Kamis, 01 Agustus 2013

Tujuh Keajaiban, Empat Batu dan Tiga Air

 
Gondang Saparangguan (Seperangkat Gendang Batak), Pagar (Ramuan penangkal penyakit), hujur sumba baho (tombak bertuah), piso solom Debata (pedang bertuah),  pungga Haomasan (Batu Gosok Emas),
 tintin Sipajadi-jadi (Cincin Ajaib), tawar Sipagabang-abang, Sipagubung-ubung, Sipangolu na Mate, Siparata Naung Busuk (Obat yang mampu menghidupkan yang sudah mati, serta menyegarkan kembali yang telah busuk). Pagar, Hujur Sumba Baho, Piso Solom Debata, Pungga Haomasan, Tintin Sipanjadi-jadi dan Tawar, semua dibungkus dengan buku lak-lak atau buku Pustaha, yaitu Buku Ilmu Pengetahuan tentang kebudayaan Batak, yang di tulis dengan aksara Batak. 
Peti Batu tempat penyimpanan harta pusaka inilah yang disebut Batu Hobon (Peti Batu) karena Hobon artinya Peti.
 

Keanehannya,
Sudah tiga kali orang berusaha untuk membuka Batu Hobon ini namun ketiga-tiganya gagal, dan orang yang berusaha membuka itupun serta merta mendapat bala dan meninggal dunia.
Pertama :
Pada zaman penjajahan Belanda, ada seorang pejabat Pemerintah Belanda dari Pangururan, berusaha untuk membuka batu Hobon, dia berangkat membawa dinamit dan peralatan lain, serta beberapa orang personil. Pada saat mereka mempersiapkan alat-alat untuk meledakkan Batu Hobon itu dengan tiba-tiba datanglah hujan panas yang sangat lebat, disertai angin yang sangat kencang, serta petir dan guntur yang sambung menyambung, dan tiba-tiba mereka melihat ditempat itu ada ular yang sangat besar dan pada saat itu juga ada berkas cahaya (sinar) seperti tembakan sinar laser dari langit tepat keatas Batu Hobon itu, maka orang Belanda itu tiba-tiba pingsan, sehingga dia harus di tandu ke Pangururan, dan setelah sampai Pangururan dia pun meninggal dunia.
Kedua :
Pada masa pemberotakan PRRI, ada seorang tentara yang berusaha untuk membuka Batu Hobon ini, menembaki Batu Hobon itu dengan senapan, tetapi sampai habis persediaan pelurunya Batu Hobon itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan si Tentara itu menjadi gila dan dia menjadi ketakutan dia berjalan sambil berputar-putar, serta menembaki sekelilingnya, walaupun peluru senapannya sudah kosong, dan tidak berapa lama, si Tentara itupun meninggal dunia.
Ketiga :
Pernah juga ada orang yang tinggalnya di daerah Sumatera Timur, berambisi untuk mengambil Harta Pusaka yang ada dalam Batu Hobon ini, sehingga mereka berangkat kesana dengan beberapa orang personil, membawa peralatan untuk membuka dan memecahkan batu. Mereka sempat membuka tutup lapisan yang paling atas, tetapi dengan tiba-tiba mereka melihat ular yang sangat besar di Batu Hobon itu sehingga mereka lari terbirit-birit dan gagallah usaha mereka untuk membuka Batu Hobon itu dan tidak berapa lama pimpinan rombongan itupun meninggal dunia dan anggota rombongan itupun banyak yang mendapat bala.
Tutup Batu Hobon yang terbuka itu, sempat mengundang keresahan bagi tokoh masyarakat Tapanuli Utara sehingga datanglah ratusan murid-murid Perguruan HKI dari Tarutung yang dipimpin oleh Bapak Mangantar Lumbantobing, untuk memasang kembali tutup Batu Hobon yang sempat terbuka itu. Pada mulanya tutup batu itu tidak dapat diangkat, walaupun telah ratusan orang sekaligus mengangkatnya, tetapi barulah setelah diadakan Upacara memohon restu penghuni alam yang ada di tempat itu yang dipimpin oleh salah seorang pengetua adat dari limbong, maka dengan mudah, tutup batu itu dapat diangkat dan dipasang kembali ketempat semula.
Demikianlah setelah Saribu Raja selesai memasukkan/menyimpan harta Pusaka ke dalam Batu Hobon, maka berangkatlah dia bersama si Boru Parese, mengembara ke hutan rimba raya hingga mereka sampai di Ulu Darat dan disanalah si Boru Pareme tinggal, hingga lahir anaknya yang diberi nama Raja Lontung.
Setelah si Sariburaja berangkat mengembara ke hutan rimba, maka abang mereka pun yaitu Raja Uti (mempunyai kesaktian) dan karena kesaktiannya terbang ke Pusuk Buhit dan dari Pusuk buhit terbang ke Barus dan Aceh, demikian juga adik mereka yang paling bungsu yaitu si Lau Raja dia berangkat ke sebelah timur menuju Pulau Samosir, demikian juga si Sagala Raja di perkampungan disana yaitu daerah Negeri Sagala yang sekarang.
Pada mulanya Limbong Mulana juga ikut membuka perkampungan di daerah Sianjur Mula-mula yang perkampungannya sekarang disebut Bagas Limbong, tetapi kemudian Limbong Mulana meninggalkan daerah bagas Limbong, dia kembali menempati daerah perkampungan orangtuanya yaitu daerah Parik Sabungan, disanalah Limbong Mulana tinggal menetap, kemudian membuat nama daerah itu daerah Limbong. Maka di negeri Limbong inilah tempat semua yang kita sebut di atas, PINTU HALONGANGAN, OPAT BATU TOLU AEK, (Tujuh Keanehan, Empat Batu Tiga Air).
Yaitu :
1. Mula Ni Guru Tatea Bulan atau Aek Boras
2. Mual Ni Boru Pareme
3. Batu Parhusipan
4. Batu Pargasipan
5. Batu Nanggar
6. Batu Hobon
7. Mual Pansur Sipitu Dai
Mual Pansur Sipitu Dai (Pancuran Tujuh Rasa) adalah satu air dengan tujuh buah pancuran yang masing-masing, pancuran mempunyai tujuh sumber mata air, yang masing-masing mengalir sehingga bergabung menjadi satu aliran dalam satu bak yang panjang, kemudian dari bak yang panjang itu dibuat pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam pula seperti pada sumber mata airnya padahal telah bergabung dalam bak yang panjang.
Air ini disebut “PANSUR SIPITU DAI” (Pansur Tujuh Rasa), karena pancuran yang tujuh itu mempunyai tujuh macam rasa, ketujuh pancuran ini, dibagi menurut status masyarakat yang ada di Limbong yaitu :
1. Pansuran ni dakdanak yaitu tempat mandi bayi yang masih belum ada giginya
2. Pancuran ni sibaso yaitu tempat mandi para ibu yang telah tua, yaitu yang tidak melahirkan lagi
3. Pansuran ni ina-ina yaitu tempat mandi para ibu yang masih dapat melahirkan
4. Pansur ni namarbaju yaitu tempat mandi gadis-gadis
5. Pansur ni pangulu yaitu tempat mandi para raja-raja
6. Pansur ni doli yaitu tempat mandi para lelaki
7. Pansur Hela yaitu tempat mandi para menantu laki-laki yaitu semua marga yang mengawini putri marga Limbong
KEANEHANNYA :
1. Dari tujuh macam rasa yang dari pancuran itu tidak ada satupun seperti rasa air biasa
2. tujuh macam rasa bersumber dari tujuh mata air telah bergabung dalam satu Labuan (Bak Panjang) tetapi anehnya rasa air yang tujuh macam itu, dapat terpisah kembali, sehingga rasa air yang mengalir melalui pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam rasanya.
3. selama bergabung dalam labuan (bak panjang), rasa lainnya hanya satu macam saja, walaupun sumbernya tujuh macam dan keluarnya tujuh macam
4. apabila air ini diambil dan dibawa ke tempat jauh dan tidak direstui oleh penghuni alam yang ada di tempat itu, maka airnya akan menjadi tawar seperti air biasa.
5. Mandi di pancuran ini, dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
6. apabila ada orang jatuh saat mandi di Pancuran ini, kalau pada saat jatuh kepalanya ke arah hulu, maka ia akan jatuh sakit, tetapi kalau kepalanya ke arah hilir, maka ia akan meninggal dunia.
7. di pancuran ini, orang dapat berdoa kepada Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Mah Esa) memohon kesembuhan, memohon agar murah rejeki dan memohon bermacam keinginan lainnya, dan ternyata sudah banyak orang yang telah berhasil memperolehnya.

 

Pancur Tujuh Rasa adalah melambangkan angka sakti atau bilangan sakti, karena bilangan tujuh itu adalah bilangan sakti dalam kehidupan ritual bagi suku Batak, dan juga melambangkan beberapa macam keadaan suku Batak.
Adapun berbagai macam keadaan yang dilambangkan Pancur Tujuh Rasa ini ialah :
1. menurut ahli perbintangan Batak, bahwa dunia ini beserta isinya, di ciptakan oleh Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) dalam tujuh hari yaitu mulai dari artia hingga samirasa yaitu hari pertama hingga hari ke tujuh, menurut penanggalan Batak jumlah hari penciptaan yang tujuh inilah yang merupakan dasar untuk dikembangkan menjadi nama-nama hari yang tigapuluh untuk mengikuti peredaran bulan mengelilingi bumi selama satu bulan. Jumlah hari yang tujuh itu, sama dengan jumlah hari yang pergunakan kalender Internasional, yang lazim disebut dengan istilah seminggu, namun perbedaan antara kalender Internasional dengan kalender penanggalan Batak ialah : kalender Internasional berpedoman kepada siang, yakni berdasarkan peredaran matahari, yang dimulai dari tengah malam yaitu jam 0.00 sampai dengan yakni jam 0.00. Tetapi penanggalan Batak berpedoman kepada malam yang berdasarkan peredaran bulan yaitu dimulai dengan jam 18.00 (jam 6.00 menjelang malam) sampai dengan jam 18.00.
Adapun nama-nama hari yang tujuh itu, kemudian dikembangkan menjadi tiga puluh, mengikuti peredaran bulan dalam satu bulan, adalah sebagai berikut :
Artia (hari pertama, senin), suma (hari kedua selasa), anggara (hari ketiga rabu), muda (hari keempat kamis), boras pati (hari kelima Jumat), singkora (hari keenam sabtu), samisara (hari ketujuh minggu), artian ni aek, suma ni mangodap, anggara sampulu, muda ni mangodap, boraspati ni tangkop, singkora purnama, samisara purnama, tula, suma ni holom, anggara ni holom, nada ni holom, singkora mora turunan, samisara mora turunan, artian ni angga, suma ni mate, anggara ni begu, muda ni mate, boras pati na gok, singkora duduk, samisara bulan mate, hurung, ringkar.
Kalender Internasional menghitung hari 356 hari atau 12 bulan dalam setahun, tetapi penanggalan batak menghitung hanya 355 hari atau 12 bulan namun sekali 3 (tiga) tahun, ada bulan ke-13 yang disebut bulan lamadu.
Dalam kehidupan suku Batak ada ahli perbintangan yang namanya disebut “Datu Siboto Ari”. Datu Siboto Ari ini dapat mengetahui dan menentukan, hari yang baik, hari yang sial, hari yang naas, hari yang subur dan hari-hari lainnya. Datu Siboto Ari (ahli perbintangan Orang Batak) yang dapat mengetahui dan menentukan mana hari baik dan mana hari sial, bukanlah ilmu ramal-meramal tetapi sesuai dengan ilmu pengetahuan yang mereka kuasai maka mereka dapat membaca dan mengartikan situasi yang akan terjadi pada saat-saat tertentu, atau hari-hari tertentu sesuai dengan pengaruh dan hubungan letak dan posisi bulan pada garis edarnya dan akibatnya terhadap manusia.
Jadi jelaslah bahwa ilmu perbintangan Batak itu bukanlah ilmu ramal meramal, melainkan adalah ilmu pengetahuan alam atau ilmu hukum alam. Menurut ilmu perbintangan batak bahwa manusia itu sangat erat kaintannya dengan alam semensta, sehingga letak dan posisi bulan pada garis edarnya, ini sangat berpengaruh dan mempunyai akibat tertentu, terhadap kehidupan manusia maka oleh karena itu untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu, harus dipilih hari yang baik. Para Datu Siboto Ari (Ahli Perbintangan Batak), pada umumnya mereka menuliskan ilmu pengetahuan perbintangan itu pada sepotong bambu yang disebut “Bulu Parhalaan”.
Didalam bulu parhalaan ini dituliskan daftar hari baik dan hari sial serta hari-hari lainnya, sesuai dengan pengaruh dan akibat letak posisi bulan pada garis edarnya terhadap manusia yang berhubungan dengan bentuk pekerjaan yang akan dikerjakan dan juga disesuaikan dengan tingkatan status orang yang akan mengerjakan pekerjaan itu. Hanya sayang Bulu parhalaan itu, sangat sederhana sekali, jadi masih memerlukan usaha kita sekarang untuk menyempurnakannya, sehingga menjadi ilmu yang sangat bermanfaat luas dalam kehidupan manusia.
 
2. Pansur Sipitu Dai (Pancur Tujuh Rasa) juga melambangkan bahwa penguasa Alam Semesta, bersemayam pada tingkatan langit yang Ketujuh, dan pada lapisan awan yang ketujuh. Hal ini dapat kita lihat dalam Tonggo-tonggo si Raja Batak (Doa Siraja Batak) sewaktu si Raja Batak mengadakan upacara persembahan menyembah Debata Mulajadi Na Bolon di Puncak Dolok Pusuk Buhit, dengan Tonggo-tonggo (Doa sebagai berikut) :
“Hutonggo hupio hupangalu alui ma hamu ompung, Debata Mula Jadi Nabolon, dohot tamu ompung Debata Natolu, natolu suhu natolu harajaon, namanggomgomi langit dohot tano, dohot jolma manisia”. (Aku berdoa, menyebutkan dan berseru padamu Tuhan, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan dengan Tiga nama Tuhan dengan kekuasaan, tiga kerajaan, yang menguasai langit bumi serta segenap isinya).
Mula ni dungdang mula ni sahala, Siutung-untung nabolon, silaeng laeng mandi, Siraja inda-inda, siraja indapati. (Awal dari “dungdang” awal dari kharisma, Siuntung-untung na bolon, burung layang-layang, Siraja inda-inda, Siraja idapati).
Napajungjung pinggan, dihos ni mataniari, Nahinsa-hinsa suruon, nagirgir mangalapi, nasintak sumunde-sunde, nauja manotari, siboto unung-unung, nauja manangi-nangi. (Yang menjingjing piring di tengah teriknya matahari, yang gampang disuruh, dan mudah jemput, yang maha tau apa yang dibicarakan, serta yang peka).
Napabuka-buka pintu, napadung-dang dungdang ari, napasorop-sorop ombun, di gorjok-gorjok ni ari, parambe-rambe nasumurung, sitapi manjalahi, napatorus-torus somba, tu ompunta Mulajadi. (Yang membuka pintu, yang menentukan hari, yang meneduhkan hari, diatas teriknya panas mata hari, menenangkan yang panas hati, dan menunjukkan jalan yang baik, yang meneruskan doa kepada Tuhan).
Tuat ma hamu ompung, sian ginjang ni ginjangan, sian langit ni langitan, sian toding banua ginjang, sian langit na pitu tingka, sianombun na pitu lampis, sian bintang na marjombut, tu lape-lape bulu duri, sian mual situdu langit, tu gala-gala napul-pulan, hariara sangka mandeha, baringin tumbur jati, disi do partungkoan ni ompunta Mulajadi. (Datanglah Engkau ya Tuhan, dari tempat yang Maha Tinggi dari atas langit, serta alam semesta. Dari langit yang ketujuh dan dari awan yang ketujuh lapis, “sian bintang najorbut, tu lape-lape bulu duri”. Dari mata air menuju langit, tu gala-gala napulpulan. Hariara sangka mendeha, baringin tumbur jati, disitulah bersemayam, Allah Bapak maha Pencipta langit dan bumi).
Jadi dalam tonggo-tonggo ini, jelas kita mengetahui bahwa Allah Pencipta alam, bersemayam di langit yang ke tujuh.
 
3. Pansur si Pitu Dai (Pancuran tujuh rasa), juga melambangkan bahwa ramuan obat-obatan tradisionil Batak, banyak yang harus bersyarat tujuh misalnya : harus tujuh macam, harus tujuh kali, harus tujuh buah, harus tujuh lembar, atau harus tujuh potong.
 
4. Pansur sipitu Dai (Pancur tujuh rasa), juga melambangkan tata tertib acara margondang (acara Gendang Batak). Pada acara margondang, acara harus dimulai dengan Gondang si Pitu Ombas (tujuh buah irama lagu Gendang dimainkan secara non stop tanpa di ikuti dengan tarian). Setelah gendang sipitu Ombas selesai, maka dimulailah acara menari, tetapi acara ini, harus dimulai dengan “Pitu Hali Mangaliat” (Arak-arakan tujuh kali keliling lapangan menari) dan untuk menutupi acara margondang ini, harus dimulai dengan acara Pitu hali mangaliat.
 
5. Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa) juga melambangkan “partuturan” (panggilan) dalam stuktur atau susunan Tarombo (silsilah) karena hanya tujuh Generasi yang mempunyai Pertutuan (panggilan) dalam satu garis keturunan yaiut :
1. Ompu : Nenek moyang yaitu semua genarasi mulai dari tiga generasi diatas kita.
2. Ompung : Kakek, yaitu orang yang dua generasi diatas kita
3. Amang : Ayah, yaitu yang satu generasi diatas kita
4. Haha Anggi : Abang Adik yaitu orang yang segenerasi dengan kita
5. Anak : Anak yaitu orang yang saatu generasi di bawah kita
6. Pahompu : Cucu, yaitu orang yang dua generasi di bawah kita.
7. Nini : Cicit yitu orang yang mulai tiga generasi di bawah kita.
6. Pansur Sipitu Dai (Pancur Tujuh rasa0 juga melambangkan bahwa dari sepuluh orang keturunan Guru Tatea Bulan, hanya tujuh orang yang mempunyai keturunan langsung, karena tiga orang dari mereka menjadi orang sakti :.
Adapun orang yang menjadi sakti ialah :
1. Raja Uti Sakti dan tinggal di udara, di darat dan di laut.
2. Boru Biding laut (boru Tunghau), sakti dan tinggal di hutan atau darat
3. Nan tinjo Sakti dan tinggal di Danau Toba atau laut.
Adapun yang mempunyai keturunan langsung sebanyak tujuh orang yaitu :
1. Saribu Raja
2. Limbong Mulana
3. Sagala Raja
4. Silau Raja
5. Boru Pareme
6. Bunga Haomasan
7. Anting Haomasan
Nama yang tujuh ini di gabung menjadi satu ikatan yang dinamakan “Sipitu Tali’ (tujuh satu ikatan), dan nama yang tujuh ini jugalah yang menjadi pedoman untuk pembagian negeri limbong menjadi Pitu Turpuk (tujuh daerah perkampungan), kemudian sipitu tali atau sipitu turpuk ini juga yang menjadi dasar tata pelaksanaan hukum adat di negeri limbong, baik secara pribadi, maupun secara kelompok.
Pemerintahan Limbong dilaksanakan oleh kumpulan dari utusan dari tiap kelompok atau turpuk, yang disebut dengan nama Raja Bius (Raja Wilayah) atau dengan istilah Raja Ni Sipitu Tali. Demikian juga dalam acara kebudayaan ritual, misalnya mengadakan pesta Horbo Bius atau horbo lae-lae, maka raja Bius atau raja ni Sipitu tali inilah yang paling banyak berperan dengan raja-raja yang lain yaitu :
‘Jonggi Manaor” dari turpuk Sidauruk
“Raja Sori” dari turpuk Borsak Nilaingan
“Raja Paradum” dari turpuk Nasiapulu
“Manontang Laut” dari turpuk Sihole
“Raja Paor” dari turpuk habeahan
Bersamaan dengan itu, lahirlah Sisingamangaraja dari marga Sinambela dan juga Palti Raja dari marga Sinaga. Kesaktian Jonggi Manaor ialah Batara Guru Doli bertempat tinggal di Limbong. Kesaktian Sisingamangaraja ialah dari Bala Sori bertempat tinggal di Bakkara, dan kesaktian Palti Raja ialah Bane Bulan bertempat tinggal di Palipi.
Jonggi Manaor beserta dan Raja Sori, Raja Paradum, Manontang Laut dan Raja Paor, mereka inilah pelaksana utama dalam upacara “Hoda Somba” yaitu upacara persembahan, mempersembahkan kuda kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan Yang Maha Esa). Kuda ini dipersembahkan melalui perantaraan Raja Uti, “Raja Hatorusan natorus marpangidoan tu Debata” (yang biasa atau yang bisa langsung bermohon kepada Tuhan Yang Maha Esa). Upacara Hoda Somba ini diadakan terutama kalau terjadi kemarau panjang di seluruh wilayah Samosir.
Maka Hoda Somba (Kuda Persembahan) disediakan oleh keturunan Lontung dari Samosir, kemudian kuda ini diantarkan ke Limbong yang Upacara penyerahan ini dipimpin oleh marga Situmorang, kemudian di Limbong diadakan upacara memohon turunnya hujan mereka pergi ke Simanggurguri dengan membawa seperangkat Gendang di Simanggurguri Jonggi Manaor Martonggo (berdoa) memohon turunnya Hujan, dan pada saat itu juga pasti datang hujan sehingga semua peserta upacara itu harus basah kuyup di Limbong di Guyur air Hujan.
Hoda Somba (Kuda Persembahan) ini dipotong kemudian dikuliti, semua dagingnya dibagi dan dimakan menurut tata cara hak (Parjambaron)menurut status dan kelompok masing-masing kepada semua peserta upacara. Hoda Somba (Kuda Persembahan).
Kemudian kulit Kuda itu, diantarkan kepada Raja Uti di Barus dan yang mengatarkannya ialah Jonggi Manaor, Raja Sori, Raja Paradum, Manontang Laut dan Raja Paon, mereka berjalan kaki dari negeri Limbong melewati Hutan belantara menuju Barus.
Tetapi … setelah mereka berjumpa dengan Raja Uti di Barus, kulit Kuda yang mereka bawa dari Limbong itu menjelma menjadi Kuda yang hidup sebagaimana Kuda itu sebelum dipotong.
Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa) ini juga mempunyai kisah tersendiri dari si Boru Pareme, karena di Pansur Sipitu dai inilah si Raja Lontung bertemu dengan si Boru Pareme, yang kemudian mereka kawin. Hingga sekarang, apabila ada orang yang kesurupan si Boru Pareme, maka orang itu selalu meminta manortor (Menari) di Pansur Sipitu Dai. Siboru Pareme dengan Raja Lontung mempunyai 7 (tujuh) keturunan yaitu : Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar.
Dari anak Lontung yang tujuh orang ini, anak yang paling bungsu yaitu Marga “Siregar”, adalah menantu kesayangan bagi marga Limbong. Hal itu dapat dibuktikan kalau pansur Ni Hela salah satu Pancuran dari yang tujuh yang di khususkan untuk tempat mandi semua menantu (yang mengawani putri Limbong), kalau pansur Hela ini russak, maka hanya marga Siregarlah yang berkewajiban dan berhak untuk memperbaiki Pancuran itu.
Demikianlah Kisah Pitu Halongangan Opat Batu Tolu Aek, (Tujuh keajaiban Empat Batu Tiga Air), yang terletak di Kaki Dolok Pusut Buhit Kecamatan Sianjur Mula-mula, semoga bukti-bukti sejarah yang masih mempunyai keanehan ini, dapat dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi penerus Bangsa Indonesia karena kebudayaan yang ada di Sianjur Mula-mula adalah milik seluruh BANGSA INDONESIA HORAS.

Kerajaan Batak Tua

Berdasarkan informasi data yang dapat saya kumpulkan, baik yang berasal dari cerita rakyat, maupun data kepustakaan, konon kabarnya; sekitar abad pertama Masehi, telah berdiri kerajaan Batak (Pa’ta), berkedudukan di Batahan (diperkirakan, di sekitar kota Natal sekarang). Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh pantai barat Sumatera, yang pada zaman dahulu, disebut pulau Andalas (Baca: Adda las ?), sampai ke pulau Jawa bagian barat yang dihuni oleh suku Badui.
Konon sebutan/istilah Badui, berasal dari bahasa Austronesia purba yang juga masih banyak dipergunakan oleh orang Batak sekarang, terdiri dari dua suku kata, Ba-niadui (Nun disana).
Pada masa itu, bangsa Batak, menganut suatu kepercayaan yaitu Agama Malim; pimpinannya disebut Raja Malim, dibantu oleh para Nabi  (Panurirang) dan para pengikutnya disebut Parmalim.
Berkaitan dengan pemerintahan, Raja Malim bertindak sebagai penasehat dan disebut Paniroi/Sitiroi. (Seorang ahli ilmu bumi dari Iskandariah, bernama Claudius Ptolomeus, menyebutnya Satyroy). Kepala pemerintahan yang disebut Sirajai jolma bertindak sebagai Pemangku adat/Penegak hukum. (Bandingkan : Executip)
Terbetik berita, bahwa pada masa jayanya kerajaan Batak dahulu itu, didirikanlah Kampus Perguruan tinggi Parmalim di Gunungtua, dimana masih terdapat sisa-sisa peninggalannya hingga sekarang, antara lain:
Candi Portibi, Biaro Bahal I, Bahal II, Bahal III, Sitopaon (Sitopayan), Candi Pulo, Candi Barumun, Candi Singkilon, Candi Sipamutung, Candi Aloban, Candi Rondaman Dolok, Candi Bara, Candi Magaledang, Candi Sitopayan dan Candi Nagasaribu.
Raja raja dari Sriwijaya yang muncul kemudian dan berkuasa di pantai timur pulau Sumatra, tidak pernah mengganggu keberadaan kerajaan Batak di bagian barat; kabarnya, karena mereka masih ada hubungan keluarga; sama sama keturunan keluarga Sailendra, yaitu keluarga yang datang dari pulau Sai lam=Sai lan=Ceylon.
*.Menurut Drs. Nalom Siahaan, dalam bukunya Adat Dalihan Natolu hal. 9, disebutkan, bahwa di Palembang, terdapat batu bertulis yang berjudul Marmangmang. Dalam buku Sejarah Indonesia, ada juga yang menceritakan tentang prasasti kedukan bukit, yang berisikan sumpah sarapah, terdiri dari empatbelas baris. Marmangmang dalam bahasa Batak adalah Martolon, yang berarti=Mengangkat sumpah. Patut dipertanyakan, apa hubungannya batu marmangmang  yang di Palembang itu dengan orang Batak ?
Di daerah Sumatra bagian selatan, terdapat banyak nama/ istilah yang punya kesamaan dengan bahasa Batak (Karakteristik Batak), antara lain:

Palembang  = Palumbang   = luaskan/kembangkan
Lampung     = Lampung(u) = (semakin kumpul/bersatu.
Rajabasa      = Raja nabasa  = Raja yang budiman.
 To lang bawang (ejaan Cina)   = Tulang bao (ejaan  Batak),  berarti Paman dari istri.
Kubu               = Benteng pertahanan.
Dihubu           = Ditaklukkan / di rebut.
Sakai               = Sangkae baca: Sakkae)=1/4
Dan masih banyak lagi nama / istilah seperti itu, khususnya di daerah sekitar Danau Ranau dan Ogan Komering.
Kedatangan berbagai etnis India ke pantai timur Sumatera dan pantai Barat Sumatera Utara sudah jauh sekali sebelum Masehi, yaitu membawa agama Hindu dan terakhir kemudian juga agama Budha terutama masa arus angin dari India ke Barus pada bulan November dan Desember. Prof. Coomalaswamy* menulis bahwa Sumatera yang mula-mula sekali dari sejak sebelum Masehi menerima pendatang Hindu-India. Mereka membawa aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta.
Abad ke-V Masehi gelombang dari India Selatan membawa agama Budha ke Sumatera dan memperkenalkan aksara Nagari yang menjadi cikal bakal aksara Melayu Kuno, Batak dan lain-lain.
Sejak abad ke-3 M, transportasi perdagangan di kepulauan Nusantara berada di tangan orang Cola. Pusat di Tamilakam, diambil alih oleh orang Pallava yang kemudian pula ditaklukkan oleh Cola kembali diabad ke-9 M. Juga pada tahun 717 M pendeta Tamil Wajabodhi membawa aliran Tantrisme Mahayana Budha ke MALAYU seperti terdapat di candi di Padang Lawas dan patung Adytiawarman di Pagarruyung. Kesemuanya bersamaan dengan membawa juga pengaruh atas perdagangan dan adat-budaya kepada masyarakat di pantai Barat Sumatera Utara dan mereka membawa aksara PALLAWA.
Menurut Tome Pires (1515 M) Raja Pasai dan sebagian penduduknya berasal dari India Islam dari Bengal. Banyak Pedagang Gujarat, Kling dan Bengal di sini.
Di Barus, tepat nya di Lobu Tua (bekas pelabuhan internasional di masa kejayaannya) letak nya di pantai barat Propinsi Sumatera Utara telah ditemukan Batu Bersurat, tetapi atas perintah pembesar Belanda kepada Raja Barus Sutan Mara Pangkat sebahagian telah dihancurkan. Adapun sisa-sisa dari pecahan batu prasasti itu ada disimpan di seksi arkeologi Museum Pusat Jakarta, dan inskripsinya sudah diterjemahkan oleh PROF. DR. K. A. NILAKANTA SASTRI dari Univ. Madras ditahun 1931, yang menurut beliau prasasti itu dibuat ditahun Saka 1010 (=1088 M.). Itu masa pemerintahan RAJA COLA, Kerajaan yang diperintah oleh KULOTUNGGADEWA-I yang menguasai wilayah Tamil di India Selatan.
Kalau kita baca “HIKAYAT MELAYU” karangan Bendahara Melaka TUN SRI LANANG (abad ke-16 M), itu memang cocok dengan apa yang tertulis di prasasti TANJORE (1030 Saka), ketika Raja RAJENDRA COLA DEWA-I pada tahun 1025 M menyerang Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di Sumatera Utara dan Malaya (Pannai, Lamuri Aceh).
Dari Prasasti Lobu Tua itu dapat  kita ketahui bagaimana eratnya hubungan perdagangan dan budaya “benua” India dengan Sumatera. Prasasti Lobu Tua itu berisi tentang aktivitas perdagangan kumpulan konglomerat Tamil yang dikenal dengan nama “MUPAKAT DEWAN 1500”. Anggotanya terdiri dari berbagai sekte Brahmana, Wisnu, Mulabhadra dan lain-lain. Keberbagai negara mereka pergi membawa barang dengan kapal mereka sendiri dan disitu mendirikan Loji (gudang yang berbenteng yang dijaga oleh prajurit mereka). Mereka tidak tunduk kepada sesuatu kerajaanpun tetapi disambut hangat oleh setiap negeri/yang dikunjungi mereka.
Selanjutnya menurut sejarah, pada tahun 1.000. Masehi, kerajaan Batak ini, pernah mengirimkan utusan ke negeri Cina, untuk memperkenalkan hasil bumi. Berita ini, tertulis didalam buku Ling Wei Taita, disusun oleh Chou Ku Fei pada zaman dinasti Ming. Mendengar berita pegiriman utusan dagang ini, raja Negeri Cola dari India selatan menjadi tersinggung, karena antara negeri Batak dan Negeri Cola sebelumnya telah lama menjalin hubungan dagang.
Pada tahun 1024, Raja Rajendra Cola Dewa (1012–1044 ) dari negeri Cola menyerbu negeri Batak berbarengan dengan penyerbuan Kerajaan Sriwijaya, dan pada tahun 1029, setelah berperang selama lima tahun, negeri Batak dapat ditaklukkan. Raja negeri Batak ditangkap, tetapi tidak dibunuh; negeri itu ditinggalkan begitu saja tanpa pemerintahan.
  • Kerajaan Batak, Barus
Kemudian setelah jatuhnya kerajaan Batak tua (Batahan), yaitu sekitar tahun 1030, berbareng dengan munculnya kerajaan-kerajaan baru pecahan dari kerajaan Batak Tua dahulu, Raja Malim (Pimpinan agama Malim) dari Gunungtua, menobatkan menantunya menjadi raja, “sirajai jolma” (Kepala Pemerintahan), berkedudukan di Barus.
Untuk menunjukkan bahwa dialah yang mulamula/pertama menjadi raja di kerajaan Batak Barus, maka dinamakanlah dia Raja Mula. Raja Mula digantikan oleh anaknya, yaitu Raja Donia, kemudian Raja Donia digantikan oleh anaknya yaitu Raja Sorimangaraja Batak I(Sorimangaraja = Sri Maharaja). Sepeninggal Sorimangaraja Batak I, naik tahtalah anaknya yang kedua bernama Nasiak dibanua; kemudian, raja Nasiakdibanua digantikan oleh anaknya, bergelar Sorimangaraja Batak II.
Dari permulaannya sudah demikian, raja-raja Batak Barus selalu mengambil isteri dari keluarga Raja Malim ; kebiasaan ini dipandang perlu dipertahankan, demi menjaga keserasian pemerintahan (Konstelasi politik); Sorimangaraja Batak II pun, memperisterikan putri Raja Malim juga, yang melahirkan lima orang putra baginya; Putra sulung bernama Siraja Bahar, kedua bernama Sinambeuk, ketiga si Pakpak, ke empat bernama Jonggolnitano dan yang kelima bernama Raja Mangisori yang juga disebut Nagaisori.
Dari kelima orang putra Sorimangaraja Batak II sebagai mana disebutkan diatas, hanya Sinambeuk yang mengambil isteri dari keluarga Raja Malim, yaitu saudara perempuan dari Raja Malim Mutiaraja. Dari perkawinannya itu, Sinambeuk memperoleh seorang putra yang dinamakan Si Raja Batak; dia inilah yang kelak dikemudian hari mendirikan perkampungan Sianjur mulamula di tanah Toba.
Pada masa pemerintahan Sorimangaraja Batak II, datanglah orang Melayu Pagarruyung menyerbu negeri Batak Barus; mereka dibantu oleh para saudagar Islam yang datang dari Gujarat, yang menelan banyak korban jiwa. Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, Sorimangaraja Batak II sudah dapat memperhitungkan, bahwa dia akan kalah perang, maka pada suatu kesempatan, dialihkannyalah kekuasaan pemerintahannya kepada Raja Malim Mutiaraja keponakannya itu (Paraman), dengan perjanjian, bahwa kelak dikemudian hari, kalau situasi sudah memungkinkan, kerajaan itu harus dikembalikan kepada ahli waris. Mereka mengikat perjanjian itu dengan suatu tanda barang pusaka, yang mereka namakan Tabutabu sitara pullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang,yang berarti: “Dari mana datangnya, harus kesitu juga kembalinya“.
Sejak peristiwa pengalihan kekuasaan itu, Mutiaraja memegang dua tampuk kepemimpinan, yaitu: selaku pimpinan agama disebutRaja Malim dan selaku Kepala pemerintahan (Sirajai jolma), disebut Raja Uti.
Pada awalnya, gelaran Kepala pemerintahan itu disebut Raja Unte (baca: Utte), hal ini berkaitan dengan kebiasaan Mutiaraja selaku pimpinan agama (Raja Malim), selalu mempergunakan Jeruk purut (Unte pangir) didalam upacara-upacara keagamaan. Disebut juga Mutiaraja itu dengan sebutan Raja Mangalambung yang arti harfiahnya, menyamping/dari samping, karena dia bukan dari ahli waris. Seirama dengan penggelaran itu, muncullah kebiasaan sesajenan yang membedakan pimpinan agama dengan Kepala pemerintahan; Jika seseorang ingin berhubungan dengan pimpinan agama (Raja Malim), maka sesajenannya adalah kambing warna putih (Hambing sibontar), tetapi jika ingin berhubungan dengan Kepala pemerintahan (Raja Uti), maka sesajenannya adalah kambing warna hitam (Hambing silintom).
Perkiraan Sorimangaraja Batak II tentang perang itu menunjukkan kebenarannya ; dia bersama anaknya Sinambeuk, mati terbunuh dalam perang.
Pada zaman itu, sudah menjadi kebiasaan, bahwa semua keturunan raja yang kalah perang, harus dibunuh, agar tidak muncul kerajaan baru yang akan balas dendam; maka demi keselamatan, setelah Sorimangaraja Batak II mati terbunuh, dan para keluarga raja melarikan diri selagi ada kesempatan.
Konon kabarnya, setelah beberapa generasi kemudian, terbetiklah berita, bahwa:
*   Keturunan Si Raja Bahar telah bermukim di Desa Garo (Garo = Pisang) yang kemudian berubah sebutan menjadi Karo.
*   Keturunan Si Raja Batak, anak dari Sinambeuk, bermukim di Toba.
*   Keturunan Si Raja Pakpak, bermukim di Dairi (Dai Ri).
*   Keturunan Jonggol ni Tano yang memperanakkan Raja Pandudu dan Raja Mante (Mantela), bermukim di Aceh Pidie
(Perlu diteliti lagi, apakah Pidie, berasal dari kata Pudi ? ).
*   Keturunan Raja Mangisori (Nagaisori), bermukim di Daerah Singkil dan Tapak Tuan.
Selanjutnya, perkembangan agama Islam di Barus sangatlah pesatnya, terlebih lagi setelah penguasa Barus masuk memeluk agama itu. Orang Batak yang pertama masuk agama Islam di Barus adalah seorang guru pencak silat, bernama Guru Marnangkok; dan banyaklah orang Batak masuk memeluk agama Islam di Barus. Tak lama setelah penaklukan negeri Barus, bersepakatlah penguasa negeri itu dengan para saudagar Islam, untuk mendirikan negeri baru berbasis Islam yang mereka namakan Negeri Fansur, orang Batak meyebutnya Pansur.(baca:  Paccur).
  • Kerajaan Batak, Pea Langge.
Sejak   zaman   dahulukala,   Raja  Malim  selaku  pimpinan agama Malim, selalu  dipilih  berdasarkan  rapat  kenabian,   bukan seperti kerajaan  yang menjadi warisan turun-temurun.  Dimasa tuanya Mutiaraja, dipilihlah penggantinya untuk memimpin agama dan pemerintahan, (Jabatan rangkap),   maka terpilihlah Raja Malim/Raja Uti II.
Pada  masa  jabatan  Raja  Malim / Raja  Uti   IV,  datanglah raja negeri   Fansur  dari  Barus   menyerbu  negeri  Batak  Pea Langge, terjadilah pertempuran, saling bunuh  membunuh.  Setelah Ompu Bada (Ompu Bada = Panglima Perang) yang memimpin pasukan Pea Langge mati terbunuh, maka, takluklah  negeri  itu.
Raja Malim/Raja Uti IV bersama  para   pengikut  setia nya,  menyingkir ke suatu pulau di lautan Hindia, disebelah barat Pea Langge.; sesuai dengan bentuk pulaunya, dinamakanlah pulau itu, Pulo Munsung Babi. (Sekarang ini didalam peta,  dinamakan Pulau Babi, masuk Kecamatan Pulau banyak).
Sejak  itu,   raja Malim /  Raja  Uti   IV  dengan   para peng gantinya Raja Malim/Raja  Uti  V, VI dan Raja Malim/Raja Uti VII, disebut oranglah dengan sebutan Raja dari Pulau Munsung Babi, akan tetapi, dikemudian hari,  demi  gampang nya diucapkan, disebut/disingkat oranglah dengan sebutan Raja Munsung Babi.
* Nama Raja Uti II dan para  penggantinya, belum dapat diketahui.
* Cerita rakyat di Toba tentang Raja Uti, disarikan tersendiri  dalam Bab V.  Sipahusorhusoron ni roha.
  • Kerajaan Sianjurmulamula.
Sebagaimana telah disampaikan diatas, bahwa sebelum Sorimangaraja Batak II mati terbunuh, dia sempat mengalihkan kekuasaannya kepada Raja Malim Mutiaraja.
Setelah kerajaan Batak Barus jatuh ketangan musuhnya, didalam situasi yang serba semraut, Mutiaraja menyuruh si Raja Batak keponakannya itu (Bere), agar melarikan diri kesuatu tempat yang ditunjukkannya; diberikannya seruas bambu yang berisikan dua gulungan surat (Dokumen), terdiri dari Pustaka Tombaga Holing yang berisikan ilmu kemiliteran dan Pustaka Surat Agong yang berisikan ilmu Tata Negara
Selanjutnya, berangkatlah si raja Batak menuju tempat yang dimaksudkan oleh Mutiaraja pamannya itu; susah payahnya diperjalanan naik gunung turun lembah, tidak dihitung-hitung lagi berapa hari sudah berlalu. Di suatu hari, dalam kondisi capek kelelahan, istirahatlah dia disuatu tempat, lalu duduk diatas sebongkah batu datar (batu ceper) yang dinamakannya batu peristirahatan (Batu Pangulonan), akan tetapi dikemudian hari, dinamakan oranglah itu Batu Hobol, ada juga yang menyebutnya Batu Hobon. Setelah tenaganya pulih kembali, dilanjutkanlah perjalanan; rasa capek dan terik matahari membuatnya kehausan, namun perjalanan harus juga diteruskan, berjalan dan berjalan, menahankan capek dan kehausan; tak disangka tak di nyana, ditemukannya sebuah umbul air, lalu minumlah dia melepas dahaga, maka dinamakannyalah umbul air itu Aek sipaulak hosa loja, yang berarti: umbul air pemulih tenaga.  Setelah minum sepuasnya, diteruskan lagi perjalanan, hingga pada waktu hari mulai senja, sampailah dia ditempat yang dituju, yaitu sebuah Gua batu yang dipesankan oleh pamannya Mutiaraja gelar Raja Malim/ Raja Uti I; kemudian, dinama kannyalah gua itu Liang Raja Uti. (Liang = Gua).
Demikianlah agaknya kebiasaan orang di zaman dahulu kala, kalau mau berdoa (Martonggo) kepada Tuhan sang pencipta, haruslah di puncak gunung, karena menurut pikirnya, lebih dekatlah dari sana berseru kepada sang pencipta Ompu Mulajadi nabolon, yang bermukim di benua atas, dilangit yang ketujuh, maka pada hari-hari berikutnya, si Raja Batak merencanakan naik ke puncak gunung yang ada dekat disana, untuk menyampaikan doa permohonannya. Pada hari yang ditentukan, diambilnya seekor ikan besar, yaitu Ihan Batak/Dengke layan (sejenis ikan Jurung), dimasaknya dan dibawa naik ke puncak untuk dipersembahkan sebagai sajian khusus, pengalas permohonan; kemudian, dinamakannyalah tempat itu Pusuk Buhit, yang berarti: puncak bukit.
Konon menurut berita, selang beberapa waktu setelah jatuhnya Barus, Mutiaraja gelar Raja Malim/Raja Uti I, diam-diam dalam rahasia, dia bersama puterinya, datang dari Barus ke Toba mencari si Raja Batak keponakanya itu; mereka berjumpa dan bermalam di Gua batu/Liang Raja Uti selama dua malam. Dalam pertemuannya itu, Mutiaraja gelar Raja Malim/Raja Uti I, mengamanahkan kepada Si Raja Batak untuk mempersiapkan berdirinya kembali kerajaan Batak.
  • Kerajaan Batak, Bakkara.
 Bakkara
Sebelum   kita  cerita  tentang   kemunculan   kerajaan Batak di Bakkara, baiklah terlebih dahulu disampaikan,  bahwa berdasarkan informasi data yang dapat dikumpulkan,   Raja Manghuntal   lahir pada tahun 1520, dan dinobatkan menjadi Raja Sisingamangaraja I pada tahun 1550 oleh Raja Uti VII di Pulau Munsung Babi.
*. Dalam Sejarah umum, tercatat bahwa Portugis telah menaklukkan negeri Malaka pada tahun 1511, berarti, Raja Manghuntal (Sisingamangaraja I), belum lahir pada waktu itu.
Berdasarkan Silsilah yang sudah baku dikalangan orang Batak Toba, Raja Manghuntal adalah generasi yang ketujuh dari Si Raja Batak; jadi, kalau di hitung-hitung satu generasi adalah 25 (dua puluh lima ) tahun,  dalam arti sudah pantas punya anak, maka  Si Raja Batak  tentulah  sudah  lahir sekitar 175 tahun lebih dahulu dari Raja Manghuntal, yaitu sekitar tahun 1345; dan kalau benar Si Raja Batak itu berumur sembilan belas tahun pada waktu berangkat menyingkir dari Barus, maka Si Raja Batak,   mestinya sudah tiba di Toba, sekitar tahun 1364.
Perjanjian Sorimangaraja Batak II dengan Raja Malim Mutiaraja yang ditandai dengan barang pusaka “Tabutabu sitarapullang,  ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang”, agaknya beredar juga secara rahasia dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi, diantara orang-orang tertentu dari kalangan keluarga Si Raja Batak di Toba. Sangkarsomalidang, anak sulung raja Isumbaon, pergi ke Barus dan bermukim disana sebagai mata-mata (Inteligen) melihat/menunggu kemungkinan pengembalian kekuasaan atas kerajaan Batak, akan tetapi, pada masa itu, situasinya belum memungkinkan; Sariburaja pun, pergi juga ke Barus dengan maksud yang sama, akan tetapi, situasinya serupa juga, belum memungkinkan.
Setelah beberapa generasi kemudian, sampailah berita kepada raja Manghuntal di Bakkara, bahwa Raja Malim/Raja Uti VII, ada bermukim di Pulau Munsung babi, maka disuatu waktu, berangkatlah raja Manghuntal kesana untuk membicarakan perjanjian yang dibuat oleh leluhurnya Sorimangaraja Batak II.  Sehubungan dengan niatan itu, Raja Malim /Raja Uti VII, terlebih dahulu meneliti kemampuan raja Manghuntal (semacam test uji coba termasuk kesaktian). Setelah di yakininya, bahwa raja Manghuntal memang mampu untuk maksud itu, maka sepakatlah Raja Malim/Raja Uti VII, mengembalikan kekuasaan atas kerajaan Batak kepada raja Manghuntal (ahli waris), sesuai dengan perjanjian Tabu tabu sitara pullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang.
Didalam acara penobatannya, pihak Raja Uti disimbolkan, mulai dari Raja Uti I s/d Raja Uti VII, menyerahkan kembali kekuasaan atas kerajaan Batak sesuai perjanjian, dan sebagai tanda pengembalian, secara simbolik, diserahkanlah 7 (tujuh) macam barang pusaka, yaitu:
1.  Piso Solam Debata, tanda sitiop harajaon (Keris, tanda pemegang kekuasaan). Konon Piso Solam ini dibawa oleh Belanda dan sampai saat ini belum diketahui keberadaan nya, Kami memohon informasi kepada siapapun yang mengetahui keberadaan piso ini.
2.  Hujur siringis, siungkap mata mual (Tombak, pembuka mata air).
3.  Tumtuman sutora malam, Tali tali harajaon (Mahkota)
4.  Ulos Sandehuliman, siambat api (Kain/Ulos pemadam api permusuhan, bahwa tidak akan ada permusuhan antara Raja/Kepala pemerintahan dengan Raja Malim pimpinan agama).
5.  Lage silintong pinartaraoang omas, lapik panortoran ni Raja (Tikar permadani, alas tempat Raja menari).
6.  Tabu tabu sitarapullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang (perjanjian).
7.  Gajah sibontar, pangurupi di nadokdok (Gajah putih simbol tanggung   jawab).
Pada  Acara  pelantikannya, disebutlah  Raja Manghuntal  dengan gelaran Sisingamangaraja I (pemula Dinasti Sisingamangaraja); dan setelah pengembalian itu, berakhirlah masa pemerintahan dinasti Raja Uti;   maka, dengan demikian, terwujudlah apa yang dicita-citakan/ direncanakan oleh Si Raja Batak  bersama Mutiaraja pamannya itu pada waktu kujungan dua harinya di Toba;  Kerajaan Batak berdiri kembali dibawah pemerintahan dinasti Sisingamangaraja, berkedudukan di  Bakkara.
Secara berturut-turut yang menjadi Raja Batak, Bakkara berikutnya
Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
Singamangaraja III, Raja Itubungna.
Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja.
Singamangaraja V, Raja Pallongos.
Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk,
Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut,
Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal
Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan,
Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon,
Singamangaraja XI, Ompu Sohahuaon,
Singamangaraja XII, Patuan Bosar (Ompu Pulo Batu)

 

Buang Sial? Ikut Ritual Thailand Aja

  Banyak kepercayaan yang dipegang oleh para manusia untuk kelangsungan hidupnya. Kepercayaan itu dianggap sebagai sebuah hal yang patut dihormati dan dipercayai karena dipercayai juga membawa kebaikan pada setiap pribadi yang menjunjung tinggi kebudayaan dan kepercayaan itu.
Sial dianggap seabgai sebuah kondisi yang mana selalu membawa kerugian pada kita, kerugian tidak selalu dalam bentuk uang tapi juga  kesehatan dan laiany. Karena situasi ini banyak orang bersusah susah untuk mengusir kesialan dari tubuh atau kehidupan mereka.
Dalam tradisi orang batak, khususnya Simalungun, ada beberapa kegiatan yang dianggap dapat membuang kesialan dalam diri seseorang adalah dengan cara Mandi Jeruk Purut. Sebenarnya ini tergantung pribadi masing masing ada yang percaya dan ada yang tidak. kegiatan ini telah lama dilakukan mulai dari jaman dahulu hingga sekarang.
Ritualnya sebenranya gampang, dimana kita hanya membeli sebuah jeruk purut (utte mukkur) yang baik. Pada kesempatan ini saya tak bisa memberi tahu bagaimana kategori jeruk yang baik dan tidak. Setelah jeruk telah didapatkan lantas ia harus dibelah menjadi tujuh belahan. Belahan itu tak serta mereta memisahkan jeruk itu. Belahan itu tetap membuat jeruk utuh hanya saja sudah tersayat sayat menjadi tujuh bagian. Cara menyayatnyapun harus dari tampuk menuju kebawah.
Setelah selesai dibelah, maka jeruk itu tinggal dimasukkan kedalam air yang akan dimandikan. Air dan biji jeruk yang keluar dari jeruk purut itu akan bercampur dengan air yang akan dimandikan. Nah air itulah yang akan dimandikan ketubuh seseorang yang ingin mengadakan ritual buang sial. Dipercaya bahwa kegiatan ini dapat membuang sial dan membawa sisi kebaikan pada orang itu.
 
Di Thailand, ritual buang sial ini juga kerap dilakukan. Ritual ini dilakukan di Kuil Pram Manee di provinsi Nakorn Nayok sekitar 107 km timurlaut Bangkok. Setiap harinya ritual ini dipandu oleh para Biksu setempat. Ritual ini dilaksankan dalam dua sesi, yaitu pada jam 09;09 pagi dan 01:09 malam. Angka 9 dianggap sebagai angka keramat, angka keberuntungan layaknya yang dipercayai Presiden kita juga.
Setiap orang yang ingin mengikuti prosesi ini berdiri didepan peti mati yang telah disiapkan serta memegang bunga seraya berdoa bagi para dewa untuk mengambil kesialan  dan memberikan keberuntungan pada tubuhnya. 180 baht ($6) harus disediakan oleh setiap orangnya untuk kelengkapan ritualnya, bunga, kain, serta jasa dan berbagai kelengkapanya. Pengikut ritual nantinya akan berbaring dalam peti mati. Sementara si pengikut ritual ini berbaring dalam peti mati untuk beberapa saat lamanya, para para biksu mengangkat nyanyian doa. Pengikut ritualpun akan dibasuh dengan air setelah bangkit dari peti mati. begitulah prosesi buang sial itu berjalan(Reuters).
Setiap orang punya kepercayaan dan keyakinanya masing masing terhadap suatu hal. Adalah kebebasan kita untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukanya sama sekali. pilihan ada ditangan kita.

Kisah Pohon Beringin Roboh, Kembali Berdiri !

Lingkungan alam yang ada di sekitar kehidupan kita adalah guru yang paling jujur, selagi kita semua dengan jujur mengakuinya. Belajar dari kutulusan dan kejujuran nurani, agar supaya imajinasi dan ilusi tidak menguasai alam pikiran kita.
BERGURU KEPADA ALAM
Peristiwa robohnya pohon beringin berdiameter ±100-150 cm tidak menggemparkan warga dusun Celapar, Kelurahan Sumber Rejo, Kecamatan Kokap, Kab Kulonprogo. Namun enam bulan kemudian barulah warga dibuat gempar manakala menyaksikan pohon beringin raksasa itu kembali berdiri tegak seperti sedia kala. Pada awalnya warga menyayangkan tumbangnya pohon itu karena di bawahnya terdapat sendang yang menjadi sumber mata air bagi warga desa di sekitarnya. Semenjak pohon beringin yang berdiri kokoh di samping sendang itu tumbang membuat air sendang menjadi surut dan hampir mengering. Sebelumnya air sendang itu tidak pernah surut walaupun melewati musim kemarau yang panjang.
Ketika pohon itu roboh warga belum sempat memotong akar dan ranting sementara sebagian besar batang dan dahan posisinya melintang di tengah jalan pengubung antar kelurahan. Kurang lebih selama 6 bulan pohon beringin itu tumbang dengan posisi masih melintang menutupi jalan aspal desa. Adalah Pak Mugi berdua bersama seorang anak laki-lakinya melanjutkan pekerjaannya untuk membersihkan beringin agar jalan desa itu bisa dilalui lagi. Pagi hari Pak Mugi dan putranya mulai melanjutkan pekerjaan yang sudah tertunda enam bulan. Mereka di pagi tidak melihat kejanggalan apapun, semua tampak wajar-wajar saja. Beranjak siang mereka mulai curiga mendapati batang pohon beringin yang semula rapat menempel ke permukaan jalan posisinya sudah mengambang setinggi lebih kurang 60 cm dari permukaan jalan. Pak Mugi akhirnya tidak menghiraukan kejanggalan itu dan mulai memotong batang pohon di bagian tengah menjadi dua bagian. Pekerjaan berlangsung hingga hari menjelang siang. Di tengah hari yang panas itu Pak Mugi sejenak beristirahat sambil menikmati teh panas dan makanan khas desa yang suguhkan penduduk setempat. Ia beristirahat tepat di rumah penduduk yang posisinya di atas jalan. Saat sedang menenggak teh ginastel itulah Pak Mugi menyaksikan pohon beringin mulai bergerak-gerak. Pak Mugi berteriak menyuruh anaknya yang berada di atas batang beringin supaya melompat turun. Spontan putra Pak Mugi melompat dan meninggalkan gergajinya di atas batang pohon. Pak Mugi terkesima melihat putranya melompat ke tanah hingga berguling. Hanya sekejap, pak Mugi menyaksikan pohon beringin itu posisinya sudah berdiri tegap seperti sedia kala. Bahkan akar yang tercerabut dari tanah, yang telah dipotong separoh ikut menancap ke tanah, kembali tegap berdiri kesannya pohon beringin itu tidak pernah tumbang hingga menyentuh tanah. Semenjak kejadian itu hanya beberapa pekan kemudian air sendang pun keluar lagi memenuhi sendang yang sudah lama surut.
Pohon beringin sudah berdiri lagi dalam posisi tegak vertikal. Hanya saja bagian atas yang terdiri dari dahan, ranting dan dedaunan sudah tidak tampak lagi karena batangnya tinggal separoh ke bawah. Seorang warga desa coba membuat asumsi untuk menerangkan kenapa pohon beringin dapat berdiri lagi setelah 6 bulan yang lalu tumbang. Ia mengasumsikan beban pada bagian atas pohon beringin setelah dipotong mengakibatkan bebannya pindah ke bagian akar bohon. Karena beringin itu masih memiliki akar yang kuat menancap di dalam tanah, sehingga akarnya kembali masuk ke tanah dan sampai menarik batang pohon hingga dalam posisi berdiri tegak. Asumsi tersebut mengimajinasikan akar pohon beringin itu bergerak seperti cacing menyusup kembali ke kedalaman tanah. Akar yang besar memiliki kekuatan besar pula sehingga mampu membuat batang pohon yang beratnya mencapai beberapa ton dapat kembali tegak seperti sedia kala. Sebagai asumsi sah-sah saja karena bagaimanapun juga untuk menjelaskan fenomena itu butuh suatu premis yang menggunakan nalar dan akal sehat. Namun bagaimana bisa terjadi bila akarnya sebagian besar sudah dipangkas?
INTELEKTUAL ATAU EMOSIONAL ?
1335678402631Secara logis mengutamakan rasio atau akal sehat dapat lebih bermanfaat daripada hanya mengutamakan emosi. Meskipun demikian, orang yang mengutamakan akal sehat atau nalar sering dinilai sebagai menuhankan akal. Sebaliknya segala sesuatunya didefinisikan sebagai kehendak Tuhan secara mutlak. Dengan memakai pola pikir demikian, lantas rampunglah pemberdayaan akal budi manusia yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan (scientific). Sedikit orang yang menyadari sesungguhnya gugon tuhon dan pentahyulan, berawal dari malasnya orang untuk berfikir mencari jawaban atas suatu teka-teki dan rahasia alam. Bahkan sampai terjadi pola pikir yang salah kaprah. Perlu saya sampaikan bahwa gugon tuhon dan pentahyulan ini bukanlah cara berfikir masyarakat Jawa. Karena dalam spiritualitas Jawa lebih mengutamakan ngelmu kasunyatan. Spiritualitas berdasarkan fakta.
Sekali lagi, pemberdayaan nalar dan akal pikiran, sebagai sistem analisa jauh lebih bermanfaat ketimbang segala sesuatu lantas disederhanakan dengan pernyataan “semua sudah menjadi kehendak tuhan untuk menunjukkan kebesaranNya”. Mengutamakan akal sehat sama halnya pendayagunaan akal pikiran untuk menganalisa suatu fenomena. Sebaliknya, dapat dikatakan pula sebagai sikap menuhankan emosi yang berarti berbagai misteri tidak perlu lagi ada analisa dan pembahasan. Dengan mengedepankan emosi akibatnya pola pikir menjadi sempit dan mengurangi daya kritis nalar kita. Tradisi seperti itu lama-kelamaan menjadi kebiasaan malas berfikir. Orang yang malas berfikir biasanya emosinya lebih dominan menguasai diri. Cara pandang nya pun menjadi subyektif dan pendapatnya seringkali tidak masuk akal. Emosi yang menguasai diri membuat seseorang cenderung bersikap anti perbedaan pendapat. Ujung-ujungnya tindakan 3-G yakni golek benere dewe, golek butuhe dewe, golek menange dewe; saling berebut benernya sendiri, berebut butuhnya sendiri dan berebut menangnya sendiri. Karena emosi hanya berdasarkan rasa suka tidak suka, senang tidak senang, puas tidak puas, akibatnya akan mudah memicu nafsu angkara yang berujung pada tindak kekerasan. Semua itu merupakan resiko dari sikap fatalistis dan anti-dialog. Meskipun demikian tak dapat dipungkiri, pernyataan fatalistis pun ada sisi “positif” yakni membuat puas bagi yang lebih suka bersikap penurut dengan sekedar mengandalkan faktor imani (yakin) yakni percaya pada suatu hal tanpa sarat dan tak perlu pembuktian. Sebaliknya, bagi siapapun yang memiliki tradisi intelektual akan terbiasa berfikir kritis, cerdas, cermat dan selalu memanfaatkan akal sehat serta sistem penalaran yang logis dan sistematis.
Kembali ke pembahasan, berikut ini adalah pengamatan yang dapat saya sampaikan setelah on the spot ke lokasi untuk menggali informasi (deep interview), pengamatan langsung (observasi), dan terutama “observasi” dengan mata batin untuk menggali dan menemukan rahasia di balik peristiwa itu. Dengan harapan menemukan fakta dan data, fenomena dan noumena, yang dapat menjawab pertanyaan,”mengapa pohon itu bisa berdiri lagi ? Dengan harapan menambah khasanah ilmu pengetahuan, terutama pemahaman akan rumus-rumus dan hukum alam yang ada di jagad raya ini, yang selama ini masih tersembunyi dari pengamatan dan pengetahuan kita.
KEBODOHAN SUMBER KERUSAKAN ALAM
Sebagai salah satu prinsip hukum alam, keberadaan sendang biasanya berada di dekat pohon besar. Jika pohonnya tumbang dapat mengakibatkan air sendang menjadi surut. Hampir setiap sendang yang keadaan airnya masih normal berenergi lebih besar dibandingkan lingkungan alam sekitarnya. Wajar bila kemudian sendang memiliki kesan sakral dan magis apalagi keberadaannya selalu disekitar pohon-pohon besar. Dari fakta itulah kita dapat memahami mengapa kearifan lokal (local wisdom) budaya masyarakat Jawa khususnya, dan Nusantara pada umunya yang mensakralkan sendang. Kearifan lokal itu menjadi cermin kesadaran masyarakat untuk bersikap santun kepada lingkungan alam, serta peduli menjaga tata keseimbangan alam. Khususnya menjaga kelangsungan air sendang supaya tidak terjadi kerusakan ekosistem di sekitarnya. Kearifan lokal itu terbentuk oleh kecerdasan spiritual dalam mengurai teka-teki kehidupan dan memahami lingkungan alamnya.
Kearifan lokal masyarakat dusun Sumber Rejo –yang artinya : sumber/air kemakmuran–, Desa Celapar, Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo DIY memiliki kesadaran menjaga kelestarian air. Meskipun demikian tidak jarang pula penduduk setempat mendapat cemooh karena sebagian orang masih ada yang menganggap perilaku mensakralkan atau mengkeramatkan sendang sebagai bentuk perilaku hina, tidak berbudaya dan tidak religius. Dikatakan sirik, sesat, menyimpang dan lain sebagainya. Tak jarang pula pihak yang berpendapat ekstrim seperti itu tanpa menyiratkan wajah belas kasih terhadap lingkungan alam dan seluruh mahluk dengan teganya membuat ulah yang berakibat pada kerusakan sendang. Pada kasus lainnya penduduk sengaja menebang pohon yang dianggap sumber kesesatan. Bahkan sampai menimbun sendang yang sudah jelas-jelas berfungsi sebagai resapan air dan sumber kehidupan untuk warga sekitar. Sendang yang kering semakin bertambah banyak jumlahnya. Di sisi lain jumlah mahluk hidup terutama bangsa manusia terus bertambah banyak. Persoalan menjadi semakin parah ketika manusia mulai menggunduli hutan, mencemari air sungai dan membuat polusi udara di mana-mana. Sebagai konsekuensinya terjadi pemanasan bumi dan pergantian iklim dengan siklus waktu yang tidak jelas ketentuan waktunya. Dalam waktu singkat cuaca sering berubah-ubah tanpa ritme yang harmonis. Akibatnya lingkungan alam sering terjadi kekeringan dan di lain waktu banjir besar. Pertanian menjadi kurang subur, hama semakin beragam, hama aneh dan misterius seringkali muncul seperti serangan hama ulat bulu, tom cat, tikus, dsb. Stok pangan bagi masyarakat sekitar semakin berkurang. Di sisi lain menjadikan bertambahnya ragam wabah penyakit yang menyerang manusia dan hewan ternak, baik yang bersumber dari perubahan cuaca, hawa panas, bakteri dan virus yang semakin beragam akibat perubahan genetika.
AIR DAN UDARA MENJADI SUMBER UTAMA KEHIDUPAN
Kita tanamkan kesadaran bahwa sumber air memiliki nilai yang sangat mahal. Air adalah sumber hidup dan kehidupan sama halnya dengan udara. Kesadaran itu hendaknya menjadi motivasi agar kita selalu menjaga kelestarian mata air atau sumber-sumber air lainnya. Kesadaran tingginya nilai air bagi kehidupan, oleh sebagian pemodal kuat justru dieksploitasi untuk kepentingan bisnis. Misalnya dikemas dalam botol air mineral. Warga dilarang mengambil air secara bebas dan cuma-cuma, kecuali harus membayar sekian rupiah kepada juragan yang mengeksploitasi sendang dengan alasan ia sudah membeli lahannya dari pemerintah atau warga pemilik tanah. Semula alam dengan penuh kasih melimpahkan sumber air bagi seluruh kehidupan termasuk bagi warga sekitar. Kini, banyak sendang berubah menjadi kering, sementara sendang yang airnya masih berlimpah menjadi barang komoditas untuk dieksploitasi secara pribadi oleh para pemilik modal dari dalam maupun luar negeri. Ironis sekali, tindakan itu telah meng-alienasi (mengasingkan) warga setempat karena sebelum diekploitasi pemilik modal, masyarakat sekitar adalah tuan rumah bagi sumber mata air itu. Namun kini masyarakat harus membayar mahal untuk menikmati kekayaan bumi pertiwi yang berlimpah ruah di tanahnya sendiri.
Kini banyak sendang-sendang yang bernasib naas, dirusak oleh orang-orang berpola-pikir sempit, atau dieksploitasi para investor tamak dan egois. Lantas mau dijadikan apa generasi penerus bangsa ini, anak-anak kita, cucu dan cicit Anda semua jika hanya mendapat warisan sampah-sampah industri, polusi udara, dan kerusakan alam yang sangat parah ? Marilah kita semua sebagai generasi penerus bangsa segera menyadarkan bangsa kita agar supaya beranjak menuju kesadaran spiritual lebih tinggi, yang lebih cerdas dan cermat. Apapun agamanya jika tidak dibarengi ilmu akan membuatnya bangkrut (baca : “kiamat”). Lihatlah betapa keyakinan tanpa menggunakan nalar atau akal sehat dapat menimbulkan konflik dan peperangan yang membuat keterpurukan masyarakat. “Menuhankan” emosi dan hawa nafsu sangat beresiko menciptakan kerusakan bumi. Maka saya pribadi tidaklah takut “menuhankan” nalar, atau akal sehat, karena bagi saya Tuhan Maha Rasional. Jika belum ketemu sisi rasionalitasnya, itu hanyalah ketidaktepatan pola pikir kita saja dalam memahami suatu peristiwa.
GENERASI PERUSAK BUMI
Sementara itu para pendahulu, leluhur-leluhur kita semua yang telah mewariskan nusantara ini, bumi dan tumbuhan yang gemah ripah, subur makmur, ijo royo-royo, sejuk segar hawanya. Namun kini telah dirusak dengan semena-mena oleh generasi penerus. Sebagian orang justru lebih suka menghormati dan menyanjung leluhur bangsa asing yang tak pernah tercatat dalam sejarah memberikan konstribusi positif bagi lestarinya lingkungan alam di Nusantara ini. Banyak idola-idola impor dari manca yang dijadikan role-model. Bagaikan anak kecil yang mengidolakan tokoh dalam cerita komik. Gejala itu menjadi trend di saat ini. Dus seolah-olah bangsa ini tak pernah mencetak manusia idola yang layak dijadikan panutan bagi kehidupan generasi masa kini. Barangkali tidak terlalu berlebihan jika menganggap trend di atas menjadi salah satu penyebab lunturnya jiwa kesatria, jiwa pelestari lingkungan alam, jiwa patriot dan jiwa nasionalis pada generasi sekarang. Bagaimana mungkin akan bangkit badannya, bila jiwanya saja terpuruk. Bagaimana Indonesia ini akan mampu meraih cita-cita menjadi bangsa yang sejahtera, adil dan makmur, bila jiwa bangsa (volkgeist) pada penduduk Indonesia berada dalam keterpurukan ?! Come on…wake up our soul, wake up our body. Bangkitlah jiwanya, bangkitlah badannya.
Siapa sesungguhnya para pendahulu yang telah berjasa atas kehidupan kita saat ini ? Termasuk kehidupan para pelaku eksploitasi sumberdaya alam itu sendiri. Kita tak bisa memungkirinya, bahwa kita sedang menghadapi sebagian generasi penerus yang menghianati para pendahulunya. Generasi yang telah mencampakan jati diri bangsanya sendiri. Generasi perusak bumi ternyata kedodoran dalam mencapai kesadaran spiritualnya. Jangankan kesadaran spiritual, disadari atau tidak, kesadaran nalar tampaknya sudah mampet atau memang sengaja dimampetkan. Sehingga yang dominan adalah kesadaran nafsu alias keinginan ragawinya yang mengabdi pada hawa nafsu angkara (nuruti rahsaning karep).
MISTERI KEHIDUPAN DI BALIK SENDANG
1335759475615Apapun & siapapun yang hidup di dimensi bumi baik fisik maupun metafisik tentu saja bermanfaat. Sendang yang terkesan tak bernyawa, sungguh ia telah menyangga matarantai nyawa kehidupan lintas dimensi mencakup ; bangsa manusia, hewan, dan tumbuhan, bahkan mahluk halus. Ia ada untuk memberikan kehidupan kepada seluruh makhluk dengan penuh kasih tanpa pilih kasih (mulat laku jantraning bumi). Sendang merupakan sumber kehidupan milik bersama seluruh mahluk yang tak satupun makhluk boleh mengeksploitasi. Jika kita memahami, sesungguhnya masing-masing makhluk hidup sudah memiliki manajemen hidup yang bersifat alamiah penuh nilai kearifan dan kebijaksanaan. Sistem manajemen yang tidak melanggar wewaler (pantangan) di dalam hukum alam.
Bagi bangsa binatang, tumbuhan & mahluk halus mereka tak perlu belajar & harus susah-payah mengembangkan kesadarannya. Sebab mereka sudah memiliki instink yang mampu membimbing perilakunya agar selalu selaras dengan tata keseimbangan alam. Merupakan fakta, bahwa kesadaran instink-nya telah membimbing mereka pada jalur perilaku yang tepat untuk selaras dan harmonis dengan hukum alam sehingga tidak pernah melanggar wewaler (hukum alam) kecuali tata keseimbangannya telah dirusak oleh bangsa manusia. Tumbuhan dan binatang, merupakan fakta bahwa mereka adalah makhluk paling takwa kepada Tuhan.
Sudah menjadi hukum (rumus) alam bahwa setiap ada sendang di situ terdapat pohon besar. Seolah-olah merupakan kejadian bersifat kebetulan. Tetapi sesungguhnya bukanlah peristiwa yang kebetulan. Keduanya merupakan rangkaian yang harus ada & terjadi sebagai simbiosis yang bersifat mutual. Saling menguntungkan, saling memberi & saling menerima. Akar pohon menghunjam ke dalam tanah, berfungsi menjaga celah & rongga-rongga tanah sebagai jalur aliran air menuju sendang agar tanahnya tidak larut & longsor menimbun sendang. Jika pohon yang ada di dekatnya tumbang atau ditebang, pada akar-akarnya akan terjadi disfungsi. Akibatnya air sendang menjadi mampet & lama-kelamaan sendang menjadi kering. Di samping itu, makhluk halus lebih suka memilih pohon-pohon besar sebagai tempat tinggal keluarga & komunitasnya. Pohon besar sangat ideal menjadi “rumah” bangsa mahluk halus. Wajar saja jika mereka berkepentingan menjaga “rumahnya” sendiri dari berbagai macam gangguan. Seperti halnya bangsa manusia yang selalu menjaga asetnya berupa rumah & tempat tinggalnya sendiri. Kita sudah semestinya dapat memahami mengapa mahluk halus berkepentingan untuk selalu menjaga kelestarian pohon-pohon besar agar tetap tumbuh & berdiri kokoh. Bodohnya, manusia terkadang merasa terganggu dengan keberadaan mahluk halus penunggu pohon besar. Namun dirinya sendiri tak mampu menyadari jika hidupnya sangat tertolong oleh keberadaan pohon besar yang sangat bermanfaat untuk kelangsungan hidup manusia.
Bagi siapapun yang telah merdeka dari perbudakan nafsu & egoisme pribadi. Dapat menyadari apa untungnya bagi bangsa manusia atas perilaku wajar bangsa lelembut yang mempertahankan pohon besar di dekat sendang, sangat selaras dengan kepentingan bangsa manusia. Lelembut, tumbuhan, binatang semua memanfaatkan pohon besar dan sendang sebagai tempat tinggal mereka. Bangsa manusia memanfaatkan air sendang sebagai sarana memenuhi kebutuhan mineral & memerlukan pohon besar sebagai produsen oxigen. Untuk itu hendaknya bangsa manusia lebih berani belajar kepada bangsa lelembut, bangsa tumbuhan dan bangsa binatang karena mereka sudah terbukti selalu setia dalam simbiosis mutual, saling menjaga kedua sumber kehidupan, yakni pohon besar dan sendang sebagai sumber kehidupan mereka sendiri.
Lelembut seperti halnya binatang dan tumbuhan, pada dasarnya bukanlah mahluk jahat. Mereka hanya menjalani hidup sesuai kodratnya dalam koridor hukum alam. Pemaknaan ini kiranya sama dengan kalimat “tunduk patuh kepada Tuhan”. Lelembut tidak pernah menjahati binatang dan tumbuhan. Kenapa bangsa lelembut tidak mengganggu bangsa binatang dan tumbuhan. Sebab bangsa binatang dan tumbuhan selalu selaras dengan hukum alam. Bangsa lelembut, binatang dan tumbuhan memiliki kesadaran kosmologis yang sangat ideal. Karena mereka bebas merdeka dari  pengaruh doktrin-doktrin dan terbebas dari penafsiran subyektif menurut kepentingan masing-masing kelompok. Bangsa binatang, tumbuhan, lelembut, hidupnya mengalir apa adanya sesuai ketentuan alam, tidak ada penafsiran dan penilaian secara subyektif yang sering terjadi pada bangsa manusia. Bangsa lelembut, binatang, dan tumbuhan tidak pernah merusak lingkungan alam. Tidak pernah menciptakan pencemaran. Bila terjadi kerusakan lingkungan alam karena ulah binatang, hal itu karena ulah manusia yang telah mengganggu sistem keseimbangan pada kehidupan kaum binatang.
Kenapa manusia kadang merasa diganggu bangsa lelembut, karena sebagian manusia secara sadar atau tidak telah mengganggu eksistensi bangsa lelembut. Belum terbukanya kesadaran kosmologisnya menjadi faktor utama mengapa bangsa manusia masih sering mengganggu eksistensi bangsa lainnya. Orang seringkali tidak menyadari telah melanggar pantangan (wewaler) atau aturan hidup (paugeran) yang tidak lain merupakan rangkaian hukum tata keseimbangan alam yang berlaku di lingkungan hidup kita. Berawal dari besarnya ego dan rendahnya kesadaran kosmologis bangsa manusia sendiri, sehingga seseorang lebih suka menyalahkan bangsa lelembut, binatang, dan tumbuhan sebagai faktor penganggu kehidupan manusia. Sampai di sini, mari kita bersama-sama melakukan instropeksi diri, sampai di mana kesadaran kosmologi yang telah dapat kita raih.
Kita sadar diri di manapun kita menjalani hidup akan selalu berdampingan dengan mahluk-mahluk hidup lainnya. Oleh sebab itu hendaknya kita tidak menjadi pribadi yang egois dan tamak. Watak 3G : Golek menange dewe, Golek butuhe dewe, Golek benere dewe. Tiga macam watak destruktif yang tidak dimiliki para mahluk kecuali bangsa manusia. Kita mudah menyaksikan bangsa manusia telah merusak lingkungan alam, seringkali membunuh dan menghancurkan mahluk-mahluk yang begitu bijaksana dalam menjalani tata kehidupan mereka. Manusia hidup karena mendapatkan kehidupan dari lingkungan alam, termasuk dari bangsa binatang dan tumbuhan yang secara nyata telah mensuplai “kehidupan” kepada bangsa manusia. Namun demikian ternyata bangsa manusia belum mampu berbalas memberikan kehidupan bagi mahluk-mahluk bangsa lainnya.
“API” DI BUKIT MENOREH
1335759491695Untuk menuju dusun Celapar, Kel Hargowilis, Kec Kokap, Kab Kulonprogo, dari Jogja harus menempuh sekitar 50 km ke arah barat. Hargowilis (hargo=gunung, wilis=hijau) masih berada tepat di bentangan lajur bukit Menoreh yang begitu legendaris hingga menjadi alur cerita utama dalam cerita bersambung berjudul Api di Bukit Menoreh karya SH Mintarja yang masuk dalam catatan rekor dunia sebagai novel serial terpanjang.
Dari Jogjakarta, perjalanan 40 menit menuju Kota Wates Kabupaten Kulonprogo, dilanjutkan perjalanan menaiki bukit sejauh 12-14 km menuju waduk Sermo lokasinya termasuk wilayah Hargowilis. Dari waduk Sermo menuju dusun Celapar butuh waktu sekitar 15 menit atau sekitar 5-7 km saja. Perjalanan kami lakukan siang hari, dengan pertimbangan bisa menikmati pemandangan alam, di samping itu pertimbangan medan yang cukup berat. Fasilitas jalan memang sudah memadai, beraspal hotmix dan mudah dilewati mobil-mobil besar non-bus dan truck. Tetapi kondisi jalur yang berkelok dan banyak sekali tanjakan serta turunan cukup terjal dengan kemiringan hingga -+ 35°. Pemandangan kiri kanan sangat indah, namun harus ekstra hati-hati karena di beberapa ruas jalan sebelah kiri atau kanan terdapat jurang yang cukup dalam. Wilayah Hargowilis dan Celapar, GPS kami rata-rata mencatat ketinggian antara 400-800 mdpl. Tetapi daerah ini seringkali diselimuti kabut tebal dan udara yang cukup sejuk karena areal Hargowilis dan Sermo merupakan Hutan Taman Nasional. Banyak sekali ragam flora dan fauna, pohon-pohon besar tumbuh disepanjang jalan, beberapa menjuntai ke tebing jurang. Tampak batu-batu hitam sebesar truk seringkali menyembul di antara semak dan pepohonan besar, membuat suasana menjadi lebih angker dan sakral saat diselimuti kabut. Pemandangan ini sangat mengasyikan untuk petualangan.
Jogjakarta menyimpan banyak keunikan, diapit oleh empat unsur alam yang menonjol. Api di utara, air laut di selatan serta terdapat dua perbukitan yang berbeda karakter alamnya yakni batu kapur di sebelah timur dan batu hitam di sebelah barat. Di wilayah timur, terdapat kabupaten Gunungkidul, sebagai barisan bukit batu kapur. Batu kapur tidak lain berasal dari binatang laut seperti kerang dan terumbu karang yang hidup di dasar laut. Melalui proses panjang jutaan dan milyaran tahun, dasar laut bergerak naik menjadi perbukitan batu kapur. Di wilayah GK banyak sekali wilayah sakral dan berenergi (suatu waktu akan saya ulas untuk persembahan kepada seluruh pembaca yang budiman). DIY di wilayah selatan memiliki kolam raksasa bernama samudra hindia. Wilayah utara memiliki taman bermain bernama taman hutan Kaliurang lengkap dengan Gunung Merapi, sebagai gunung purba paling aktif di dunia sekaligus sumber mineral bagi masyarakat sekitar Gunung Merapi. Juga sebagai pusat energi panas bumi, dan hutan yang mengelilinginya sebagai cagar flora fauna sekaligus produsen O₂. Sementara itu di wilayah barat Jogjakarta, terdapat barisan bukit Menoreh yang banyak terdapat batu-batu hitam sedimen magma yang bergerak dari perut bumi pada jutaan atau milyaran tahun silam.
Di sepanjang bukit Menoreh ini sebenarnya banyak sekali fenomena unik bin ajaib sebagai cirikhas perbukitan di sana. Jika anda mencermati setiap puncak bukit, banyak terdapat batu-batu hitam andesit (sedimen magma) ukuran besar dengan garis tengah antara 2-7 meter, nangkring tepat di pucuk bukit. Kadang terasa ngeri membayangkan bagaimana jika batu itu mengelinding terjun ke kaki bukit. Tetapi faktanya kejadian seperti itu hampir tidak pernah terjadi, kecuali sewaktu ada gempa Jogjakarta tahun 2006 lalu yang membuat salah satu batu besar di puncak bukit kelurahan  Kalirejo, Kecamatan Kokap terjun dari puncak bukit menggelinding ke jalan di bawahnya. Tapi tidak sampai memakan korban.
GUNUNG KELIR
1335759493476Masih di wilayah barisan bukit Menoreh, dari Celapar Hargowilis ke arah utara terdapat bukit menjulang tinggi bernama Gunung Kelir. Disebut Gunung Kelir karena jika dilihat terutama dari wilayah tenggara, konfigurasi punggung bukit itu mirip pakeliran wayang. Yakni rangkaian wayang kulit yang ditata berjejer di depan layar. Gunung Kelir ini memiliki daya magis yang sangat kuat, energinya juga terasa besar sekali. Tidak mengherankan jika Gunung Kelir disakralkan oleh penduduk setempat. Bukan konon lagi, karena kami telah membuktikan sendiri, apa yang tadinya dianggap mitologi alias mitos atau gugon-tuhon ternyata merupakan fakta. Siapapun yang pergi ke Gunung Kelir kemudian melihat pelangi di atas Gunung Kelir itu, segeralah berdoa memohon sesuatu yang paling urgen dan darurat. Senantiasa harapan Anda akan terwujud. Atau munculnya pelangi dapat menjadi pertanda apa yang menjadi harapan dan cita-cita Anda selama ini akan terwujud. Dan cerita itu bukanlah mitologi atau dongeng ngoyoworo melainkan peristiwa faktual yang telah saya butikan sendiri. Di gunung Kelir kami menyaksikan sendiri memang terdapat banyak sekali harta karun yang tersimpan secara gaib. Tapi saya pribadi tidak berani lancang mencarinya, jika tanpa mendapatkan perintah langsung dari yang “punya”. Kecuali untuk memintakan orang lain siapa tahu mendapatkan keberuntungan di Gunung Kelir untuk mendapatkan harta karun sedapatnya. Itupun saya sarankan agar yang bersangkutan  memohon secara langsung di Gunung Kelir, siapa tahu diijinkan. Biasanya saya bekali jarum dan lidi untuk ditancapkan di gunung Kelir dengan posisi tertentu. Jika diijinkan maka yang bersangkutan akan mendapatkan wisik melalui mimpi. Jika tidak bermimpi itu berarti tidak mendapatkan ijin. Apalagi jika kedua benda itu hilang sebelum ditancapkan di lokasi. Itu artinya yang bersangkutan belum lulus dalam mengelola kebeningan hati dan ketulusan, atau ada faktor lain misalnya tidak percaya dan menganggap cara sederhana itu sebagai suatu kekonyolan belaka. Pasti yang bersangkutan akan dibuat heran sendiri dengan sirnanya kedua benda itu, sekalipun ia simpan rapat-rapat.
BERINGIN BESAR ITU KEMBALI BERDIRI
beringin roboh
Perhatikan Bekas 
 Gergajiannya

Al kisah sebagaimana telah penulis utarakan di atas, peristiwa ini terjadi pada pertengahan tahun 2011 lalu. Sempat diberitakan oleh media cetak dan elektronik nasional. Namun baru-baru ini kami sempat mensurvey dengan harapan mendapatkan jawaban akurat atas rasa penasaran dan tanda tanya besar. Oleh sebab apa pohon beringin besar itu bisa berdiri kembali setelah hampir sebulan roboh sampai menyentuh tanah. Kami sempat berbincang dengan Bapak S yang waktu itu bersama anak laki-lakinya mulai memotong batang pohon beringin yang telah tumbang selama kurang lebih 6 bulan. Saat akan mulai memotong bagian tengah, Pak S sudah agak curiga mendapati pohon beringin tumbang yang melintang jalan desa itu tampak bagian bawahnya menggantung setinggi -+ 60cm. Pak S meneruskan memotong akar-akar besar yang terhubung dengan bagian tengah batang beringin. Sementara itu anak laki-lakinya mulai memotong bagian tengah pohon beringin. Menjelang tengah hari, Pak S istirahat sambil wedangan tak jauh dari beringin tumbang. Saat menikmati wedang dan makanan tradisional, Pak S tiba-tiba melihat pohon beringin perlahan bergerak naik. Ia teriak supaya anaknya loncat dari atas bohon yang masih berbaring itu. Paak S hanya tertegun menyaksikan anaknya melompat dan jatuh terguling ke jalan. Gergaji ia lemparkan begitu saja. Hanya sekejap, pohon beringin itu telah berada dalam posisi tegak lurus vertikal. Gemparlah warga berduyun menyakikan keajaiban itu, sementara para wartawan media cetak dan elektronik berdatangan dari berbagai kota.
Tidak sulit menjangkau lokasi sendang dimaksud. Patokannya, dari waduk Sermo ambil arah ke dusun Celapar Kelurahan Hargowilis. Kondisi jalan aspal hotmix, setelah melewati dermaga waduk, terus lagi sekitar 100 meter ada jalan ke kanan menanjak terjal. Nanti akan ketemu SDN Celapar terus jalanan menurun cukup curam, 50 meter kemudian ada pertigaan ambil kanan. Dari pertigaan kurang lebih hanya 300 meter kondisi jalan sempit agak rusak dan berkelok menurun tajam. Pohon beringin berikut sendang akan tampak di lembah sebelah kiri jalan.
(Baju Batik) Saksi Hidup
Sesampai lokasi, lingkungan alam tampak sepi sekali, dan terkesan tidak terawat. Tak ada seorangpun menyambut kedatangan, melainkan para lelembut penunggu sendang dan pohon beringin bekas roboh, juga penunggu beberapa pohon gayam yang tampak berdiri kokoh di dekat sendang. Saat itu kami tidak melihat jenis lelembut lain selain bangsa genderuwo. Golongan mahluk halus dengan tinggi badan 3-5 meteran, dengan seluruh tubuh berbulu lebat. Warna bulu kehitaman, ada yang hitam keabu-abuan. Warna kulit wajah sedikit terang dibanding warna bulunya. Kuku panjang warna hitam legam, kulit jari agak berkerut-kerut. Bentuk wajah perpaduan antara singa dengan serigala. Warna mata di siang hari kehitaman mengkilap, jika malam hari kadang berwarna nyala merah redup. Saat ini tampak pula mereka sedang mengasuh anaknya. Namun induk semangnya (pasangan genderuwo) oleh masyarakat disebut wewe gombel, saat itu tidak tampak. Kemungkinan besar bangsa Genderuwo mempunyai kromosom yang hampir sama atau sejenis dengan bangsa manusia, terbukti genderuwo bisa menghamili bangsa manusia hingga melahirkan anak dan bisa hidup pula walau mempunyai karakter berbeda dibanding manusia pada umumnya.
Saat itu sempat terjadi perbincangan singkat dan sepatah dua patah kata. Pada intinya, mereka sendiri yang mendirikan kembali “rumah”nya yang roboh diterpa angin. Cukup ditarik oleh dua genderuwo, maka pohon beringin yang tinggal separoh itu lantas berdiri kembali. Alasannya, selain agar sendang keluar airnya lagi, juga anaknya paling suka bermain di pohon beringin itu. Sejenak kami kongkow-kongkow di sekitar sendang, dua di antara genderuwo yang ada sempat berujar “njauk udute” (minta rokoknya..!). Kami nyalakan dua batang rokok, karena mereka tak mau menghampiri, dus kita lempar saja ke arah mereka. Dan dua batang rokok yang sudah kami nyalakan itu dihabiskan sampai tinggal filternya. Kami kemudian bergegas melanjutkan perjalanan, di tengah jalan terdengar suara “arep bali po ? (mau pulang ya..?)
Apa sebab pohon beringin yang tumbang itu bisa berdiri lagi? Jawabnya sederhana sekali, seperti di atas. Tak perlu penjelasan rumit panjang lebar. Tak butuh penjabaran yang aneh-aneh dan tidak masuk akal. Karena genderuwo memang ada, dan memang mempunyai tenaga yang sangat besar. Jadi mudah saja membuat pohon beringin kembali berdiri seperti sedia kala. Jika pohon itu hanya ditinggali genderuwo dewasa, kiranya mereka enggan mendirikan lagi. Bangsa genderuwo seperti halnya bangsa manusia, sayang dan melindungi keluarga beserta anak-anaknya, hingga mereka mau bela-belain membuat pohon beringin berdiri lagi demi sang buah hatinya tercinta tetap bisa bermain. Apalagi perkembangbiakan bangsa genderuwo sangat lamban tidak seperti bangsa manusia yang bisa saja tiap tahun beranak.
HATI-HATI TERHADAP BANGSA GENDERUWO
Rumus hukum alam yang terjadi : setiap makhluk yang dapat berkembang biak, atau bisa beranak pinak, mereka akan mengalami kematian pula. Sebaliknya mahluk yang tidak beranak pinak maka tidak ada kematian pula padanya. Bangsa gendruwo tergolong mahluk yang bisa beranak pinak oleh sebab itu bisa pula mati. Hanya saja usia rata-rata genderuwo mencapai ratusan tahun, bahkan ada yang mencapai hingga ribuan tahun. Bangsa genderuwo juga bisa terbunuh oleh bangsa manusia yang mempunyai kemampuan jaya kawijayan yang memadai. Demikian pula sebaliknya. Genderuwo memiliki karakter “pribadi” yang berbeda-beda seperti halnya bangsa manusia, ada yang santun, lembut, ada pula yang kasar dan kurang sopan, bahkan ada pula yang kurang ajar suka meniduri wanita dari bangsa manusia dengan cara berkamuflase mirip seperti wajah suaminya. Lazimnya gendruwo melakukan hal itu pada saat si suami sedang berangkat pergi jauh atau keluar kota. Namun bagi para wanita jangan khawatir karena ada beberapa tips untuk menangkal ulah genderuwo yang jahil ingin meniduri.
Waspadai saat suami berpamitan untuk pergi misalnya ke luar kota tanpa membawa kendaraan apapun dari rumah. Namun sebentar kemudian, antara 30 menit hingga 1 jam, suami kembali pulang ke rumah dengan alasan urung pergi. Wujudnya nyaris sempurna mirip dengan suami, bedanya ia banyak diam, tak banyak cakap. Biasanya suami jadi-jadian itu sesegeranya minta dilayani istri untuk berhubungan intim. Apa bila terdapat tanda-tanda seperti itu pada suami Anda, pertama cermati dan waspadai segala macam keanehan di luar kebiasaan suaminya. Untuk membadarkan atau menggagalkan “ilmu” si genderuwo, sebaiknya segera buatkan air minum misalnya teh atau kopi, atau air putih dengan gelas atau cangkir. Suruh si suami mencuirgakan itu segera meminumnya. Jika si suami ternyata merupakan jadi-jadian dari bangsa genderuwo pasti ia tidak akan besedia untuk meminum minuman yang sudah Anda sodorkan. Jika mau menyeruput minum yang disajikan istri, maka penyamarannya akan gagal total. Alias kembali berubah ke wujud asli. Namun sebelum ketahuan wujud aslinya, biasanya suami jadi-jadian akan segera lenyap menghilang. Jangan pernah berfikir peristiwa seperti itu tidak akan terjadi di kota besar atau di zaman modern ini. Karena anggapan Anda seperti itu tidak selalu benar. Walau jika sampai terjadi hubungan intim dengan bangsa genderuwo, namun belum tentu mengakibatkan kehamilan, sehingga bisa saja kasus itu terjadi tanpa disadarinya. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi seyogyanya fakta ini diketahui untuk meningkatkan kewaspadaan para istri dan suaminya.
Selain tips di atas, cobalah tips berikut, ambilah empon-empon dlingo dan bengle. Keduanya cukup dipotong tipis. Ambil satu potongan untuk masing-masing bahan. Jika sempat, tumbuk keduanya lalu gunakan oleskan ke bagian mana saja dari tubuh suami yang mencurigakan tersebut. Atau bisa juga dioleskan ke telapak tangan Anda, lalu digunakan untuk berjabat tangan atau mengusap tubuh bagian mana saja si suami yang Anda curigai.
Namun perlu dicatat bahwa tidak semua bangsa genderuwo wataknya jahil, masih lebih banyak yang santun bahkan ada pula yang lebih santun dari bangsa manusia kebanyakan, dan tidak mau menjahili bangsa manusia selama mereka tidak benar-benar terganggu oleh ulah manusia. Perlu saya tegaskan agar tidak terjadi stigma bahwa bangsa genderuwo seperti halnya bangsa manusia, ada yang santun, ada juga yang suka iseng, bahkan tak jarang suka kurang ajar terhadap bangsa manusia, terlebih lagi bangsa manusia yang tidak ada rasa hormat dan welas asih kepada bangsa tak kasat mata.
MISTERI KALIBIRU
Tak jauh dari dusun Celapar, terdapat lokasi wisata Kalibiru, terletak di puncak bukit dengan ketinggian hanya sekitar 500-600 mdpl. Namun jika Anda berada di atas puncak Kalibiru Anda dapat melihat pemandangan yang begitu indah dan menawan. Di sisi Barat Laut tampak konfigurasi puncak Gunung Kelir yang tampak lebih tinggi dari posisi Anda berada di puncak Kalibiru. Jika Anda memandang ke arah selatan akan tampak waduk Sermo di mana Anda dapat berlayar dengan perahu wisata keliling waduk di antara kaki perbukitan Menoreh, di tengah waduk juga terdapat restoran apung yang menyediakan menu-menu ikan air tawar. Di puncak Kalibiru ini fasilitas infrastruktur sudah cukup memadai, toilet umum yang bersih, air yang bening, dan penginapan untuk keluarga maupun untuk rombongan dengan kapasitas 100 orang. Di puncak ini juga terdapat pendopo dengan halaman yang lumayan luas yang bisa disewa untuk suatu acara. Wilayah perbukitan kalibiru telah dibangun oleh Pemerintah setempat jalur wisata cycling dengan mountainbike, dan track khusus bagi yang gemar berpetualangan sambil berolahraga dengan sepeda motor jenis trail. Sehingga menjadikan lokasi ini sangat memadai untuk acara keakraban, rendezvous, outbond bagi mahasiswa maupun staff kantor atau keluarga. Apalagi pengelola wisata Kalibiru telah menyediakan bus ukuran ¾ (kapasitas 20-30 orang) yang siap menjemput rombongan dari kota Jogja maupun wilayah yang berada di sekitarnya seperti Purworejo, Magelang, Klaten, Solo. Untuk menjemput rombongan dari Jogja ke Kalibiru, tidaklah mahal Anda cukup merogoh kocek sekitar Rp.500.000-an saja.
Ada yang unik dengan Kalibiru. Beberapa kali ada kejadian, ada pengunjung yang kesurupan. Dibacakan doa apapun biasanya tidak sembuh. Rahasianya cukup sederhana saja, bawa orang yang kesurupan keluar dari wilayah tersebut, nanti akan sembuh dengan sendirinya. Namun Anda tak perlu khawatir mengalami hal itu, asal Anda tetap menjaga sikap santun, dalam arti tidak perlu mentang-mentang merasa ampuh bisa melakukan apa saja, atau tidak percaya samasekali dengan hal-hal demikian. Saat kami berada di lokasi, sangatlah mafhum karena Kalibiru merupakan hutan belantara yang berfungsi sekaligus sebagai hutan lindung. Lebih dari itu, seperti telah saya utarakan di atas, wilayah pegunungan Menoreh menyimpan banyak misteri, di Kalibiru banyak terdapat pula batu-batu hitam besar yang nangkring di puncak bukit. Sejauh yang dapat kami amati, wilayah Kalibiru juga banyak sekali penghuni dari bangsa halus ; bangsa demit, siluman, dan kebanyakan dari bangsa genderuwo. Kejadian kesurupan merupakan salah satu bentuk interaksi antara bangsa halus dengan bangsa manusia. oleh karena itu justru bagi jiwa-jiwa petualang hal itu malah lebih mengasikkan tentunya. Kesadaran spiritual kita akan lebih terbuka, wawasan spiritual kita akan semakin bertambah luas, dan diri kita akan menjadi individu yang bijaksana dalam memahami kompleksitas jagad raya dengan segala macam isinya. Kami sendiri membuktikan, jika kita berusaha untuk menjaga sikap santun, bersahabat atau tidak merasa memusuhi para titah alus, menghargai dan tidak merusak lingkungan alam, para titah halus itu justru akan menyambut kita dengan sikap yang sangat baik. Bahkan jika Anda akan mendapati celaka di wilayah itu, para titah halus itu akan serta-merta membantu Anda.
TANGGAP TAYUH (Seni Taledek)
IMG_20120615_154741 
Warga masyarakat dusun Sumber Rejo di sekitar sendang sudah puluhan tahun terbiasa dengan tradisi menanggap seni tradisional Tayub yang digelar di areal samping sendang. Adat tanggapan tayub dilaksanakan setiap bulan Rejeb dilakukan setiap dua tahun sekali. Uniknya, grup tayub harus yang berasal dari Kecamatan Nglipar Kab Gunung Kidul. Pernah suatu ketika masyarakat Sumber Rejo menggagas ide untuk mengadakan tradisi Sapar-an (bulan Sapar) dengan menanggap seni tayub dari daerah setempat. Tidak hanya itu, kemudian masyarakat punya ide untuk mengganti sekalian tradisi menanggap tayub tiap bulan Rejeb dengan pagelaran wayang kulit dan kesenian reog. Sementara itu pentas seni tayub yang semula grup selalu berasal dari Nglipar GK diganti grup kesenian tayub dari desa Hargowilis Kec Kokap Kab Kulonprogo. Beberapa tahun gagasan baru itu dilaksanakan. Tetapi kemudian terjadi kejanggalan karena selama itu pula sendang menjadi kering tak berair sama sekali. Hingga kemudian terjadi peristiwa ada seorang warga kesurupan seorang putri bernama Nyai Ambal Sari minta supaya adat dikembalikan dan dilaksanakan pada akhir bulan Arwah seperti sediakala. Pemangku adat Noto Susilo desa Sumber Rejo kemudian mengembalikan tradisi dan jadwal seperti sedia kala. Semenjak sendang kembali dipenuhi air lagi. Setelah kami lihat langsung ke lokasi, di sana memang ada yang menjaga sendang bernama Nyai Ambal Sari, Nyai Sumber Rejo, dan Raden Bagus Jali. Leluhur-leluhur tersebut dulu kala berasal dari wilayah Keraton Mataram.
Ada beberapa pantangan bagi masyarakat desa Sumber Rejo. Masyarakat boleh memanfaatkan air sendang untuk kebutuhan hidup maupun untuk mencuci pakaian. Namun masyarakat dilarang menggunakan deterjen atau sabun, karena akan mencemari air sendang. Bagi yang melanggar pantangan, akibatnya cukup serius. Maka warga desa tetap patuh dan santun menjaga air sendang. Mereka memahami bahwa satu sumber mata air itu digunakan oleh seluruh mahluk. Binatang, tumbuhan, lelembut dan bangsa manusia sama-sama membutuhkan sumber air tersebut. Namun yang paling tegas menjaga sumber air tersebut pada kenyataannya adalah bangsa lelembut. Tidak akan memberikan toleransi bagi perusak sumber air tersebut. Sementara itu bangsa binatang dan tumbuhan sangatlah patuh dan tidak akan pernah merusak sumber air tersebut. Ironisnya, bangsa manusialah yang paling potensial melakukan perusakan. Hanya saja bodohnya manusia sendiri, malah menganggap mahluk halus yang menjaga kelangsungan sumber air dengan sikap tegas menindak siapa yang merusak, malah dianggap sebagai tindakan agar mahluk halus disembah-sembah manusia. Di dalam hatinya penuh prasangka buruk. Harusnya manusia terimakasih kepada mahluk halaus yang menjaga kelangsungan sumber air sehingga bangsa manusia tetap bisa memanfaatkan airnya selama ratusan tahun. Jangankan memberikan sesuatu kepada mahluk halus, mengucapkan terimakasih saja enggan. Malah bersikap sombong merasa diri sebagai mahluk paling sempurna yang harus ditakuti oleh bangsa lelembut dan mahluk-mahluk lainnya. Itulah kecongkakan bangsa manusia yang masih rendah kesadaran spiritualnya. Berlagak preman kampung.
Apa sih beratnya, jika si penjaga yang telah sangat berjasa untuk seluruh mahluk hidup itu kalau hanya minta didatangkan grup seni tayub ? Itupun hanya berlangsung tiap 2 tahun sekali. Seberapa besar pengorbanan bangsa manusia dan seberapa besar kesulitannya hanya untuk menanggap seni tradisional yang murah meriah itu? Itupun tak sebanding dengan berkah dari adanya sumber air yang tak pernah surut sekalipun digunakan oleh warga masyarakat Sumber Rejo.

Ragam Kayu Bertuah

Pohon Nogosari
RAGAM KAYU BERTUAH
Tidaklah bijak apabila benda bertuah dengan serta merta diartikan sebagai benda yang dihuni makhluk halus. Sebagian masyarakat kita memang memiliki pemahaman demikian. Hal yang perlu dliuruskan dengan menjawab pertanyaan,”dari manakah asal muasal kekuatan yang ada di balik benda bertuah ? Secara awam kita bisa saja menjawab sumber kekuatan itu dari tuhan. Namun jawaban demikian tentunya sangat klise apalagi bagi siapapun yang selalu menjunjung tinggi tradisi ilmiah. Wajar lah kiranya, karena kita memilikii otak dengan kapasitas lebih besar agar dapat berguna untuk berfikir ilmiah dan bijaksana.

ASAL KEKUATAN BENDA BERTUAH

Benda bertuah khususnya ragam kayu bertuah, biasanya kuantitasnya sangat terbatas. Sesuai dengan hukum keseimbangan alam, semakin tinggi kualitas makhluk, sebaliknha kuantitasnya semakin kecil. Seperti halnya binatang buas semakin buas jenis binatang, semakin kecil pula kuantitasnya. Walau tampak kontradiktif, hal itu sebenarnya merupakan mekanisme untuk mempertahankan kelangsungan hidup kayu atau binatang itu sendiri maupun kayu dan binatang lainnya. Misalnya jika jumlah harimau melebihi jumlah hewan yang menjadi pakannya, maka lama-kelamaan akan banyak harimau yang mati kelaparan dan bisa mengakibatkan kepunahan. Demikian pula misalnya pohon beringin, semakin banyak pohon beringin tumbuh di suatu tempat justru akan membuat kepunahan pepohonan lainnya karena pakan dan energinya mendominasi tumbuhan lainnya. Kepunahannya bisa diakibatkan oleh evolusi alam maupun ulah manusia. Namun lebih sering ulah manusia lah yang menyebabkan jenis-jenis tumbuhan dan binatang menjadi punah. Oleh sebab itu pemanfaatan kayu yang sulit dibudidaya atau rentan tejadi kepunahan harus patuh kepada hukum keseimbangan alam. Pada bagian akhir akan saya jelaskan mengenai hal ini.
Setiap jenis kayu memiliki karakter serat dan sel kayu yang berbeda-beda. Membuat sifat masing-masing jenis kayu juga berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi pula oleh karakter iklim dan geologi di mana jenis kayu tersebut dapat tumbuh dengan kualitas paling baik. Sehingga setiap jenis kayu memiliki kegunaan, khasiat, kelebihan, maupun terdapat kekurangan yang berbeda-beda pula. Sedikit telah saya singgung di atas soal faktor yang mempengaruhi dayaguna, sifat, karakter dan kekurangan setiap jenis kayu. Namun semua itu masih dalam dimensi fisik. Selanjutnya dalam dimensi metafisik atau sesuatu yang ada di balik benda fisik, yakni dari mana asal-muasal adanya tuah atau daya kekuatan dari berbagai jenis kayu ? Berikut faktor-faktor yang dapat saya identifikasikan, paling tidak berguna untuk memberikan penjelasan dari sudut pandang ilmiah.

Faktor Usia : Berpulang pada rumus bumi bahwa energi bersifat abadi (selama bumi masih eksis), kehilangan energi hanyalah karena adanya perpindahan materi energi ke obyek dan mungkin dimensi lainnya saja. Sebaliknya segala macam benda fisik tidak bersifat abadi, melainkan mengalami kerusakan dan kehancuran. Ada jenis benda yang cepat rusak dan ada pula yang berusia sangat lama hingga memakan waktu jutaan bahkan milyaran tahun. Benda-benda seperti kaca butuh waktu antara 100 hingga 1000 tahun lebih untuk membusuk hingga dikatakan tidak bisa membusuk. Demikian pula makhluk hidup ada yang berumur sangat pendek hingga berumur ribuan tahun, termasuk di dalamnya ragam jenis tetumbuhan. Apapun benda dan tumbuhan yang ada di planet bumi ini, bersifat menyerap dan memancarkan energi. Penyerapan energi sebagai in-put dan pemancaran energi sebagai out-put. Antara in-put dan out-put menjadi mekanisme yang selaras dan seimbang. Terkurasnya energi hingga terasa lemah dan lemas merupakan peristiwa ketidakseimbangan antara in-put dengan out-put energi ke dalam tubuh atau tumbuhan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor di antaranya penyakit yang menimbulkan gangguan metabolisme dan gangguan asupan makanan sebagai sumber energi. Secara umum suatu benda hidup selalu surplus dalam mekanisme in-put dan out-put energi. Pada tumbuhan, kelebihan energi akan disimpan dan menyatu dengan batang terutama pada inti batang (Jawa: galih) pohon yang biasanya berwarna lebih tua dan terletak di lingkaran paling dalam batang pohon. Bagian luar kayu terlebih bagian kulit terdiri dari sel-sel muda, sementara itu bagian dalam merupakan pemadatan dari sel-sel yang lebih tua. Semakin tua umur pohon, semakin besar lingkaran galih pohon. Semakin besar pula mengakumulasi energi alam. Akumulasi energi inilah yang mempengaruhi besar-kecilnya tuah suatu pohon.

Faktor Karakter Sel. Selain faktor usia, kayu bertuah disebabkan oleh unsur yang terkandung dalam zat serta sifat-sifat sel pohon. Spesifikasi unsur zat dan sifat suatu pohon akan menentukan dari mana asal unsur energi yang diserapnya. Misalnya pohon yang banyak menyerap energi tanah, akan menjadikan pohon tersebut dapat berfungsi sebagai ground atau bermanfaat sebagai penetralisir daya listrik positif. Peristiwa ini terjadi misalnya pada pohon Nagasari. Hal yang sama terjadi pada ragam jenis bebatuan alam. Sehingga kita dapat memahami bagaimana batu akik dapat memiliki energi yang spesifik dan mempunyai khasiat yang khusus pula.

Faktor Lokasi. Pada jenis pohon yang sama, tetapi tumbuh di lokasi yang berbeda akan dapat menentukan pula perbedaan serapan energi. Hal itu menentukan besar kecilnya khasiat atau daya kekuatan kayu walaupun ia masih dalam satu jenis. Bereda lokasi alam tentu berbeda pula pusaran energinya. Lokasi alam yang lebih besar memancarkan energi memungkinkan untuk menambah besarnya energi yang terserap pohon yang tumbuh di tempat itu.

Faktor Spesifik. Faktor ini lebih sulit diidentifikasi karena untuk pembuktian juga jauh lebih sulit. Yakni karakter pohon yang banyak menyerap energi alam dan mampu mengikat energi itu dalam waktu yang tidak diketahui batas waktunya atau relatif permanen. Bahkan pohon yang sudah ditebang pun kayunya masih mampu menyerap energi alam. Karakternya hampir menyerupai batu alam hanya bedanya benda ini pernah tumbuh dan hidup dalam waktu yang panjang.

Dapat disimpulkan bahwa kayu yang memenuhi keempat faktor di atas, yakni berasal dari pohon yang banyak menyerap energi alam, yang tumbuh di lokasi alam berenergi besar dan berusia sangat tua, tetapi mampu mengikat energi relatif permanen. Akan menjadikannya kayu yang berkhasiat super istimewa atau kayu sangat bertuah, powerfull. Bagi seseorang yang kurang memahami hakekat alam, bisa saja dengan gegabah menyimpulkan kayu tersebut dihuni oleh jin atau makhluk halus. Ini pendapat yang konyil sekali. Biasanya pendapat demikian dari orang yang justru tidak ada kemampuan melihat dan mendeteksi secara metafisis sebuah kayu. Yang lebih parah pendapat gegabah tersebut diikuti oleh seseroang yang kemudian dijadikannya sebagai sarana propaganda agama untuk mendiskreditkan orang lain. Dari berbagai uraian di atas adalah berbagai ragam jenis kayu bertuah yang berasal dari tanah Nusantara ini. Di antaranya berikut ini ;

1. Kayu Setigi Darat/Kastigi
~Efek kerejekian
~Keselamatan
~Ketenteraman
Kayu Setigi Darat
Kayu Setigi Darat/Kastigi
Galih Kastigi Ungu
2. Kayu Setigi Laut/Mentigi/Drini
~Kewibawaan
~Kekuatan
~Anti daya negatif
3. Kayu Mentawa/tawa
~Penetral daya atau getaran negatif
~Penawar racun gaib
~Sangat bagus untuk warangka atau sarung keris, tumbak dsb.
Kayu Mentawa
4. Kayu Lotrok
~Menyembuhkan penyakit akibat daya negatif seperti ; santet, tenung, jengges, guna-guna, pelet, dsb.
~Mempermudah atau memperlancar bagi wanita yang kesulitan melahirkan anak.
Kayu Lotrok
5. Kayu Tengsek
~Kewibawaan dan kekuatan
~Ditakuti bangsa lelembut dan binatang buas
Kayu Tengsek
6. Kayu Telasih
~Spesial pengasihan secara universal
7. Kayu Kebek/Kebak
~Spesial membuka jalan dan melancarkan rejeki
Kayu Kebek/Kebak
8. Kayu Pronokuning
~Menjaga kesehatan
~Obat penyakit kencing manis
~Anti sariawan untuk anak kecil
~Ketentraman
Kayu Pronokuning
9. Kayu Boga
~Spesial untuk memancarkan ‘aura’ dalam usaha dagang menjadi laris
10. Galih Kelor
~Efek menolak daya atau kekuatan negatif
11. Galih Asem
~Keluhuran atau kemuliaan
~Ketentraman
~Menajamkan indera batin
Galih Pohon Asem Jawa
12. Kayu Kalimasada
~Efek menetralkan segala getaran energi baik positif maupun negatif
~Menambah kewibawaan dan keselamatan
~Penyedot dan penetralisir daya kekuatan musuh
Kayu Kalimosodo
13. Kayu Wanyu
~Efek mendorong ke derajat tinggi
14. Kayu Kalampis Hitam
~Spesial untuk keselamatan secara universal
15. Kayu Songgolangit
~Efek menambah kekuatan jiwa dan raga, lahir dan batin
~Efek positif mendorong pada kemuliaan
16. Kayu Walikukun
~Efek keselamatan universal
17. Kayu Srigading
~Efek menarik rejeki dan kederajatan
18. Kayu Nogosari
~Anti petir
~Meningkatkan kekuatan lahir dan batin
~Efek kewibawaan
~Meningkatkan ketajaman indera batin
Kayu Nagasari
19. Kayu Wide
~Sama dengan efek kayu tengsek
20. Kayu Dewandaru
~Anti daya negatif
~Keluhuran dan kemuliaan
~Kederajatan dan kewibawaan
Kayu Dewondaru
21. Kayu Kengkeng
~Kekuatan lahir dan batin
22. Kayu Santan Brahma
~Sama dengan kayu pronokuning
~Untuk menurunkan darah tinggi
23. Kayu Gaharu
~Ketentraman dan kedamaian
~Mengasapi pusaka
~Merangsang pamor atau kekuatan benda bertuah
~Pengharum ruangan dan menabah kerejekian
~Membantu proses meditasi, samadi, atau tafakur
Kayu Ber-resin Gaharu
24. Kayu Paku Wojo
~Sama dengan kayu
25. Kayu Galih Johar
~Efek ketentraman dan kerluhuran
26. Kayu Munglen/wunglen
~Ketentraman dan keluhuran
27. Kayu Lingga Manik
~Menambah kekuatan batin
~Menajamkan indera batin
28. Kayu Tayuman
~Mempermudah terwujudnya suatu harapan
29. Kayu Cendana
~Efek penguat tuah kayu lainnya
~Ketentraman lair batin
30. Kayu Wigig
~Menambah kecerdasan pikir
~Kebijasksanaan dan keteguhan hati
31. Kayu Liwung
~Keselamatan tanpa kompromi
~Kemuliaan
Kayu Liwung
32. Kayu Menging
~Efek kewibawaan
~Anti hama
33. Kayu Jati Luwih
~Efek kederajatan dan aura ketentraman
34. Kayu Sisir
~Efek sebagai penguat tuah kayu lainnya
35. Kayu Rampung
~Mempercepat terwujudnya suatu cita-cita dan harapan
36. Kayu Rukun
~Sama dengan kayu kebak
37. Kayu Rau
~Spesial anti daya negatif
38. Kayu Sulastri
~Pengasihan
~Keharmonisan rumah tangga
~Kehangatan
~Kesetiaan
~Kebahagiaan
39. Kayu Songo Wojo
~Spesial untuk keteguhan dan keselamatan
40. Kayu Walik Angin
~Untuk mengendalikan gerak angin
~Memindahkan lokasi mendung atau hujan
~Meredakan angin besar seperti topan dan lesus
Kayu Walik Angin
CATATAN PENTING
Kiranya perlu untuk saya sampaikan cara pemanfaat berbagai ragam kayu bertuah seperti di atas bukan dengan cara menebang pohonnya, kecuali roboh oleh peristiwa alam dan alamiah misalnya usianya sudah terlalu tua atau mengambil dahan yang patah terkena angin, hujan atau akibat force major. Hindari pemanfaatan kayu yang diambil dengan cara sengaja menebangnya. Pemanfaatan kayu dengan cara menebang pohonnya atau sekedar memotong dahannya biasanya akan sangat mengurangi atau bahkan menghilangkan samasekali keampuhan khasiat kayu-kayu tersebut. Bahkan untuk beberapa di antaranya kayu seperti kayu Nagasari daya kekuatan dan khasiatnya akan pudar kemudian hilang dengan sendirinya. Hal itu dapat dijelaskan dengan metode keselarasan dan harmonika antara manusia dengan alam. Manusia tidak bolek merusak alam dengan alasan apapun. Apalagi terhadap kayu-kayu bertuah yang biasanya sangat terbatas jumlahnya. Demikian apa yang dapat saya share kepada sedulur dan seluruh pembaca yang budiman. Dengan harapan ada sedikit manfaat, menambah khasanah ilmu dan spiritual khususnya yang ada di Nusantara.