Arti Kata Batak : sebuah penelusuran dan teori Spekulatif
Jadi sesuai tulisan
sebelumnya, sementara saya bekesimpulan bahwa Raja Batak (pinto: King
of Batas) itu adalah merupakan Gelar turun temurun, atau nama panggilan
yang ditujukan pada Raja yang punya pusat kerajaan di Panai dengan masyarakat
yang di sebut Orang-orang Batak (Pinto: Bataes).
Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi Portibi I (milik
ferdysiregar.com)
Mungkin dibenak anda
muncul pertanyaan kenapa di sebut Raja Batak dan Orang-orang Batak sepeti
pada buku ( “The voyages and adventures of Fernand Mendez Pinto, yang dialih
bahasa ke bahasa Ingris oleh H.C Gent terbit tahun 1653)
Pusat Kerajaan dari Raja Batak ada di Pannai, (Pananiu atau
Panaiu) yang seperti tertulis sebelumnya ada diperkirakan ada di Padang Lawas.
Dan didaerah ini ada ditemukan komplek candi
yang dibangun oleh sekitar abat 11 bersesuain dengan serangan Rajendra
Cola ke Sriwijaya dan Pannai.
Candi yang diperkirakan dibangun jaman Rajendra Cola I, Belum
ditemukan apakah bangunan candi adalah tempat untuk pemujaan sahaja dan Pusat
Kerajaan Raja Batak sebelum di hancurkan Aceh.Seperti perkataan Raja
Batak (Angeessiry Timorraia) pada Pinto bahwa bagian terbesar dari Kerajaannya
sudah di hancurkan oleh Aceh (Pinto Hal. 21)
Jika pusat kerajaan Batak adalah benar di Pananiu (Pane saat
ini) maka pastinya tidak lepas dari kawasan Candi Bahal.
Nah, harus ada suatu kejadian atau tempat atau apapun yang
membuat orang memberikan julukan atau nama pada suatu rumpun , suku atau
Bangsa. Dan merujuk pada pada kata Batak hanya satu kata ditemukan yang bisa
dihubungkan dengan Pane dan Kawasan Candi Bahal yaitu bahan pembuat Candi ,
yaitu Bata Merah, yang membuat bangunan itu unik dan bertahan sampai hari ini
setelah lebih dari seribu tahun di bangun.
Sesuai analisis dari ahli Bahasa Batak Prof.
Uli Kozok bahwa: aksara Batak mula-mula ada di
Mandailing. Dari Mandailing aksara Batak menyebar ke kawasan Toba Timur
(perbatasan dengan Simalungun), lalu ke Simalungun dan ke Toba Timur. Dari Toba
Timur aksara Batak menyebar lagi ke Pakpak Dairi, sedangkan dari Toba Barat ke
Simalungun, sedangkan aksara Karo menunjukkan pengaruh baik dari Pakpak-Dairi
maupun dari Simalungun. (Sumber: Kozok, Uli. 2009. Surat Batak: Sejarah
Perkembangan Tulisan Batak, Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si
Singamangaraja XII. Jakarta: École française d’Extrême-Orient, Kepustakaan
Populer Gramedia.) (wikipedia.org).
Dan tentunya wajar jika pusat Peradaban dan Budaya waktu itu
adalah Pusat Kerajaan.
Maka kesimpulan saya saat ini bahwa orang Batak dan Raja Batak
adalah julukan yang akhirnya menjadi gelar bagi mereka yang menjadi bagian
masyarakat suatu kerajaan dan Raja nya yang berhubungan dengan Candi Bahal.
Tapi ini masih spekulatif karena harus ahli bahasa yang
menterjemahkan ini, Karen sampai saat ini penulis belum bisa menemukan apakah
pada abat ke 16 frasa Bata Merah (Batu Bata) sudah di pakai sebagai material
pembuat candi Bahal? Kalau ya teori ini masuk akal kalau tidak teori ini gugur
(yakni nama Batak Berhubungan dengan Nama bahan Pembuat candi Bahal yakni
Bata Merah).
Lalu term yang sering digunakan pada jaman dulu seperti
Nicollo La Conti (Italy) menulis Batech, Tomi Pires (Portugal) dalam Suma
Oriental menulis Bata, Fernand Mendez Pinto (Portugal) dalam catatan
perjalannnya menulis Batas (kadang Bataes), William Marsden (Inggris)
menulis Bata, ada juga menulis Batta, Batae, Pa’Ta dan sekarang dikenal Batak.
Tapi akarnya ini mengandung kata Bata, sangat kontroversi tapi
menarik bebarapa Orang menghubungkan dengan Kata Naibata (Simalungun), Dibata
(Karo), Debata (Toba) yang artinya adalah Tuhan dalam bahasa Batak tersebut.
dan Pola akan semakin menarik jika kita sebut Na I Bata (Simalungun) dan Di Bata (Karo) seperti mengarah pada satu tempat bernama Bata, meski dari Toba De Bata tidak begitu menunjukkan tempat.
dan Pola akan semakin menarik jika kita sebut Na I Bata (Simalungun) dan Di Bata (Karo) seperti mengarah pada satu tempat bernama Bata, meski dari Toba De Bata tidak begitu menunjukkan tempat.
Di Toba sendiri di kenal kayu Batak yang konon di pergunakan
untuk membuat Tongkat Panaluan (Tungkot Panaluon).
Masih perlu diteliti lebih dalam.
Menggugat Arti Batak
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Dalam KBBI yang di kutip online
(artikata.com) menyebutkan bahwa arti kata Batak adalah:
1. petualang; pengembara;
mem·ba·tak (kata Kerja) 1 bertualang,
melanglang; mengembara; 2 merampok; menyamun; merampas;
pem·ba·tak (kata Sifat) perampok;
penyamun
2. suku bangsa di daerah Sumatra Utara
3. suku bangsa di daerah Sumatra Utara
Cukup aneh memang karena batak itu dulu
sebuah Bangsa dengan Kerajaan seperti di catat Pinto dan Pires. Tapi kenapa
artiya jadi ada kata Perampok dan Penyamun dan Merampas?
Kalau ini di
tujukan pada Aru yang menurut catatan Tomi Pires dalam Suma Oriental adalah
Bajak Laut masuk akal arti ini.
Tapi Batak itu kan ada di antara Pase
dan Aru (Pires), dan Aru sendiri masih perdebatan posisinya.
Tapi jelas mereka-Aru adalah penguasa lautan dimana sesuai
catatan Pires, Raja Batak hanya punya beberapa Lancharas untuk Patroli Semata
tanpa ada pelabuhan, sementara Aru punya armada Laut yang kuat.
Dan jika kita tarik kebelakang maka dasar Bahasa
Indonesia yang saya ketahui adalah Bahasa Melayu Deli. Sehingga pengertian dari
Batak ini selalu tidak lepas dari pengaruh Bahasa Melayu Deli dan tentunya
bagaimana orang-orang Melayu Deli dulu mendeskripsikan Batak itu.
Seperti kita tahu, awal berdirinya kerajaan Melayu Deli adalah
saat Kesultanan Aceh membuat perwakilan di Deli tahun 1630. Deli selanjutnya
memisahkan diri dari Aceh 1669 dengan beribukota di labuhan (20 KM dari Medan).
Peta
Wilayah Kediaman Berbagai Suku Batak (sumber : Toba Na Sae – Sitor Situmorang,
pembuat peta tidak disebut).
Sebelum Belanda memetakan Tanah Melayu untuk dibuat lahan
perkebunan, sudah ada penelitian dan identifikasi atas Tanah-Tanah di Sumatra
Utara yang di buka atau di huni oleh orang-orang Batak seperti Peta
di samping ini (coba bandingkan dengan peta kabupaten di bawah).
Paling banyak korbannya tentunya Kabupaten Karo dimana luasnya
tidak sampai ¼ dari daerah yang dihuni dan di buka oleh nenek Moyang Karo.
Tapi paling hebat ada pula Karo yang mengaku Bukan Batak
mengatakan Batak Itu perampok dan Penyamun, padahal mereka sudah kena rampok.
Padahal bukti berkata lain bahwa yang penyamun (bajak laut) itu
adalah Aru (Tomi Pires – dan sebagain Masyarakat Karo Percaya bahwa mereka
adalah Laskar Kerajaan Aru – hemm) dan kerajaan Melayu di pesisir Timur yang
dengan Bantuan Belanda “merampok” tanah leluhur Batak dengan bantuan Peta yang
di buat Belanda dengan sesuka hati.
Belanda memang pintar, dan ingin menghindari tuduhan sebagai
perampas tanah ulayat. Jadi mereka memperluas peta Kerajaan Melayu Pesisir dan
membuat perjanjian Sewa menyewa dengan Kerajaan Melayu yang jadi Penguasa, dan
mereka mendapatkan Tanah itu secara legal bukan?
Perlawanan Datuk Sunggal yang bermarga Surbakti atas Belanda
adalah karena merasa tanah ulayatnya di Rampok oleh Belanda lewat Kerajaan
Deli. Nah apakah Datuk Sunggal yang perampok atau Pemberontak? Tidak pernah ada
catatan mengatkan dia adalah Pemberontak dia adalah Pejuang atas kaum dan
tanahnya meski belum bisa dijadikan Pahlawan Nasional, mengingat betap repotnya
Belanda dan berlarut-larutnya Perang Sunggal (1872-1895 = 23 tahun) bisa jadi Belanda
Menyebut ini sebagai Batak Oorlog (perang Batak) mengutip arti Batak Melayu
deli seakan mendeklaraikan Bahwa Datuk Sunggallah yang merupakan Perampok.
Perlawanan juga terjadi oleh Raja Simargolang di Asahan dan
Batubara dan Juga-juga Raja Simalungun atas konsesi Tanah Sepihak oleh Belanda.
Kabupaten-kabupaten
di Sumatera Utara yang diwarnai, memiliki mayoritas penduduk Batak. Sumber
Wikipedia.org
Dan identitas negative Batak waktu itu semakin dikukuhkan karena
pada masa itu, Batak yang bukan Muslim dianggap kafir oleh Melayu dan Muslim,
sehingga banyak dari Masyarakat Batak ketika masuk Islam meninggalkan semua
termasuk marga, budaya dan bahasa.
Ada juga kelompok yang setengah Tanggung sehingga ini disebut
oleh masyarakat Karo sebagai Maya-Maya (yang masih bermarga tetapi sudah boleh
kawin semarga) dan Batak Toba mengenal Sebagai Dalle (Sama juga semarga boleh
kawin dan posisi tanggung antara Melayu dan Batak).
Tapi kelompok di atas sudah mulai kembali kepada Adat Istiadat
yang dipegang teguh saudaranya di pedalaman dan sebelah Barat. Tapi kadang
malah mereka seperti onak duri yang sering melukai.
Jadi kenapa dikatakan Batak itu bersifat Perampok dan Penyamun?
Silahkan anda Pikirkan sendiri tetapi yang perlu di Ingat dalam Republik
Indonesia ini kita bersaudara, masa lalu adalah sejarah untuk menapakan kaki
kedepan.
Salam Pewaris Nusantara.
Tag: arti kata batak, defenisi batak, arti batak, Perang
Sunggal, Karo Bukan Batak, Mandailing Bukan Batak, Pakpak Bukan Batak, Datuk
Sunggal, Batak Oorlog, Wilayah Batak, Daerah Batak,
Siapakah “Orang” Batak Itu?
Kabupaten-kabupaten
di Sumatera Utara yang diwarnai, memiliki mayoritas penduduk Batak.
(wikipedia.org)
Cerita ini kita mulai aja dari Si Marcopolo yang sekitar taon
1292 saat bertandang ke Sumatra Timur (Pantai Timur dan Barus) dan jumpa sama
orang yang cerita adanya masyarakat pedalaman yang disebut sebagai “Pemakan
daging manusia”.
Nah sebutan itu selanjutkan direkatkan pada Masyaratak Batech
(Batak) yang cocok dengan catatan Niccolò Da Conti, si orang Venezia (sekarang
Italia), yang juga bertandang ke Sumatra Tahun 1421 yang menulis catatan
tentang Batak (Batech) dalam sebuah descirpi singkat: “Dalam bagian pulau,
disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka “.
(Wikipedia.com).
Catatan Si Conti inilah masih bertahan sebagai
bukti dokumen tertua ditemukan penulis (mungkin yang lainnya juga kan) yang
menyebutkan kata Batech ( Batak).
Aku coba aja analisa pakta secara pasaran
(abis ilmunya juga belum jago). Jadinya hipotesa biasa-biasa aja biar tau siapa
yang kita sebut Batak itu dan betul apa enggak kalau semua Orang Batak itu
adalah cucu –cicitnya Siraja Batak, kayak Tarombo yang pada famili
kita masyarakat Batak Toba?”.
Tapi memang sikit kali datanya dan yang nulis juga belum jago,
jadinya analisa dengan matematika anak SD, dicampur modal tukang karang sama
pake “OMPU” Google dan media internet lainnya.
Nak eh salah Nah…., kayak ditulis diatas itu, Batak sudah
diidentifikasi sama Si Marcopolo taon 1292.
Sedangkan Tarombo Batak Toba yang ada, Siraja Batak (nah
ini pentingnya) adalah diidentifikasi sebagai Orang Batak mula-mula, nah
sekarang paling nggak udah ada keturuannya sampai nomor ke 25 (taon 2012
ini).
Kalau satu generasi di itung 25 taon, maka, maka Batak itu sudah
ada sekitar: 25 X 25 Taon = 625 Tahun lalu
Artinya manusia pertama yang disebut Batak itu lahir sekitar = 2012 – 625 = Taon 1387 Masehi.
Artinya manusia pertama yang disebut Batak itu lahir sekitar = 2012 – 625 = Taon 1387 Masehi.
(Jangan marah trus bilang ada yang baru kawin di usia 30 tahun
ya, kan yang kawin 15 taon juga ada.)
Jadi kek hipotesa sederhana tadi, ditaon 1387 Masehi itu masih
ada satu Orang Batak dan kan nggak mungkin juga, satu orang bikin rebut di
pesisir barat dan timur Sumatra. Klo kita bandingkan sama Catatan si Conti pada
tahun 1421 itu saat itu Batak adalah sebuah Komunitas Besar.
Jadi Batak itu udah ada sebelum Siraja Batak dalam Tarombo Toba
itu lahir bukan?
Semoga dengan tulisan singkat ini kita tidak mengecilkan Batak
sebagai hanya Keturunan Si Raja Batak seperti Tarombo dari Toba, dan semoga
(dengan dukungan saudara-saudara semuanya) kita mampu setahap demi setahap
merangkai benang kusut akan Sejarah Batak yang katanya adalah Bangsa yang besar
diluar dari apa yang kita ketahui.
Kan bisa aja Gelar Siraja Batak itu adalah Gelar turun temurun
dan bisa aja Si Raja Batak seperti Tarombo Toba adalah Raja (sesungguhnya) yang
terakhir atau penomoran sekarang masih perlu di koreksi lagi, atau marga yang
ada sekarang adalah marga yang dihidupkan lagi paska runtuhnya sebuah dinasti.
Misteri Kerajaan Pannai
Prasasti Tanjore jelas menuliskan Kerajaan Pannai dengan kolam
airnya merupakan Taklukan Rajendra Cola I dari Colamandala India.
Menariknya Kerajaan Pannai yang tidak dapat dilepaskan dari
Candi Bahal, tidak ada yang merasa menjadi pewaris atau keturunan dari Pannai
sebagai Negara atau keturunan dari Raja-Raja Pannai dengan kata lain semua suku
atau kelompok masyarakat tidak pernah mau mengklaim Pannai sebagai nenek moyang
mereka atau menyinggungnya sedikit saja?
Masyarakat Angkola sendiri tidak pernah mengklaim bahwa
merekalah keturunan Pannai sebenarnya. Masyarakat Mandailing yang tidak merasa
Batak malah merasa nenek moyang mereka berasa dari kerajaan Holling, Masyarakat
Karo yang tidak mau disebut Batak mengait-ngaitkan mereka dengan kerajaan Aru
(Haru), masyrakat Simalungun yang tidak merasa dari Toba mengait-ngaitkan
mereka dengan kerajaan Nagur, Masyarakat Pakpak tidak merasa Batak merasa
moyang merekalah petani Kapur Barus yang mensupli pedagang di kota barus yang
sudah exist ribuan tahun lalu, dan masyarakat Toba berpegang dengan
cerita-cerita pusuk Buhit.
Sementara Minang dan Melayu Pesisir Pantai Timur Sumatra juga
tidak pernah mengakui ini dengan beragam argument asal dan sejarah.
Ada Apa Kerajaan Pannai?
Ada Apa Kerajaan Pannai?
Salah
satu Prasasti Rajendra Cola di Kuil Kailasanathar – Uttaramerur (sumber :
TheHindu.com)
Sama sekali tidak ada yang membela kerajaan Pannai,
sampai-sampai ketika sebagian masyarakat dan ahli mengatakan Pannai sebagai
kerajaan kecil dan taklukan Sriwijaya yang sepertinya tidak ada yang mencoba
menentang atau menolak, bahwa ternyata menurut prasasti itu ada dua kerajaan di
Sumatra yang di taklukan Rajendra Cola I dari India, yaitu Pannai dan Sriwijaya
sepertinya tidak penting.
Sejarah Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Riau tidak mungkin
lepas dari sejarah Pannai. Dari Pannai lah bukti awal yang tertulis dalam
Prasasti sebelum muncul nama daerah-daerah itu.
Peninggalannya masih ada yaitu Candi Bahal yang konon sudah 32
buah Candi yang ditemukan (Erond L Damanik – sejarawan UNIMED), tetapi tidak
ada juga kelompok etnik atau masyarakat yang setidaknya mendesak pemerintah
untuk mengalokasikan anggaran untuk penelitian. Dan seperti juga Pannai komplek
Candi bahal juga tidak ada yang merasa sebagai warisan Nenek Moyangnya sehingga
tidak ada yang merasa kepemilikan.
Hanya kalangan sejarawan yang bisa jadi tidak terlibat secara
emosional dengan Candi ini yang berteriak-teriak minta perhatian Pemerintah.
Seperti catatan Pinto bahwa Raja Batak bernama
Angeessiry Timorraia mempunya pusat kerajaan di Pannaniu (Pannaiu) sering
dihubungkan dengan Pane di Padang Lawas dimana komplek Candi Bahal juga ada
disitu.
Logis sebenarnya kalau Entik Batak-lah pewaris langsung kerajaan
Pannai karena dari segi Aksara Budaya ada perbedaan mencolok dengan Aceh,
MInang Dan Melayu yang sudah sangat dipengaruhi Islam.
Ironisnya Etnik yang masih dikategorikan Batak terkotak-kotak
dengan urusan asal usulnya menurut mitos-mitos atau kepercayaan etnik
masing-masing.
Seberapa pentingkah Pannai? Sangat penting sekali karena saat
ini Masyarakat kita merasa tidak berasal dari satu nenek moyang, sehingga masih
terpecah-pecah dalam etnis dan sub etnis.
Jikalau bendera Batak dan Melayu sudah memecah Sumatra Utara
seperti kata Perret, kenapa kita tidak munculkan satu bendera baru bernama
Pannai?
Pannai seperti lenyap ditelan bumi. Sebuah misteri yang harus di
ungkap. Seperti mimpi buruk yang harus di hindari oleh nenek moyang kita di
Sumatra utara, Riau dan Aceh.
Adat Batak : Sebuah Perjalanan Panjang tentang Seni
Kehidupan
Adat bukan hanya pakaian (ulos, Hiou, Uis Gara) atau tarian
(Tortor, Landek) atau seromoni (pesta Kelahiran, perkawinan, Kematian dan
lain-lain), hal-hal itu dan seperti itu adalah perlengkapan atau kelengkapan
atau bisa kita sebut perangkat atau bagian dari adat itu sendiri.
Adat sejatinya adalah seni/teknik dalam mengarungi kehidupan
yang telah di sepakati oleh pendahulu kita, yang diwariskan/diturunkan untuk
kita pelajari, ikuti ataupun di rubah sesai jika memang
harus mengikuti perkembangan jaman, agar kita bisa bertahan, bersaing
dan berhasil dalam mengarungi kehidupan yang dinamis ini, tetapi semangat dan
Jati Diri Adat tadi tidaklah boleh hilang. Adat adalah desahan nafas. Jati diri
kita adalah gambaran sejati adat yang kita ikuti.
Adat adalah seni/teknik kehidupan. Seni/teknik yang gagal tidak
akan meninggalkan bekas atau musnah dan seni yang berhasil akan bertahan
dan dibanggakan oleh kaumnya, disegani dan diakui kaum lainnya. Kesuksesan Adat
yang terkadang tampil sebagai hukum sosial yang mengikat dapat dilihat dari
bagaimana posisi tawar dari kaum itu dalam lingkup pergaulan sosial.
Adat Batak adalah seni bertahan dan berjuang dalam segala aspek
kehidupan orang batak, sehingga masyarakat Batak bisa bertahan dan eksis dalam
kehidupan sampai hari ini.
Masyarakat yang bangga dengan marganya, bangga
dengan kulturnya, bangga dengan tariannya, bangga dengan busana tradisional
(yang terkenal kasar itu), bangga dengan bahasanya, karena Adat Batak itu
benar-benar mampu membuat mereka yang memakainya mampu melangkah, berjuang,
bertahan dan muncul ke permukaan.
Jauh dulu sebelum runtuhnya Kerajaan Batak, Fernand Mendez Pinto
yang mengunjungi Pusat Kerajaan Batak yang di sebut Pananiu (Panaiu) tahun
1939, yang menurut catatannya ada di sisi lain dari laut mediterania
(Selat Malaka – Penulis).
Dia yang datang diundang oleh Raja Batak bernama Angeessery
Timorraia (Anggi Sori Timoraya – penulis) yang sebelumnya telah mengutus
iparnya bernama Aquareem Dabolay membawa sepucuk surat Raja Batak yang ditulis
pada kulit pohon Palem, ke Malaka ditengah keresahan akan gempuran tentara Aceh
yang merupakan perpanjangan Tangan Kekaisaran terbesar di dunia saat itu yaitu
kesultanan Ottoman (Kesultanan Utsmaniyah – Turki saat ini), yang sudah merebut
dua tempat Penting Kerajaan Batak yaitu Jacur (Nagur) dan Lingua (Lingga –
Benteng Putri Hijau?).
Pinto mencatat, setelah utusan Raja Batak itu (yang merupakan
Iparnya) sudah tujuh belas hari bersama di Malaka, Pedro de Paris yang baru
menjabat Kapten di Malaka saat itu pun mengucapkan perpisahan, setelah menjamin
persenjataan dan perlengkapan yang di minta akan diberikan, Sang duta Besar
Aquareem Dabolay meninggalkan Benteng dengan sangat puas, ia meneteskan air
mata saking gembiranya. Ditulis Pinto : ketika Utusan Raja Batak ini melewari
Pintu Besar Gereja, dia memutar ke arah Gereja itu, dengan tangan dan mata
angkat ke Surga (langit-penulis), dan kemudian disitu dia berdoa kepada Tuhan.
“Tuhan yang Mahakuasa” katanya membuka doanya. “Yang bertahta dan hidup dalam
sukacita besar, Yang duduk diatas harta kekayaan yang berlimpah, semangat jiwa
yang di bentuk oleh-Mu, di sini aku berjanji kepada-Mu, akan menjadi
kegembiraan yang baik jika Engkau berkenan memberikan kemenangan atas tirani
Aceh dan mendapatkan kembali kemenangan itu dari Raja Aceh, dari pengkhianat
terkenal seperti dia yang telah mengambil dua tempat dari kami yaitu Jacur dan
Lingua. Kami akan selalu setia dan tulus mengakui engkau menurut dengan Hukum
Portugal, dan menurut kejujuran suci, yang terdiri dari semua Seni keselamatan
yang lahir di Dunia. Selanjutnya, di Negara kami akan membangun Candi adil
kepada-Mu, wangi dengan bau manis, Dimana semua jiwa hidup wajib sambil
berlutut memuja Engkau, seperti yang selalu berlaku dan dilakukan untuk-Mu saat
ini ini di Tanah Portugal dan dengarlah selain aku berjanji dan bersumpah
kepada-Mu dengan semua keyakinan dari hamba yang baik dan setia bahwa Raja
Guruku tidak akan pernah mengakui setiap Raja lain dari Raja Portugal yang
besar, yang kini Tuan di Malaka”
Selanjutnya dia masuk ke Perahu dan kembali ke Tanah Batak.
Cat.: sedikit gambaran memang terbersit akan ketidaktahuan bahwa Portugal
sampai ke Malaka adalah atas Perintah Paus.
Pinto mencatat, Saat dia tiba di Pananaiu (Panaiu), Ketika dia
hendak masuk ke istana Raja Batak untuk menjumpai Raja Batak di pusat Kerajaan
Batak bernama Pananiu/Panaiu (apakah pusat ini adalah paska Jatuhnya “Jacur”
(Pen-Nagur) dan Lingua (Pen-Lingga), dengan melalui lapangan pertama, di pintu
masuk kedua Pinto menemukan seorang wanita tua, disertai dengan orang-orang
lain yang jauh lebih mulia, dan lebih baik dan sejajar, orang-orang
berbaris di depannya, yang memberikan dia sinyal dengan tangannya, seolah-olah
dia telah memerintahkan dia untuk masuk.
“Lelaki dari Malaka” kata wanita itu pada Pinto, “Kedatangan-mu
di tanah Raja pemilik tanah kami adalah menyenangkan hatinya, seperti siraman
hujan pada tanaman padi dalam cuaca kering dan panas, oleh karena itu masuklah
dengan berani, dan jangan takut, untuk Rakyat, yang dengan kebaikan Tuhan
kaulihat di sini, yang tak lain adalah negaramu sendiri, sejak harapan yang
kita miliki dalam Tuhan yang sama membuat kita percaya bahwa ia akan
mempertahankan kita semua bersama-sama sampai akhir dunia” lanjutnya. Adakah
ini ungkapan akan kekawatiran besar akan Aceh, sekaligus sebuah rasa percaya
bangsa Tuhan tidak akan memusnahkan Bangsa ini? Bisa jadi, tapi lihatlah betapa
bernilainya ucapan Ompung/Nini itu. Masih menjadi pertanyaan apa yang dimaksud
dengan Tuhan yang Sama? Apakah wanita Tua itu adalah seorang Kristen ditengah
Bangsa Batak yang rajanya sendiri masih menyembah Dewa yang disebut “Quiay
Hocombinor”, “Ginnasserod (Dewa Kesedihan) (Pinto 1539) ? Dan engingat sudah
ada gereja abad ke 7 masehi di Barus (Barus Seribu Tahun lalu).
Inilah sekelumit kisah nyata saat-saat sebelum runtuhnya
Kerajaan Batak di tangan Kesultanan Aceh yang dicatat oleh Fernand Mendez
Pinto.
Kerajaan Batak itu nyata dan ada tercatat dengan Jelas oleh
Fernand Mendez Pinto dan Tomi Pires. Dan cukup aneh memang bahwa semua yang
menulis kerajaan di Sumatra Mengutip Pinto dan Pires tetapi seperti
“menghilangkan” Kerajaan Batak.
Lalu kenapa tidak ada Raja yang berkuasa absolute di Kerajaan
Batak seperti daerah lain? Ada bebarapa kerajaan yang berdiri saat Belanda
masih berkuasa di Sumatera, tapi sepertinya sebelum masuknya Belanda dan
menguasai sebagain Tanah Batak ditandai dengan takluknya Raja-Raja, di kedua
daerah ini belumlah memiliki perlengkapan untuk berdiri sebagaimana seharusnya
sebuah kerajaan (merujuk pada catatan John Anderson, Mission to East Cost of
Sumatra : 1826).
Dalam hal ini masih belum didapat bukti valid tentang
hubungan Raja Batak dalam Tarombo Toba dengan Raja Batak dalam yang ditemuai
Pinto. Tetapi dengan mengikuti adat yang meniadakan Raja sesungguhnya Bangsa
Batak malah bisa bertahan dengan dan menjadi salah satu suku Bangsa terkemuka
di Indonesia saat ini lebih dari Aceh yang dulu didukung kesultanan terbesar
dunia kesultanan Turki Ottoman dan juga goyang akibat runtuhnya Kesultanan ini.
Ataukah ini juga adalah bentuk tekanan Aceh untuk menghindari Pembalasan,
sehingga memaksa leluhur batak untuk memutar otak mencari bentuk sejati
yang selanjutnya kita sebut adat untuk bertahannya Bangsa Batak ini? Masih
perlu penelusuran.
Jadi saat ini saya berani beretorika apa yang saya sebut
Pengungsian ke Pusuk Buhit adalah sebuah produk Revolusi Budaya (Adat) yang
membuat semua Masyarakat Batak mempunyai kedudukan yang relative sama dan akan
pernah mengalami semua posisi dalam istilah Dalian Na Tolu (Angkola,
Mandailing, Toba) atau di kenal dengan Rakut Sitelu (Karo), Daliken Sitelu
(Pakpak) atau Tolu Sahundulan (Simalungun). Pengungsian dalam artian
pegasingan diri untuk lebih menata kehidupan, karena harusnya secara fakta
sudah ada manusia ribuan Tahun lalu di seputaran danau Toba sebagai petani
Kemenyan (Tambak Hamijon) dan Kapur Barus yang memang tidak bisa tumbuh dan
menghasilkan kwalitas dunia ditempat lain.
Dalam struktur Masyarakat Batak Modern Raja tetaplah di
pertahankan dimana Posisi diambil alih oleh Hula-Hula (Toba) atau Mora
(Angkola, Mandailing) atau Kalingbubu (Karo) atau Kula-Kula (Pakpak) atau
Tondong (Simalungun), bahkan menjadi lebih tinggi karena posisi ini dianggap
sebagai Tuhan yang kelihatan (Debata/Naibata Na I idah atau Dibata si idah),
meski agak rancu dengan kenyataan adanya posisi raja sesungguhnya di Simalungun
yang berawal dari Raja Maropat ke Raja Marpitu yang eksistensinya mendapat
pengakuan dari Belanda melalui Kontrak Pendek.
Dalam Toba Na Sae, Sitor Situmorang juga menulis dengan gamblang
bahwa Sisingamangaraja adalah Pemimpin tertinggi tetapi bukanlah Raja
sebenarnya, dia hanya Raja di daerah Bius Bakkara (Bius adalah kumpulan
beberapa Huta – Kampung). Umumnya ada kesepakatan bahwa posisinya adalah
Pandeta Raja (Highest Priest) Golongan Sumba, disamping itu ada Palti Raja
Pandeta Raja Golongan Lontung dan Jonggi Manaor Pandeta Raja Naimarata
(Keturunan Guru Teteabulan tidak termasuk Lontung).
Ketiga daerah ini bukan dibatasi oleh tapal batas territory
tetapi tapal batasnya menjadi bias karena wilayahnya adalah wilayah geneology
dengan keterikatan emosional dan sosial.
Tapi posisi itu bukan alasan untuk tidak menghormati hula-hula.
Sitor mencatat bahwa pada saat Sisingamangaraja XII mengungsi kearah
perkampungan mertuanya (Hula-hula) yaitu Lintong Ni Huta (kampung Marga
Situmorang) dia tidak tinggal di dalam Kampung akan tetapi dia membuat tempat
(sejenis tenda) di luar perkampungan. Begitulah tingginya posisi Keluarga Mertua
(hula-hula) sehingga seorang tokoh besar dan kuat itu masih tidak berkutik atas
otoritas Raja Situmorang (Raja Bius/Kampung) yang merupakan mertuanya
(Hula-Hulanya).
Dalam kehidupan Masyarakat (Adat Batak) maka semua orang
mempunyai posisi, yang otomatis akan mengetahui dimana posisinya dalam
horja/kerja adat itu, posisi itu berubah tergantung pada tempat dan waktu yang
sesuai. Saat seorang Batak berada dalam satu tempat dan masa maka
seyogianya dia tahu harus duduk diman dan harus tahu apa yang
diperbuat/dikerjakan.
Dalam dalam pelaksanaannya semua sebenarnya adalah kesadaraan
untuk kepentingan bersama yang bernama semboyan Dos Ni Roha, Riah Ni Uhur, Sada
Arih/Sada Ukur dan lainnya yang menunjukkan betapa tingginya peradaban Batak
mengedepankan musyawarah mufakat dalam mencampai kata sepakat. Jadi Sila
Keampat Pancasila itu juga adalah salah satu perwujudan Adat Batak.
Hal di atas hanyalah aspek garis besar dalam kehidupan Adat
Batak, masih banyak hal-hal yang lebih detail yang telah mampu membuat semua
Masyarakat Batak eksis dan mampu mengambil peran dalam kehidupan jaman modern
ini.
Sesukses apakah adat Batak hingga kini?
Dalam Catatan Pinto terlihat bahwa tahun 1539, Sultan Aceh
Sultan Araadin (seperti yang ditulis pada catatannya), telah menundukkan Kerajaan
Batak, sesuai suratnya pada Raja Jantana di Bintan.
Artinya dalam mempertahankan agar Bangsa ini tidak musnah
setelah kejatuhannya Raja Batak telah mengangkat semua anaknya Menjadi Anak
Raja semua Putrinya menjadi Boru Raja (Putri Raja), tidak ada lagi yang lebih
tinggi dan tidak ada yang lebih rendah, semua bias berputar dan semua bias
merasakan, setara-serasa-selaras (meski teori ini masih harus di kaji lebih
dalam).
Sesukses apakah peninggalan leluhur itu? Sesukses keberadaan
kita saat ini di panggung Nasional dari segala bidang, meski kadang himpitan
tetap terasa.
Tapi di jaman ini terkadang ada banyak dari kita yang bermarga
yang menolak Batak meski memakai marga atau terkadang terdengar “hari gini
masih bicara adat batak?”. Seolah menistakan apa yang telah dilakukan nenek
moyang kita yang membuat kita saat ini lebih besar dari Aceh yang meruntuhkan
Kerajaan Batak dulu.
Ada dari berbagai kalangan yang mengidentikkan Adat Batak itu
adalah adat kaum kafir, tanda menyadari atau mencoba mengerti bahwa kekafiran
dan kebebalan nenek moyang dahulu membuat itulah yang membuat eksis dan bangga
akan menyematkan marga di nama kita saat ini.
Bahwa kekafiran itu ada pada Adat Batak menurut agama Samawi
(katakanlah kebiasaan yang menduakan Tuhan) bukankah kita bisa mengenalkan
Tuhan kita yang lebih berkuasa atas yang lainna? Adakah nenek moyang di alam
sana akan keberatan jikalau kita menyembah pada Tuhan yan tidak mereka kenal,
Tuhan yang bisa kita tunjukkan sebagai paling berkuasa dan terkuat? Tidak akan
ada Nenek Moyang entah pun berada dimana tidak akan bangga jika kita mempunyai
Sembahan yang benar.
Ketimbang hanya mencela, menjauh dan menghakimi sementara tanpa
kita sadari hal itu adalah keegoisan kita akan sebuat Iman atau mengutip
seorang teman menyebutnya sebagai “Kesombongan Iman”. Sebuah sikap pengecut
yang sebenarnya tidak disukai semua agama dan kepercayaan karena dalam
pandangan saya sikap itu hanyalah sikap yang ingin menyelamatkan dan
menyenangkan diri sendiri semata.
Dan tidak aka nada nenek moyang sebenarnya yang dalam bentuk
apapun itu akan mencelakan kita karena kepercayaan dan Iman kita berbeda dengan
mereka, terlebih kita bisa menunjukkan bahwa Tuhan yang kita sembah adalah
penguasa sesungguhnya maka mereka akan bangga akan pilihan kita. Hanya mampukah
kita menunjukkan bahwa Tuhan yang kita percaya adalah lebih berkuasa?
Mari terus menggali dan mengembangkan (merubah jika perlu) adat
dan peradaban Batak, karena pesan itu telah nyata, mengutip Prof. Uli Kozok
dalam sebuat diskusi mengatakan bahwa ada kemungkinan nenek moyang Batak yang
mengenal tulisan itu tidak menuliskan aturan/adat agar adat itu bisa flexible
dalam dalam kehidupan. Sehingga kita bisa meraasakan sekarang bahwa adat di
tiap daerah itu ada perbedaan dan keragaman yang dalam bahasa Dos Ni Roha, Riah
Ni Uhur, Sada Arih/Sada Ukur adalah kekayaan yang luar biasa.
Perbedaan yang telah memunculkan kemampuan diplomasi dan lobi
yang luar biasa, sehingga Batak sangat tampil dan akan terus tampil dalam
Politik, Ekonomi, Seni dan Sastra, Pengacara, dan hampir semua aspek kehidupan
berbangsa, adakah ini kebetulan atau ini tempaan dari kehidupan adat? Inilah
sebenarnya kekayaan Adat itu dimana kita terbiasa menghadapi perbedaan dan siap
untuk itu, meski ironisnya Batak itu cenderung Jago Tandang tapi Kandang masih
berantakan. Atau ini juga adalah karena ketidaksiapan masyarakat kampung atas
perbedaan dan perubahan? Masih perlu pengkajian mendalam.
Tag: Filosofi adat batak, Adat Batak, Adat Batak Toba, arti
adat, adat karo, Adat Simalungun, Adat Mandailing, Adat Pakpak, adat
Angkola, pengertian Adat, Pengertian adat Batak, arti adat istiadat,
Setua apakah Nenek
Moyang Batak?
Dalam berbagai diskusi yang saya dapat seperti inilah persepsi
kita
Salah
satu warga Desa Pandumaan yaitu Tohap Pandiangan di pohon kemenyan miliknya
(photo : kompasiana.com)
1. Setua Si Raja Batak yang maksimal
kira-kira 25 generasi sampai hari ini mengikut Tarombo Toba, dilawan kabar
lainnya bahwa Munte (belakangan sudah mengerenkan diri menjadi Munthe-jangan
lupa pake H sudah hampir 30 generasi lalu ada juga Selian yang katanya di
Alas sudah ada 26 generasi).
2. Setua Karo karena Karo berasal dari
Kerajaan Aru yang konon lebih tua dari point satu di atas, tapi Sifat Bajak
Laut Aru (Tomi Pires – Suma Oriental) tidak kelihatan dalam kehidupan Saudara
kita Karo (dan semoga memang tidak ada he .. he.. he.. canda kdkd) dan belum
bisa dibuktikan sungai mana di Sumut yang bisa dilayari yang sampai membelah
Sumatra (Tomi Pires – Suma Oriental), meski ada yang tulis sungai Babura. Kenyataan
sungai di Riau yang bisa dilayari hingga Pekan Baru ke Selat Malaka dan
sebaliknya hingga hari ini.
3. Setua Nagur, tapi jejak Nagur yang
tertulis pengelanan asing yang saya temukan ada ditahun 1400-an, meski kabar
dari Simalungun ada dari tahun 500 masehi.
4. Setua Mandailing, yang katanya nenek
moyangnya punya kerajaan Holing (kalingga) sudah berdiri lebih tua dari item 1
diatas dan disebut sebut dalam kita Negara Kertagama.
5. Kemudian
ada pengakuan keturunan Mpu Bada dari Pakpak yang mengatakan bahwa nenek moyang
mereka petani Kapur Barus sejak Ribuan tahun lalu. Lebih masuk akal ini tetapi
muatannya tetap lebih tua dari items 1 diatas.
Lalu setua Apa Nenek Moyang kita?
Yang saya
dapat setua sejarah Kemenyan, Kapur Barus dan Emas terbaik di dunia
yang sejak ribuan tahun lalu telah di perdagangkan Nenek Moyang kita
kemancanegara lewan pelabuhan Barus (Fansur)Tempo DOELOE.
“Ha.. ha. ha.. ha..”, 2 orang teman yang
mendengar kalimat saya tertawa terbahak bahak mendengar saya bilang ribuan
tahun lalu nenek moyang kita sudah berdagang ke seluruh dunia.
Kemudian saya
katakan mereka Nama Sumatra itu dulu dikenal sebagai Taprobana (meski masih
kontroversi beberapa ahli) yang sudah dicatat orang Yunani Megasthenes tahun 290 sebelum masehi (mengutip Wikipedia –
meski ada sebagian mengatakan Sri Langka) dan saya katakan lagi nama lain
Sumatra itu adalah Isle of Gold atau Island of Gold yang Bahasa Indonesia nya:
Pulau Emas.
Teman saya si Purba dan Karo-Karo makin
tertawa terbahak-bahak, dan yang dari Jawa senyam-senyum (wah memang kelewat
sopan Mas Suko ini – angkat topi deh sopannya).
Saya kemudian lanjutkan bahwa itulah
yang membuat Paus Menyuruh Raja Portugal dan Spanyol untuk menjelajah ke Timur
ke Pulau Emas – The isle of gold – the Island of Gold, meski ketika penjelajah
itu tiba tidak ditemukan Pulau emas itu. Pastinya ada apa di Timur Jauh
sehingga Kekaisaran Ottoman Turki sangat kuat waktu itu.
Teman si Karo itu pun mengatakan : “
Enak kalau bahas ini waktu libur di warung kopi seharian suntuk”. Dan keduanya
kembali tertawa terbahak-bahak. “Ha…. Ha.. Ha..”, dan teman saya Si Mas Jawa
tetap senyam-senyum aja.
Lebih ketawa lagi mereka karena saya
katakan bahwa Emas Persembahan Ratu Dari Timur itu dari kabar teman Kita
Muslim bernama Ratu Bilqis sumber lain mengatkan Ratu Syeba (Dalam Alkitab
tidak di sebut Namanya). Bahwa Ratu Syeba atau Ratu Bilqis ini membangun
pembengkelan perhiasan yang disebut daerah Minangkabau, yang membawa emas
sangat banyak melewati Sungai Lampung dan dibawa Jerusalem pada Raja Agung
Salomo /Sulaiman- (Fernand Mendez Pinto – The voyages and adventures of Fernand
Mendez Pinto). Dan juga ditulis disitu bahwa Ratu Syeba/Bilqis membawa anak
Salomo kembali ke Negaranya meski tidak jelas apakah ini anak biologi Ratu ini
Juga. Tetapi ada beberapa dari kita mengaku sebagai keturunan Jahudi. Meski
dalam hati bebal dan tegar tengkuknya memang mirip, hi… hi… hi…, canda lagi.
Belum banyak yang bisa kita buktikan
karena kita masih sibuk pada diskusi keunggulan satu sama lain, belum pada
kemurnian atau kebenaran sejarah sendiri.
Sementara Media, dari Facebook, Twitter,
Forum diskusi, Kompasiana, Blogger memungkinkan kita menulis dan mempublikasi
tanpa harus ada tuntutan dan pertanggung jawaban, terlebih bagi mereka yang
suka main cuplik sana-sini (saya masuk kategori ini juga kali?).
Setua apakah Nenek Moyang Batak?
Saya tidak
tahu pasti, tapi setua hal beriktu ini:
1. Setua Sejarah Kemenyan terbaik di Dunia yang sudah di perdagangkan ribuan tahun lalu di Pelabuhan Barus/Fansur tempo dulu, yang jejaknya hampir musnah oleh pabrik Rakus Kayu PT Toba Pulp Lestari, Hutan Kemenyan yang dikenal dengan Nama Lokal “Tambak Haminjon” atau “Tambak Hamijon”di Daerah seputaran Danau Toba yang harusnya adalah kebanggaan akan sejarah peradaban Nenek Moyang.
1. Setua Sejarah Kemenyan terbaik di Dunia yang sudah di perdagangkan ribuan tahun lalu di Pelabuhan Barus/Fansur tempo dulu, yang jejaknya hampir musnah oleh pabrik Rakus Kayu PT Toba Pulp Lestari, Hutan Kemenyan yang dikenal dengan Nama Lokal “Tambak Haminjon” atau “Tambak Hamijon”di Daerah seputaran Danau Toba yang harusnya adalah kebanggaan akan sejarah peradaban Nenek Moyang.
2. Setua Kapur Barus terbaik di Dunia
yang sudah di perdagangkan ribuan tahun lalu di Pelabuhan Barus/Fansur tempo
dulu, yang mungkin karena kerakusan mesin PT. Toba Pulp Lestari juga akan
mengejarnya tanpa ampun suatu saat nanti.
3. Setua Emas terbaik di Dunia yang
sudah di perdagangkan ribuan tahun lalu di Pelabuhan Barus/Fansur tempo dulu,
yang ada jejaknya di Batang Toru , dan tidak menutup daerah lain di Sumatra
Utara yang konon melimpah tambangnya.
Iya kita masih sibuk pada ego
masing-masing dan sejarah Sriwijaya dan Majapahit sering menjadi acuan untuk
menenggelamkan mereka yang kita anggap pesaing, meski jaman Majapahi Kerajaan
Samudra Pasei Lagi Jaya-jayanya.
Dan kita tidak pernah coba tahu apa
sebenarnya tertulis dalam Prasasti Tanjore, yang hanya mencatat hanya dua
tempat di Sumatra yang di tundukkan Rajendra Cola dari Colamandala (India)
yaitu Sriwijaya dan Pannei.
Nenek moyang kita memang sepertinya
tidak mengingini kita mengetahui sejarah sebenarnya, atau belum waktunya kita
tahu saat ini. Tapi setidaknya saat ini, janganlah kita biarkan jejak-jejak
yang tersisa akan sejarah besar leluhur kita tenggelam hanya oleh kerakusan
Pabrik Kertas PT. Toba Pulp Lestari atau yang lainnya. MARI ada waktu untuk
bersama.
Tag: Karo bukan Batak, Mandailing
Bukan Batak, Simalungun bukan Batak, Pakpak Bukan Batak, Sejarah leluhur Batak,
sejarah leluhur Karo, Sejarah leluhur Angkola, Sejarah Leluhur Mandailing,
Sejarah Leluhur Simalungun, Sejarah leluhur Pakpak, Sejarah leluhur Toba,