, ia seperti mengingat Erik dan tak mampu membendung kesedihannya. Sosok hitam itu tiba-tiba menghentikan aktivitasnya menyabit rumput dan berkata : "Sudahlah nona, jangan menangis."
Imel terdiam. DIa mendongak dan bangkit menghampiri orang tersebut. Ketika melihatnya, sejenak langkahnya terhenti, orang tersebut wajahnya jelek sekali, seluruh mukanya seperti bekas jahitan. Walau demikian Imel tak memperdulikannya.
"Nona?" desis Imel seakan tak percaya bahwa kata itu diucapkan oleh lelaki bermuka menyeramkan itu. "Kenapa kau panggil aku Nona?"
"Saya tidak tahan melihat kau menangis seperti itu," jawabnya.
"Tapi dari mana kau tahu saya Nona. Dalam hidupku hanya Erik yang memanggilku Nona. Itu nama kesayangan buat aku."
"Saya tahu,"
"Dari mana kau tahu?" tanya Imel penasaran. Orang itu tidak menjawab, tapi berdiri menjauh. Imel semakin penasaran, tanpa takut ia mengejarnya, aku mengikutinya dari belakang.
"Tolong jawab, dari mana kau tahu? Apa kak Erik masih hidup? Dan ia menceritakan tentangku padamu?"
"Tidak."
"Terus?"
"Sebenarnya Erik masih hidup." jawab itu membuat Imel tersentak dan ia semakin tajam memandang lelaki bertampang seram itu.
"Benarkah katamu?"
"Benar, tapi ia tak berani menemuimu, sebab wajahnya telah rusak ketika terpeleset ke jurang."
"Apa?"
"Ya, Erik tahu dia tidak pantas lagi menjadi calon suamimu. Seluruh tubuhnya cacat!"
Imel menjerit tubuhnya lunglai, aku langsung memeluknya. Ia menangis dalam pelukanku.
"Kak Erik, aku tahu kau masih hidup. Aku tahu, sebab aku mendengar Tuhan menjawab dalam doa-doaku setiap malam....." desisnya sesenggukan. Aku membimbingnya untuk turun saja. Dan sosok berbaju hitam dan berwajah menyeramkan itu sudah menghilang di balik rimbun pepohonan.
SEKIAN

Jenglot dan Fakta Ilmiahnya

Tak perlu di pungkiri lagi bahwa kepercayaan animisme dan dinamisme di indonesia ini masih melekat kuat di masyarakat yang condong kepada hal hal mistis, sebut saja jenglot sebagai salah satu dari benda benda yang dianggap mistis. "benda" berwujud seperti manusia utuh atau setengah manusia setengah hewan ini di percaya hidup dengan berbagai asal usul ceritanya. Tetapi apakah memang benda berukur belasan centimeter itu benar benar hidup?
Langsung aja, berikut adalah beberapa poin yang dapat meruntuhkan anggapan bahwa jenglot adalah mahkluk hidup:

1.Jenglot Mempunyai DNA Manusia Tetapi Tidak Memiliki Tulang

Test rontgen dan tes DNA dari dokter Djaja Surya Atmaja, pakar DNA forensik UI memang menyatakan DNA itu adalah DNA manusia, bukan dari primata atau yang lainnya. Tentu saja hasil penelitian dari sang ahli dapat digolongkan sebagai bukti kuat.

Tetapi hasil rontgen ini juga tidak menunjukkan adanya tulang, jantung, paru paru atau bagian organ dalam manusia lainnya, tanpa organ organ ini jelas terlihat bahwa jenglot tidak sama dengan manusia.


2.Banyaknya Bentuk-Bentuk Jenglot


Tak hanya berbentuk manusia, tetapi banyak juga jenglot yang bebentuk setengah ular, monster, ikan dll, tetapi tentu saja semuanya berukuran kecil. Kemungkinan ini adalah untuk variasi saja atau pembuat jenglot ini merasa kesusahan membuat bentuk mirip dengan manusia, jadi untuk menghindarinya cukup dengan mengganti bentuk bentuk yang gampang dibuat kaya diates gan.

3.Tidak Ada Bukti Jenglot Bergerak

Jenglot adalah boneka, bukan robot. Tanpa rangka tentu saja tak dapat bergerak. Hingga kini juga tak pernah ada video yang menunjukkan gerakan jenglot.

4.Pemilik Tidak Berani Jenglotnya Dibedah


Alasannya karena tidak mau ada hal hal yang tidak baik terjadi, tetapi saat penelitian dengan bermacam macam cara dan alat tidak ada sesuatu yang ganjil dan aneh terjadi. Apakah pemiliknya takut ketahuan jika DNA dari daging dan tulang penyangga berbeda? Atau mungkin penyangganya terbuat dari bahan selain tulang, kayu mungkin. Dan juga apakah takut ketahuan jika daging dan tulang tidak melekat dengan sempurna. Tes rontgen memang tidak dapat menjelaskan ini, tapi dengan pembedahan semuanya dapat terjawab.

5.Jenglot Berusia Ribuan Tahun

Dari hasil pengkuran usia diketahui bahwa jenglot berusia ribuan tahun dengan yang tertua 3112 tahun, lalu pada masa itulah yang namanya animisme berkembang, jadi wajar jika manusia pada jaman dahulu membuat benda seperti ini sebagai media ritual.

6.Bukti Antropologi

jenglot tak hanya ada di indonesia dan malaysia saja, tetapi di thailand juga ada benda serupa yang disebut gumam thong, lengkapnya bisa agan baca

http://asiaparanormal.blogspot.com/2010/01/introduction-on-guman-thong-child.html

Secara singkatnya dengan prinsip yang hampir sama, gumam thong dan jenglot adalah sama sama untuk tujuan spiritual. Cerita yang menyertai jenglot adalah menceritakan jenglot itu dulunya adalah seorang yang sakti dan ketika mati tubuhnya menjadi mumi hingga mengecil hingga ukuran belasan centimeter itu. Memang proses mumifikasi seperti itu ada, tetapi seperti mumi dende di toraja hanya mampu mengerutkannya hingga mencapai ukuran 90cm saja. Karena kerangkanya tak dapat dikerutkan.
Mumi Dende

7.Proses Mumifikasi

Manusia terdiri dari 80% air dan cairan, saat mati cairan cairan itu akan terus berkurang dan membuat tubuh mengerut, tetapi tidak dengan rangkanya. Sekarang mungkinkah mengecilkan mayat dapat dilakukan? Hal itu dapat dilakukan tetapi tentu saja dengan proses yang sangat rumit, seluruh tulangnya harus dibuang, dengan cara ini paling tidak ukuran dewasa dapat dikecilkan hingga ukuran 26inch / 78 cm, masih jauh dari ukuran belasan centi.

8.Tidak Ada Bentuk Transisi

Di mesir selain manusia juga ada mumi hewan, di peru juga ditemukan kepala yang dikecilkan. Ada transisi tingkat kesulitan, jika jenglot adalah mumi bayi, anak kecil maupun orang kerdil yang dimumikan, maka mana transisinya, usaha untuk membuat benda kecil dengan detail pemumian bukanlah hal yang bisa langsung jadi, harusnya orang memulai dulu dengan objek manusia yang lebih besar. Tetapi hingga saat ini bukti seperti ini tidak ditemukan.

Bagaimana dengan praktek membuat mumi di daerah lain seperti di toraja dan papua? Mumi disana dibuat dengan cara yang sederhana, ukuranya juga tidak jauh dengan ukuran aslinya, ia hanya menyusut karena dehidrasi. Praktek kimia yang dilakukan pada mumi juga hanya bertujuan untuk mengawetkannya, bukan menyusutkannya.

---------------------------------------------------------------------------------------------

Maka dari itulah berdasarkan bukti bukti dan fakta fakta yang ada maka dapat disimpulkan bahwa jenglot tidak lebih dari hanya sekedar boneka saja.
Lalu pasti ada yang bertanya bagaimana dengan kekuatan mistis atau supranatural lainya? Pemilik jenglot memang boleh berargumen seperti itu dan mungkin paranormal lainya juga mengatakan demikian, tetapi apakah mereka bisa membuktikan keberadaan kekuatan itu kepada khalayak umum?
Saya rasa tidak, orang seperti ini dan media massa butuh sensasi agar mereka tetap eksis, jadi memelihara hal hal yang diluar nalar seperti ini adalah salah satu caranya.
Tapi tetap juga kita menyerahkan semua pada-Nya. Karena memang Dia lah yang Maha Tahu .
Thanks for reading: Jenglot dan Fakta Ilmiahnya

Suku Baduy – Asal usul, Agama Kepercayaan,

suku baduy
 
Foto beberapa orang suku baduy

Suku Baduy

Suku Baduy adalah satu dari sekian ratus suku yang ada di Indonesia. Suku ini terkenal dengan kepribadiannya yang tidak mau dicampuri dengan dunia luar dan modern, bahkan hanya untuk sekedar difoto saja mereka tidak mau. Kepekaan terhadap adat istiadat inilah yang membuat wilayah suku Baduy sangat tertutup sehingga tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam wilayahnya. Wilayah suku Baduy disebut sebagai Kanekes. Populasi penduduk suku Baduy di Kanekes berkisar 8000 jiwa.

Asal-usul dan tata kelola suku Baduy

Masyarakat suku Baduy sendiri suka menyebut dirinya urang Kanekes. Namun para peneliti dan sebagian besar masyarakat Indonesia menamakan suku ini Baduy karena daerahnya yang diapit dengan oleh dua gunung Baduy atau bisa juga diadaptasi dari nama masyarakat Badawi yang pada zaman dahulu memiliki gaya hidup mirip dengan orang Kanekes. Sistem pemerintahan,politik, ekonomi dan semua sistem lain dalam desa Kanekes menggunakan sistem kehidupan tradisional. Maka sistem dusun pun diterapkan atas tiga wilayah utama, yakni Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo.
Sistem budaya tradisional di masyarakat Kanekes ini sama halnya dengan budaya tradisional lain yakni menggunakan sistem lisan untuk memberitakan suatu hal berupa informasi, cerita, hiburan atau pendidikan. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa Sunda dengan dialek khusus masyarakat Kanekes. Salah satu ciri khas bahasa Sunda dialek Kanekes adalah menggunakan kata kami untuk menyebut saya dan kata ganti dia untuk menyebut kamu atau anda.

Agama dan kepercayaan orang Baduy

Agama yang dianut masyarakat Baduy adalah agama Sunda Wiwitan, yakni sebuah kepercayaan yang dianut masyarakat Sunda jaman dahulu yang mendapatkan pengaruh besar dari budaya Hindu. Namun ada juga sebagian masyarakat Baduy Kanekes yang memeluk agama Islam dan Budha. Yang paling pokok dalam sistem kepercayaan mereka, apapun agamanya adalah bahwa segala macam sesuatu yang berkaitan dengan pola kehidupan mereka tidak boleh atau pantang untuk diubah. Moto masyarakat Kanekes adalah “Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung”, mereka menganggap segala hal yang sudah ada di dunia ini tidak boleh diubah dalam bentuk apapun, sehingga mereka tidak menerima kemajuan dalam bentuk apapun.

Mata pencaharian masyarakat suku Baduy

Sedangkan mata pencaharian masyarakat Baduy adalah menjadi petani. Petani di Kanekes tidaklah sama seperti petani pada umumnya karena mereka tidak membajak untuk menggemburkan tanah, tidak membuat sengkedan untuk pengairan dan lain-lain. Mereka menanam secara apa adanya, tidak mengubah atau mengolah tanah. Sistem kepercayaan mereka yang mendorong mereka berlaku demikian. Hal ini berkautan dengan semboyan mereka diatas, bahwa apa yang sudah ada tidak boleh dirubah-rubah dalam bentuk apapun. Sehingga dalam hal pertanian pun mereka tidak mengubah tanah.

Pembagian masyarakat dan sistem pemerintahan

Selanjutanya kita akan membicarakan lebih lanjut tentang masyarakat Baduy dalam hal pembagian masyarakat dan sistem pemerintahannya.

Pembagian dalam masyarakat Baduy

Masyarakat suku Baduy dibagi menjadi tiga kelompok yang tinggal di daerah yang berbeda-beda. Kelompok tersebut adalah:
  • Baduy Dalam (Kanekes Dalam)
  • Baduy Luar (Kanekes Luar)
  • Baduy Dangka
Masyarakat Baduy Dalam adalah masyarakat yang menempati tiga wilayah utama Kanekes, yakni Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo. Masyarakat ini sangat memegang teguh adat istiadatnya dengan pakaian berwarna putih dan biru tua. Mereka juga suka mengenakan ikat kepala berwarna putih. Masyarakat Baduy Dalam tidak menggunakan benda-benda yang berbau modern, seperti alat elektroni dan bahan kimia. Pakaian yang digunakan pun harus ditenun sendiri berasal dari bahan-bahan yang alami di sekitar masyarakat tersebut tinggal. Jika ada pakaian yang dijahit, bisa dipastikan mereka menjahitnya sendiri dengan tangan.
Kelompok yang kedua adalah masyarakat suku Baduy luar yang berciri khas pakaian hitam. Mereka juga menggunakan ikat kepala seperti masyarakat Baduy dalam, namun berwarna hitam juga. Masyarakat ini tinggal di desa yang mengelilingi desa utama wilayah Kanekes diatas.Masyarakat Baduy luar ini bisa dikatakan adalah suku Baduy yang diasingkan karena beberapa alasan seperti melanggar peraturan adat yang ada dalam wilayah Kanekes dalam, menikah dengan orang luar Kanekes Dalam atau mengundurkan diri dari Baduy Dalam dengan berbagai macam alasan. Salah satu sebab yang paling banyak adalah penggunaan alat-alat moden seperti elektronik, bahan kimia dan teknologi lain.
Namun dalam beberapa hal, masyarakat Baduy Luar masih menerima dan mengakui sebagian adat masyarakat Baduy. Inilah yang membedakan kelompok Baduy luar dengan Baduy Dangka. Kelompok ketiga, yakni Baduy Dangka, mereka yang sudah benar-benar keluar dari suku Baduy, baik secara geografis maupun secara adat istiadat. Mereka merupakan keturunan suku Baduy Dalam atau luar, namun umumnya sudah tidak tinggal di wilayah Kanekes.

Sistem pemerintahan dalam masyarakat Baduy

Seperti yang telah kita bahas sebelumnya bahwa masyarakat suku Baduy masih ketat menjalankan adat dengan memberlakukan sistem kehidupan sesuai dengan ketentuan tradisional yang sudah ada sejak jaman dahulu kala. Hal ini termasuk pula dalam sistem pemerintahan. Pemerintahan yang digunakan di Kanekes ada dua macam, yakni sistem adat dan sistem nasional. Seperti wilayah yang lain di Indonesia, setiap Desa di Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang dalam budaya Kanekes disebut jaro pamarentah. Namun dalam sistem adat, seluruh masyarakat Baduy dipimpin oleh seorang pemimpin adat tertinggi yang disebut sebagai pu’un.
Jabatan pu’un tidak dibatasi oleh waktu sehingga jabatan ini ditempati oleh orang yang dianggap memiliki kharisma tinggi sebagai pemimpin serta orang harus memiliki kemampuan untuk bertahan selama mungkin dalam jabatan tersebut. Dibawah pu’un ada jaro, yang mana dalam sistem modern disebut sebagai ceksi pedesaan yang berhubungan dengan wilayah tertentu. Jadi sebenarnya kepala desa dalam sistem nasional yang disebut jaro pamarentah dalam sistem Baduy adalah bawahan pu’un, secara tidak langsung. Oleh karena itu jika ada acara nasional, yang harus mengikuti acara tersebut bukan pu’un tapi jaro pamarentah atau kepala desa. (iwan)

Keyakinan Kerinci

KERINCI, Apa Hukumnya Upacara Kenduri Sko Mandi Balimau Menabur Peluheh mengasap kampung dengan Kemiyan

upacara Animisme
upacara Animisme

Hukum adat KERINCI ada empat sumber hukum. Adat yang sebenar adat, adat yang diadatkan, adat yang teradat, adat istiadat. Adat yang sebenar adat artinya adat yang bersumberkan al-Quran dan hadis. Adat yang diadatkan artinya adat yang telah ditetapkan sebagai suatu norma hukum yang dipakai dalam masyarakat adat. Adat yang teradat artinya adat yang di ico pakai mengikut perkembangan gejala sosial seiring perobahan zaman. Adat istiadat artinya adat jahiliah yang berasal dari nenek moyang sebelum datangnya ajaran Islam. Hukum dalam Islam ada lima perkara, wajib, haram, sunat, makruh, mubah. Wajib artinya berdosa jika tidak kita kerjakan seperti Solat, puasa dll. Haram artinya berdosa jika dikerjakan dapat pahala jika ditinggalkan. Sunat artinya dapat pahala jika dikerjakan tidak berdosa jika ditinggalkan, tapi lebih baik jika diperbuatkan. Makruh artinya dapat pahala jika ditinggalkan tidak berdosa jika dikerjakan, tapi lebih baik tidak usah dikerjakan. Mubah artinya terserah kepada individu tidak berdosa dan tidak dapat pahala.
Aku ingin bertanya pada semua pengunjung Blog, kayosakti.blogdetik.com. Kenduri Sko, mandi balimau, menabur peluheh, mengasap kampung dengan asap api kumiyan, bersandarkan sumber hukum Isalam atau hukum adat yang mana satu?
Hukum Islam. Apa hukumnya melaksanakan upacara2 tersebut di atas?. Wajib kah? Sunat kah? Haram, makruh atau mubah?
Tolong para pengunjung memberi komentar agar dapat jawaban yang sepatutnya.
Sepanjang pengamatanku mengikut Opini Hati Nurani, aku menilai sepertinya tidak lebih daripada upacara Adat istiadat yang bersifat megis. Dalam upacara tersebut paling banyak terdapat unsur-unsur kepercayaan animisme.
Animisme adalah kepercayaan yang a.l. meliputi :
1. Percaya kepada benda2 tertentu mempunyai kuasa mendatangkan penyakit yang tidak dapat diobati dengan cara medis. Sebaliknya benda2 tersebut dapat pula memberi kesembuhan jika berobat dengan cara sesajian.
2. Roh2 nenek moyang yang dianggap keramat bisa mengganggu ketenangan manusia (anak cucu) dalam berbagai hal dengan berbagai corak.
3. Manusia dapat bermohon pada roh2 nenek moyang apa yang hajatkan, terutama memohon tolak bala.
4. Untuk bermohon perlu adanya upacara2 dan atau sesajen atau mantra tertentu.
5. Diantara masyarakat ada orang2/ individu2 yang dianggap mahir berkomunikasi dengan roh2.
6. Permohonan yang dapat diajukan oleh manusia kepada roh2 antara lain :
a. Penyembuhan penyakit
b. Keselamatan seseorang, suku, keluarga, agar dijauhkan dari bala bencana.
c. Terhindar dari gangguan hama tanaman
d. Terhindar dari gangguan bencana alam. misalnya : banjir, musim kemarau, gunung meletus, gempa bumi, gangguan cuaca dan lainnya.
e. Keselamatan membangun rumah, masuk rumah baru
f. Mencapai kedudukan (jabatan/ fungsi/ kekayaan)
g. Dan masih banyak hal2 yang dapat dimohon oleh manusia dari roh2.
Untuk tujuan ini berbagai upacara dilakukan atau sesajen disiapkan baik ramai2 bersama ataupun sendiri2 sebagai perorangan. Ditiap masyarakat ada orang2 tertentu yang mahir dan bertindak sebagai imam atau pendeta/ guru dengan berbagai kemampuan yang menakjubkan.
Guru demikianlah menjadi tempat bertanya dan bermohon untuk mencapai tujuan.
Kepercayaan ini menjadi kebudayaan yang dipegang teguh oleh para penganut agama Hindu.
Ada kalanya anggota2 masyarakat dari suku/ marga sudah menganut agama kristen atau islam, tetapi kebudayaan berdasarkan kepercayaan animisme dari nenek moyang masih terbawa, walaupun jelas bahwa hal diatas dilarang oleh ajaran agama yang telah dianut.
Lebih banyak bukti terwujudnya/ tercapainya yang diinginkan, lebih tebal kepercayaan walaupun orang yang bersangkutan tetap mempertahankan agamanya.
Dari data2 yang dapat dikumpulkan ternyata bahwa jumlah suku2 animisme yang memasuki agama2 tertentu bertambah, akan tetapi tanpa melepaskan kebudayaan animisme. Sebaliknya pengaruh animisme dalam hal2 tertentu meluas pula, tanpa disadari mereka yang terpengaruh oleh keajaiban yang tercapai.

Raga Sukma

 





















Melakukan melepas sukma (istilah melepas sukma disini saya setting bukan lepas sukma versi Raga Sukma (rohnya yg keluar), lepas sukma disini adalah mengeluarkan tubuh energi dan fikiran kita) sebenarnya gampang2 susah, intinya sederhana yaitu kita hanya harus bisa mempertahankan kesadaran secara penuh sedang tubuh kita “tidur” kan.
Proses Melepas Sukma
Otak manusia merupakan organ tubuh yang sangat menakjubkan dan mempunyai kemampuan yang sangat luas. Manusia normal umumnya hanya menggunakan fungsi otaknya sekitar 2% saja, sedang 98% fungsi otak tidak dipergunakan. Salah satu fungsi otak yang tidak dipergunakan manusia umumnya yaitu kemampuan otak untuk dapat menjelajahi dimensi2 ruang dan waktu secara independen tanpa terikat dengan tubuh, tubuh sendiri tetap berfungsi secara normal. Inilah yang disebut dengan ESP (Extra Sensory Perception). Termasuk didalamnya kemampuan melepas sukma yang disebut juga Out Of Body Experience / Astral Projection / Near Death Experience, dll.
Otak manusia adalah organ yang luar biasa rumit dan kompleks, otak terdiri dari banyak sekali bagian2 yang saling berhubungan satu sama lain, ada bagian yang mengatur fungsi sensorik, ada bagian yang mengatur fungsi motorik, dll. Di otak ada bagian yang bertugas seperti “Pengawas” yaitu bertugas mengatur dan mengawasi seluruh tubuh untuk bekerja sebagaimana mestinya walaupun kita sedang tertidur, khususnya untuk bagian2 tubuh autonom (bekerja sendiri) seperti proses metabolisme sel, kelenjar, jantung yang memompa darah ke / dari seluruh tubuh, paru2 yang menghisap 02 dan mengeluarkan C02, dll.
Ada lagi bagian otak (kelenjar Pituitary, kelenjar Hippothalamus) yang berfungsi seperti “Antenna”, yaitu mempunyai fungsi untuk memancarkan / menerima gelombang otak. Jadi sebenarnya otak kita itu jauh lebih hebat dari super komputer yang paling canggih. Bila otak kita dapat difungsikan lebih dari 5% kemampuannya, kita dapat menonton TV, mendengar radio, membaca dengan mata tertutup, membaca pikiran orang, menggerakkan benda dari jauh, dll, termasuk melepas sukma ini.
Dan ketika melepas sukma, bagian otak yang berfungsi seperti “Pengawas” dan “Antenna” ini berfungsi secara maksimal, sehingga pikiran dapat menjelajahi dimensi2 ruang dan waktu secara independen tanpa terikat dengan tubuh.
Hal2 yang perlu diperhatikan Untuk setiap kali kita hendak melakukan melepas sukma, ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan, khususnya untuk pemula, yaitu:
  1. Pikiran sebaiknya tenang, tidak tegang, stress, atau banyak pikiran. Semakin tenang pikiran, semakin mudah otak untuk bekerja.
  2. Badan sebaiknya relax dan posisi tubuh dibikin senyaman mungkin. Kita bisa melepas sukma dengan berbagai posisi tubuh: bisa sambil berbaring, duduk, berdiri, dan bahkan sambil berjalan kalau perlu.
  3. Bikinlah diri kita senyaman mungkin, misalnya hindari alas duduk/pembaringan yang menyakitkan.
  4. Kita bisa melepas sukma dengan mata tertutup / terbuka, tapi untuk pemula sebaiknya dengan mata tertutup.
  5. Buatlah suasana yang bikin diri kita tenang, hindari suasana yang bising, cuaca yang mengganggu, dll.
Bila kita sudah berpengalaman, semua hal diatas tidak lagi harus diperhatikan, bahkan dalam keadaan tertentu justru diperlukan hal2 yang berlawanan dengan hal2 diatas.

Sipele Begu/Perbegu - Agama awal Suku Karo


I. Latar belakang.

 Sejarah suku Karo
Dalam buku Adat Karo, Darwan Prints menjelaskan sejarah etnis Karo dengan membaginya dalam 3 zaman yaitu Pra sejarah, zaman Hindu-Budha dan kerajaan Haru. Namun kelompok hanya akan memaparkan jaman Pra sejarah dan Hindu Budha, karena untuk keberadaan kerajaan Haru masih menjadi diskusi kapankah kerajaan ini muncul.
Etnis Karo merupakan percampuran dari ras Proto Melayu dengan ras Negroid (negrito). Percampuran ini disebut umang. Hal ini terungkap dalam legenda Raja Aji Nembah yang menikah dengan putri umang. Umang tinggal dalam gua dan sampai sekarang masih dapat dilihat bekas-bekas kehidupan umang di beberapa tempat. Pada abad 1 Masehi terjadi migrasi orang India Selatan yang beragama Hindu ke Indonesia termasuk ke Sumatera. Mereka memperkenalkan aksara Sansekerta dan Pallawa dan agama Hindu. Pengaruh mereka masih tampak dalam kepercayaan Karo. Beberapa diantaranya adalah Perwujudan Tuhan dalam tiga bentuk. Pada abad ke 5 M terjadi pula gelombang migrasi india yang memperkenalkan agama Budha dan tulisan Nagari. TL. Sinar menyatakan bahwa Tulisan Nagari akan menjadi cikal aksara Batak, Melayu, dan Jawa kuno .
Dari sejarah ini kita ketahui bahwa suku Karo berasal dari percampuran proto Melayu dan Negroid yang kemudian disebut umang. Suku Karo mengalami banyak gelombang migrasi. Yang pertama adalah migrasi India-Hindu yang menganut agama Hindu dan gelombang kedua adalah India-Budha yang memperkenalkan agama Budha. Maka tidak heran bila sistem kepercayaan dan sistem masyarakat dipengaruhi oleh Hindu dan Budha.

II. Gambaran sistem kepercayaan
Sebelum kedatangan penjajah Tanah Karo sudah memiliki tingkat peradaban yang cukup tinggi, hal ini terbukti dari :
- Adanya kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa
- Mempunyai aksara atau tulisan sendiri,
- Mempunyai bahasa sendiri
- Menghasilkan karya seni dari Emas dan Perak
- Memiliki adat-istiadat sendiri
Namun penjajah datang dan melihat bahwa suku Karo merupakan suku bangsa primitif dan seolah mau memanusiakan mereka dari kegelapan. Sebutan "Perbegu diberikan penjajah melalui gereja, kepada orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat Karo sendiri tidak memberi nama apapun terhadap kepercayaannya itu. Padahal, perbegu itu dimaknai sebagai orang yang percaya/memiliki setan. Cap suku Karo yang adalah perbegu juga menjadi patokan dasar misi Islam. Banyak yang tidak setuju dengan penamaan perbegu yang diberikan penjajah. Pada tahun 1946 masyarakat Karo melalui ketua adatnya memberikan nama Agama Pemena kepada sistem kepercayaan itu . Pergantian dilakukan setelah 1 tahun Indonesia merdeka dari penjajah. Bagaimanakah alam kepercayaan masyarakat Karo yang telah dicap perbegu oleh Penjajah? Ketika kita membacanya dan memahaminya, apakah kita dapat memahami alasan para tokoh adat untuk mengganti sebutan agama perbegu menjadi agama pemena?

Dibata
Masyarakat Karo dahulu percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang dapat dilihat maupun yang tak dapat dilihat adalah merupakan ciptaan Dibata. Menurut Henry Guntur Tarigan, orang Karo membedakan antara Dibata si idah ( Tuhan yang dilihat) dan Dibata si la idah ( Tuhan yang tidak dilihat ) . Dibata si idah dimaksud menunjuk pada kalimbubu. Sedikit penjelasan bahwa di dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo terdapat daliken sitelu/rakut sitelu. Ketiga unsur yang terdapat adalah kalimbubu ( pemberi dara) Anak beru ( pihak penerima dara) dan senina (saudara ) Kalimbubu adalah golongan yang terhormat, golongan yang disegani. Orang yang menghormati kalimbubunya akan memperoleh banyak rejeki oleh karena itu kalimbubu disebut juga dibata di idah. Dibata si la idah biasa disebut dengan Dibata kaci-kaci (Dibata yang berjenis perempuan) Dibata kaci-kaci ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu: dunia atas, tengah, dan bawah. Setiap wilayah kekuasaan ini diperintah oleh seorang Dibata sebagai wakil dari Dibata Kaci-kaci. Ketiga Dibata itu merupakan satu kesatuan yang disebut Dibata Si Telu ( Tuhan yang tiga). Berdasarkan tempatnya memerintah, orang Karo percaya kepada :
1. Dibata Datas, Dibata Datas disebut juga Guru Batara, yang memiliki kekuasaan dunia atas (angkasa).
2. Dibata Tengah, Dibata Tengah disebut juga Tuhan Padukah ni Aji, Dibata inilah yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini.
3. Dibata Teruh Dibata Teruh juga disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang memerintah di bumi bagian bawah bumi.
Selain itu, ada dua unsur kekuatan yang diyakini yaitu sinar mataniari (sinar matahari) dan si Beru Dayang. Sinar Mataniari inilah yang memberi penerangan. Tempatnya ada di matahari terbit dan matahari terbenam. Dia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata. Siberu dayang adalah seorang perempuan yang bertempat tinggal dibulan. Si beru dayang sering kelihatan pada pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat dan tidak diterbangkan angin topan.




Manusia
Manusia dalam kepercayaan masyarakat Karo terdiri dari :
1. Tendi (jiwa)
2. Begu (Roh orang yang sudah meninggal, Hantu)
3. Tubuh
Ketika seseorang meninggal maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur namun begu tetap ada. Tendi dengan aku seseorang merupakan kesatuan yang utuh. Ketika tendi berpisah dari aku maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan dengan mengadakan pemanggilan tendi. Jika tendi tidak kembali maka yang terjadi adalah kematian.
Terkait dengan Dibata, Bagi mereka Dibata adalah tendi (jiwa) yang dapat hadir di mana saja, kekuasaannya meliputi segalanya dan dianggap sebagai sumber segalanya. Hal ini sesuai dengan keyakinan orang-orang Karo yang sangat dekat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi, yaitu suatu kehidupan jiwa yang keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib. Orang Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam "kosmos" mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang mencakup segalanya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari "kosmos" (alam semesta). Setiap manusia dianggap sebagai "mikro-kosmos" (semesta kecil) yang merupakan kesatuan bersama dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten (perasaan), kesah (nafas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama lain. Kesatuan ini disebut sebagai `keseimbangan dalam manusia'. Hubungan yang kacau atau tidak beres antara satu sama lain dapat menyebabkan berbagai bentuk kerugian seperti sakit, malapetaka, dan akhirnya kematian
Daya pikiran manusia dianggap bertanggung jawab ke luar guna menjaga keseimbangan dalam dengan keseimbangan luar sebagai suatu "makro-kosmos" (semesta besar) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial dan lingkungan alam sekitar. Tercapainya suatu "keseimbangan dalam" akan memperlihatkan berbagai keadaan menyenangkan, seperti; malem (sejuk/tenang), ukur malem (pikiran tenang), malem ate (hati sejuk/tenang), malem pusuh (perasaan sejuk/tenang). Oleh karena itu kata malem digunakan juga sebagai arti sehat atau kesembuhan dalam bahasa Karo.
Kesejukan badan dan pikiran merupakan dasar dari keadaan sehat, yaitu keadaan sejuk dan seimbang antara "makro-kosmos". Prinsip ini pula yang menyebabkan mengapa seorang guru melakukan beberapa upacara ritual dengan tujuan untuk mendapatkan keadaan yang serba malem (sejuk/tenang). Menurut para guru, terganggunya hubungan-hubungan dalam "mikro-kosmos" seseorang berarti adanya keadaan tidak seimbang dalam tubuhnya, yaitu ketidakseimbangan antara tubuh, jiwa, perasaan, nafas dan pikiran.
Dengan menggunakan air jeruk purut pada upacara berlangir (erpangir), seorang guru akan menyiramkannya ke kepala pasiennya. Air jeruk purut diyakini menimbulkan rasa sejuk. Sementara itu kepala si pasien dipilih dengan pertimbangan bahwa kepala adalah tempat dari pikiran dan sebagai pusat dan pimpinan dari "mikro-kosmos" (semesta kecil) tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam diri guru terdapat suatu pandangan bahwa keseimbangan dalam "mikro-kosmos" (semesta kecil/tubuh manusia itu sendiri) tidak akan sempurna tanpa tercapainya suatu keseimbangan "kosmos" (alam semesta secara luas). Oleh karena itu, seorang guru dalam beberapa ritusnya yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan pada diri manusia akan menggunakan air jeruk yang malem. Air jeruk dianggap sebagai lambang dari alam semesta yang mewakili `keseimbangan luar'akan dimasukkan ke dalam diri manusia yang mewakili `"keseimbangan dalam" itu sendiri. Tindakan ini diyakini akan menyempurnakan keseimbangan dalam diri seseorang.

Tendi atau Roh halus
Seperti yang telah disebutkan bahwa masyarakat Karo memandang dunia tidak hanya ditempati manusia namun juga ada tendi dan begu yang merupakan roh yang tak terbatas tempat dan waktu. Hal ini tampak pada sebutan ijah dan ijenda. Sebutan i jah dan i jenda tidak berarti adanya suatu wujud pasti tertentu sebagai alam gaib. Kata tersebut di atas hanya untuk membedakan alam gaib dengan alam biasa. Alam gaib sendiri berada bersama-sama di sekitar manusia. Semua tempat sekitar manusia adalah juga alam gaib, namun alam gaib tersebut digambarkan sebagai suatu alam yang tidak terlihat dan tanpa wujud, karena itulah disebut dengan i jah (di sana), manusia tidak tahu pasti tempat dan wujudnya. Menurut seorang guru Pa Jawi (bukan nama sebenarnya), mengatakan bahwa:
"I bas inganta enda pe melala kel orang-orang alus si la teridah bagi
kalak si la dua lapis perngenin matana, bage pe keramat seh kel
lalana, tiap-tiap kerangen lit sada keramatna, tiap keramat enda la
ia engganggui jelma, adina keramat ia singarak-ngarak, tapi adina
orang alus, e banci ia erbahan penakit, bage pe celaka man kita."
("Dalam tempat tinggal kita ini pun banyak sekali orang halus yang
tidak terlihat oleh mereka yang tidak dua lapis matanya, demikian
juga dengan keramat, sangat banyak juga, di setiap hutan ada satu
keramat penungggu, tapi mahluk halus jenis keramat ini tidak
menganggu sifatnya, tidak mau menganggu manusia, dia menolong
manusia, tapi jika orang-orang halus bisa saja membuat penyakit
bagi manusia dan mencelakakan kita.")
Sehubungan dengan itu, dikatakan juga bahwa arwah orang yang telah meninggal mempunyai kehidupan yang berbanding terbalik dengan kehidupan manusia. Arwah itu tinggal di taneh kesilahen dengan keadaan; berngi suarina, pagi berngina. Artinya, malam bagi arwah adalah siang bagi kita manusia dan pagi bagi arwah adalah malam bagi kita manusia. Itulah yang merupakan penyebab mengapa dikatakan begu banyak berkeliaran di malam hari. Alam gaib dikatakan juga sebagai alam jiwa. Keseluruhan alam gaib disebut pertendiin (kejiwaan). Hal ini berkaitan dengan kepercayaan orang Karo yang sangat erat dengan tendi (jiwa). Oleh karena itu hubungan manusia dengan alam gaib hanya dapat dilakukan melalui jiwa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Itulah sebabnya dalam melakukan hubungan dengan orang-orang yang telah meninggal, seorang guru (guru si baso) menggunakan tendinya dengan bantuan tendi-tendi lain yang disebut jenujung (junjungan). Junjungan ini adalah sebagai kekuatan dari luar diri seorang guru yang dapat membantunya sebagai roh gaib pelindung yang berasal dari "makro-kosmos".
Dalam mengadakan hubungan dengan roh-roh orang yang telah meninggal, seorang guru dapat melakukannya dengan bantuan jenujung, khususnya mereka yang dijuluki sebagai guru si baso melalui ritual perumah begu atau perumah tendi. Guru mengatakan bahwa hubungan itu dapat dilakukan melalui perantaraan angin si lumang-lumang (angin yang berhembus).

Dunia/kosmos terkait pandangan tentang alam
Sebelum dunia tercipta, ketiga anggota dibata si telu yaitu guru Batara, Tuan padukah ni Aji beserta Tuhan Banua koling sudah ada. Demikian pula sinar mataniari. Guru Batara dari dunia atas menurunkan saudaranya Banua koling kedunia bawah untuk berkuasa disana. Tuhan paduka ni Aji diutus kedunia tengah dan mengizinkannya untuk menciptakan dunia serta menguasainya. Sesampainya didunia tengah, Ia menciptakan bumi, namun ketika Banua koling hendak melihat kedunia atas pandangannya terhalang oleh bumi ciptaan Tuhan Padukah Ni Aji. Segera ia menciptakan angin puting beliung untuk meniup dan merusaknya. Sinar mataniari melihat kejengkelan Tuhan Banua Koling dan ketika ia melihat bumi yang lembek itu seketika itu juga bumi mengembang. Terjadilah gunung-gunung, bukit-bukit serta terjadilah pemisahan air dan daratan.
Bagaimana orang Karo memandang dunia tengah? Dunia tengah diyakini selain tempat manusia hidup, juga merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau mahluk-mahluk lain yang hidup bebas tanpa terikat. Oleh karena itu diperlukan beberapa aktivitas-aktivitas yang dapat menjaga keseimbangan alam. Aktivitas kegiatan yang berhubungan dengan roh-roh gaib dan upacara ritual. Suatu peristiwa penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib, merupakan sebagian aspek penting dalam kepercayaan tradisional Karo yang pelaksanaanya terpusat pada guru. Suatu peranan guru sebagai pelaksana utama mempunyai kaitan yang erat sekali dengan konsepsi mereka tentang kosmos. Mengingat bahwa titik sentral dan tujuan utama segala aktivitas peranan guru adalah untuk mencapai kembali "equilibrium" atau keseimbangan. Baik itu keseimbangan dalam diri manusia sendiri dan lingkungannya, maupun keseimbangan "makro-kosmos" dalam konteks yang lebih luas. Guru dianggap memiliki banyak pengetahuan yang mendetail tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan dan kejadian- kejadian dalam hubungannya dengan kehidupan
Alam semesta merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh, yang dapat dibagi secara "vertikal" (tegak lurus) dan secara "horizontal" (mendatar). Secara vertikal, alam dapat dibagi ke dalam tiga bagian yang disebut benua, yaitu : benua atas, benua tengah dan benua teruh yang masing-masing dikuasai oleh Dibata datas, Dibata tengah dan Dibata teruh yang merupakan suatu kesatuan yang disebut Dibata si Telu ( Tuhan yang tiga) atau dianggap sebagai "tri tunggal"yang disebut juga Dibata kaci-kaci ( Kaci-kaci artinya Tuhan Perempuan) sebagai penguasa tunggal. Bagi satu masyarakat di Desa Kidupen, para guru menyebutnya juga dengan Dibata si nurihi buk mecur atau Dibata si mada tenuang. Si nurihi buk mecur artinya yang mampu menghitung rambut (manusia) yang sangat banyak. Sedangkan si mada tenuang artinya yang menciptakan (tenuang berasal dari kata tuang = cipta, yang biasa dipakai menyebutkan pencipta manusia selagi dalam rahim seorang Ibu).
Secara horizontal, alam semesta dibagi ke dalam delapan penjuru mata angin: purba (timur), aguni (tenggara), daksina (selatan), nariti (barat daya), pustima (barat), mangabia (barat laut), butara (utara), irisen (timur laut). Penjuru mata angin ini disebut desa si waluh (delapan arah), berasal dari kata desa yang berarti arah dan si waluh yang berarti delapan. Penjuru mata angin ini dapat dibedakan atas dua sifat yang berbeda, yaitu desa ngeluh (arah hidup) dan desa mate (arah mate). Desa-desa yang digolongkan sebagai arah hidup adalah; timur, selatan, barat dan utara. Selain itu digolongkan sebagai arah mati. Penggolongan kepada arah hidup dan arah mati didasarkan kepada pemikiran bahwa desa-desa timur, selatan, barat dan utara dikuasai oleh roh penolong yang memberikan kebahagiaan kepada manusia. Sebaliknya pada arah mati terdapat mahluk-mahluk gaib yang jahat dan suka mencelakakan manusia. Sesuai dengan dengan pendapat dan pemikiran ini, posisi arah rumah dan areal pemakaman penduduk suatu desa (Desa Kidupen) mengikuti arah hidup. Posisi rumah pribadi mayoritas menghadap ke arah utara dan selatan. Sedangkan posisi rumah-rumah adat mayoritas menghadap ke arah timur dan barat. Sementara itu, areal persawahan dan perladangan mayoritas di arah utara, selatan dan barat.
Orang Karo meyakini bahwa alam sekitar diri manusia sendiri dianggap sebagai "makro-kosmos". Alam sekitar ini digolongkan ke dalam beberapa inti kehidupan yang masing-masing dikuasai oleh nini beraspati (nini = nenek), yaitu;
1. beraspati taneh (inti kehidupan tanah)
2. beraspati rumah (inti kehidupan rumah)
3. beraspati kerangen (inti kehidupan hutan),
4. beraspati kabang (inti kehidupan udara).
Dalam ornamen Karo, nini beraspati ini dilambangkan dengan gambar cecak putih (disebut perenget-renget) yang dianggap sebagai pelindung manusia. Beraspati, oleh penganut pemena atau guru khususnya dibagi lagi ke dalam beberapa jenis lingkungan alam atau tempat dan keadaan. Beraspati lau (inti kehidupan air) misalnya, dibedakan lagi atas sampuren (air terjun), lau sirang (sungai yang bercabang), tapin (tempat mandi di sungai) dan lain-lain. Beraspati rumah (inti kehidupan rumah) dibagi lagi atas bubungen (bubungan), pintun (pintu), redan (tangga), palas (palas), daliken (tungku dapur), para (tempat menyimpan alat-alat masakdi atas tungku dapur) dan lain-lain. Beraspati taneh dibedakan atas kerangan (hutan), deleng (gunung), uruk (bukit), kendit (tanah datar), embang (jurang), lingling (tebing), mbal-mbal (padang rumput). Ini yang menjadi dasar setiap guru di Karo akan selalu mengadakan persentabin (mohon ijin) kepada nini beraspati sebelum melakukan upacara ritual, tergantung dalam konteks mana upacara akan dilakukan, apakah kepada beraspati taneh, beraspati air, beraspati kerangen atau beraspati kabang dan kadang-kadang para guru menggabungkan beberapa beraspati yang dianggap penting dapat membantu kesuksesan suatu upacara ritual yang mereka adakan dalam praktek hidup sehari-hari.

III. Praktik hidup sehari-hari
Upacara ritual dalam hidup masyarakat sehari-hari terlihat dalam upacara panen padi. Para petani akan memberikan sesaji kepada Si Bru Dayang yang telah menjaga tanaman-tanaman mereka, dan untuk kedepannya semoga Bru Dayang tetap berkenan menjaga tanaman mereka agar hasil yang didapat nantinya lebih baik dari tahun ini. Dalam upacara itu, Guru akan mendoakan sesaji yang diberi ditambah dengan beberapa mantra (tabas). Adapun sesajinya berupa makanan khas Karo, rokok dari daun nipah beserta tembakaunya, beberapa jenis bunga dan perlengkapan untuk makan sirih (kampil). Contoh berikutnya adalah dalam upacara perumah begu seorang guru si baso mengadakan persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati rumah agar meraka masing-masing sebagai inti kehidupan tersebut tidak mengganggu atau menghambat jalannya upacara. Biasanya dilakukan dengan meletakkan sirih yang disebut belo cawir (sirih, kapur, pinang dan gambir). Belo cawir ini merupakan lambang diri manusia. Sirih dalam belo cawir sebagai lambang tubuh manusia, kapur lambang dari darah putih sesuai dengan warnanya putih, pinang dan gambir adalah lambang dari darah merah manusia karena perpaduan keduanya memberi warna merah. Adanya kehidupan pada manusia disebabkan bekerjanya ketiga unsur tersebut sebagai metabolisme tubuh manusia yang saling mengatur peredaran darah dalam tubuh. Mantra (Karo = tabas) yang dipakai guru dalam rangka persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati rumah adalah sebagai berikut:
"enda ku sentabi kel aku o nini beraspati taneh kenjulu kenjahe -
sider bertengna, cibal beloku, belo cawir, pinang cawir, kapur meciho,
pinang meciho maka meciholah penuri - nurin Dibata si lakuidah.
Maka ula kari abat ula kari alih, enda persentabinku, o nini beraspati
rumah ujung kayu bena kayu . . .". (" Ini aku datang memohon ijin
kepada nenek sebagai inti kehidupan tanah dari segala sisi, ku
letakkan sirih permohonanku, terdiri dari sirih bersih dan bagus
demikian juga pinangnya, kapur yang putih bersih dan terang atau
jelaslah keterangan dan petunjuk dari Dibata yang tidak terlihat.
Supaya tidak ada yang menghalangi upacara ini, permohonan ijin
dariku, kepada nenek beraspati rumah , baik yang ada di ujung kayu
ataupun di pangkal kayu . . .").

Disamping hal di atas, kosmologi Karo mempunyai perbedaan yang sifatnya umum antara alam gaib dan alam biasa. Alam gaib ditunjukkan dengan pemakaian kata ijah (di sana) dan alam manusia biasa dengan kata ijenda (di sini). Dalam peristiwa pemanggilan roh-roh orang mati tersebut berasal/datang dari negeri seberang, sedangkan alam biasa tempat kehidupan manusia disebut doni enda (dunia ini). Ini menunjukkan bahwa alam gaib itu berbeda jauh dengan alam tempat kehidupan manusia, tidak ada seorangpun yang tahu pasti dimana, hal ini terutama menandakan bahwa roh-roh yang telah mati tidak sama dengan manusia yang hidup. Ini dibuktikan dengan kata seberang yang dalam pengertian para guru dianggap melewati suatu batas yang ditandai oleh lau (air), sehinga disebut negeri seberang, harus menyeberangi sesuatu untuk sampai ke tempat tersebut yang disebut sebagai i jah (di sana). Dalam hal ini diungkapkan bahwa lau (air) merupakan penghubung antara manusia dan roh-roh yang telah mati. Hal ini pula yang menyebabkan banyak guru memakai air yang ditempatkan dalam suatu mangkuk putih, terutama jika guru merasa bahwa penyebab dari keadaan yang tidak seimbang pada diri manusia tersebut disebabkan karena ada hubungannya dengan roh-roh orang mati yang mengganggu.

III. Penutup
Dari penjelasan diatas, agama pemena adalah agama tradisi. Saya menamainya agama tradisi karena sistem kepercayaan ini sudah menjadi tradisi yang lekat dengan kehidupan masyarakat Karo. Selain itu dapat kita tarik kesimpulan bahwa agama tradisi suku Karo banyak dipengaruhi oleh agama Hindu. Hal ini dapat dilihat dari beberapa istilah yang sama, pembagian kedudukan Dibata (Tuhan) dan masih banyak lagi. Karena disebut sebagai agama tradisi, maka ajaran-ajaran tersebut melekat dalam kepribadian masyarakat Karo. Para pemeluk agama tradisi masih menjalankan segala ritual yang ada dalam ajaran agama suku itu. Tidak hanya para pemeluk saja yang menjalankan ritual tersebut, tetapi orang-orang Karo yang telah memeluk agama lain seperti agama Kristen atau Islam juga turut menjalankan beberapa ritual yang dianggap sebagai bagian dari adat