“Sangkamadeha” diartikan sebagai pengekspresian hidup dan kehidupan
manusia dalam dunia nyata dengan segala kebanggaan dirinya.
Budayawan dari kabupaten Toba Samosir,
Monang Naipospos, menuturkan, “sangkamadeha” merupakan penggambaran
pohon kehidupan pemberian sang pencipta (Mulajadi Nabolon) kepada
manusia.
Sejak muda hingga tua, pohon ini tumbuh tegak lurus dan tajuknya “sundung” (menuju) langit.
Hidup di dunia dalam pertengahan usia adalah perkembangan sangat subur dan optimal, berkaya-nyata untuk dirinya dan orang lain.
“Hasangapon, hagabeon dan hamoraon, adalah gambaran kesuburan yang dinikmati atas karunia sang khalik, “ujar Monang.
Biji berkecambah, tumbuh tunas, kemudian
mekar. Dahan mengembang ke samping dan ke segenap penjuru angin,
bagaikan tangan-tangan membentang (mandehai). Tumbuh makin matang
(matoras) dan semakin kuat (pangko).
Dalam bahasa Batak, Monang
menyebutnya,”torasna jadi pangkona”, diartikan sebagai kedewasaan yang
dibarengi kebiasaan-kebiasaan hidup yang menjadi tabiat. Dalam kiasan
(umpasa) Batak disebut “torasna jadi pangkona, somalna jadi bangkona”.
Menjelang ujur, tajuk semakin tinggi dan
tetap menuju ke atas. Di masa tua, upaya pencapaian “sundung di langit”
semakin terarah. Dari sana awalnya datang, di sana juga berakhirnya.
Inilah akhir hidup manusia. Semua menuju ke penciptanya.
Perjalanan kehidupan manusia diakhiri,
dan “sundung” ke alam penciptaan. Semua yang diperoleh di alam nyata,
dunia fana, akan ditinggalkan.
Menurut Monang, kebanggaan terpuji adalah
tabiat yang baik dan benar, sesuai hukum dan adat istiadat. disebut
sebagai “hasangapon”.
Cabang dan ranting yang banyak akan
mempengaruhi kerimbunan dedaunan. Akar yang kokoh dan kerimbunan daun
(hatoropon) sebagai gambarannya. Banyaknya populasi, disebut “hagabeon”.
“Buah adalah biji disertai zat bermanfaat
untuk pertumbuhan dan stimulant kepada mahluk hidup untuk
menyebarkannya. Ada buah, ada pemanfaat dan ada pertumbuhan. Inilah yang
disebut “hamoraon, “ujarnya.
“Parjuragatan”, mengartikan tempat
bergelantungan ke sumber penghidupan. Sumber penghidupan ada beragam,
seperti apa yang diberikan secara langsung (material) dan tidak langsung
(non-material).
Pemimpin adalah “parjuragatan”, di mana ditemukan keadilan dan pencerahan.
Dia adalah “urat” (akar) hukum dan
keadilan. Orang kaya (namora) adalah “parjuragatan”. Karena akar,
memberi kehidupan material, penyambung hidup,
Kekayaan dengan `banyaknya buah`, bila tidak ada manfaat bagi orang lain, tidak akan ada yang berperan `menaburnya`.
Dia akan seperti ilalang yang menebar biji oleh tiupan angin karena tidak ada memberi manfaat dari buahnya bagi mahluk lain.
Kekurangan harta disebut “napogos”
(miskin). Bila hartanya hanya cukup untuk bekal satu tahun disebut
“parsaetaon” (pra sejahtera).
Bila sudah bisa menabung untuk cadangan
pengembangan disebut “naduma” (sejahtera). Bila harta sudah menumpuk
disebut `paradongan”.
“Namora” adalah sebutan kehormatan untuk
yang aktif menolong sesama dengan harta bendanya sendiri. Jabatan ini,
juga disandang dalam “harajaon” yang diartikan sebagai bendahara.
Kepada Raja dan “namora” disebut akar dari hukum dan kehidupan.
“Raja urat ni uhum, namora urat ni hosa”, jelas Monang.
Bila ada orang yang memiliki banyak
harta, tapi tega membiarkan manusia di sekitarnya kelaparan, dia tidak
dapat disebut “namora”, tapi “paradongan” atau “pararta.
Jika seseorang bermohon kepada Yang maha
Kuasa “hamoraon”, jabarannya adalah harta benda, berikut hati yang iklas
untuk mau dan mampu melakukan pertolongan kepada sesama manusia.
Monang menyebutkan, ada yang membedakan “hau sangkamadeha” dengan hau parjuragatan dan hau sundung di langit.
Menurut penjelasan beberapa orang tua dan
pandai mengukir (gorga), bahwa penggambarannya adalah satu, tapi
penjelasannya beragam.
Banyak yang memitoskan sebutan itu
seperti pohon yang tumbuh di alam penciptaan, sehingga banyak yang tidak
memahami pemaknaan beberapa perkataan itu dalam satu penggambaran.
Pada rumah “gorga” lama, gambaran “hau
sangkamadeha” ini selalu dilukiskan dalam dinding samping agak di depan.
Dalam penggambarannya kadang ada yang menyertakan gambar burung dan
ular membelit.
Kayu yang berbuah selalu dihinggapi
burung pemakan buah. Ular pun datang ke pohon itu, untuk memangsa burung
(marjuragat). Semua mahluk berhak hidup, seperti manusia diberi hidup,
menjadi bagian dari ekosistem.
Namun, dari semua mahluk yang “marjuragat” dalam pohon hidup, hanya manusia yang memahami “sundung di langit”.
Ada pemahaman lain yang dijelaskan, bahwa dalam menjalani hidup harus cermat dan teliti karena banyak musuh yang mengintip.
Sejak pemahaman barat masuk ke batak, dan
mereka mengetahui penjelasan dari pohon (hau sangkamadeha), ada anjuran
untuk tidak membuat lukisan itu lagi dalam rumah adat Batak.
Pemahaman itu dianggap sesat. Sehingga,
kemudian banyak rumah adat batak dibangun tidak menggambarkannya lagi.
Tapi, diganti dengan gambar orang barat yang membawa hal baru, yang
cenderung menyesatkan budaya batak.
Pemerhati budaya, Baginda Sahat
Napitupulu, tinggal di Malaysia, menilai, orang Batak zaman dulu, cukup
genius. Sebab, mereka mampu menggambarkan serta merumuskan tentang pohon
kehidupan.
“Banyak filosopi yang dapat dimaknai dari
sangkamadeha yang mengambarkan posisi kita sebagai orang batak. Apakah
terkategori `napogos`, `parsaetaon`, `naduma`, `paradongan` dan
`namora/harajaon`, “ujarnya.
Tapi, kata dia lagi, jika sudah jadi
“namora”, jangan lupa membantu orang di sekeliling. Sanak saudara yang
masih butuh bantuan. Kalau bisa, bantuannya jangan hanya dalam bentuk
uang/materi. Melainkan, kemudahan pendidikan dan pengembangan keahlian.
Martua Sidauruk, praktisi hukum dari
Jakarta, menyampaikan idenya, untuk melakukan invetarisasi tentang nilai
“habatahon” di bidang hukum.
Alasannya, dia contohkan dalam “hukum kontrak”. Hukum adat Batak, jauh lebih maju dan bersifat universal dari hukum nasional.
Antara lain, disebutkannya, semua
praktisi hukum umumnya mengetahui, hukum kontrak bersifat universal. Di
dalamnya, terkandung satu prinsip, janji lebih kuat daya ikatnya dari
undang-undang.
Tapi, kata dia lagi, daya mengikatnya
hanya berlaku bagi mereka yang membuat perjanjian saja. Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Dilanjutkannya, dalam hukum adat batak,
ada sebuah umpasa “Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang. Togu na
nidok ni uhum, toguan na ni dok ni padan”.
Artinya, kata Martua, ikrar (padan) bagi
orang batak, tidak hanya berlaku bagi mereka yang membuat padan itu
saja, tapi secara turun temurun.
Makanya, sebut Martua, kita sering
mendengar dan menemukan, adanya pantangan atau tabu tertentu, serta
ikatan tertentu bagi satu marga dengan marga lain. Juga, sesama satu
rumpun marga tertentu untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Bahkan, lanjutnya “pinompar” (keturunan)
dari orang yang membuat padan tersebut, hingga hari ini masih
menghormati dan tidak berani melanggar padan itu. Alasannya, antara
lain, takut akibat pelanggaran yang dilakukan.
Dalam hal ini, keistimewaan padan atau janji dari orang Batak bukan hanya bersifat legalistik, tetapi juga bersifat magis.
Bicara tentang budaya Batak dulu dan sekarang, cenderung diklaim sebagai kekeliruan (haliluon).
Sejatinya, kebebasan berpikir tanpa
terikat satu doktrin, akan menguraikan nilai budaya Batak secara total,
semampunya berdasarkan pemahaman yang utuh tanpa dilatari kepentingan
golongan tertentu.