Sabtu, 06 April 2013

Sipele Begu/Perbegu - Agama awal Suku Karo


I. Latar belakang.

 Sejarah suku Karo
Dalam buku Adat Karo, Darwan Prints menjelaskan sejarah etnis Karo dengan membaginya dalam 3 zaman yaitu Pra sejarah, zaman Hindu-Budha dan kerajaan Haru. Namun kelompok hanya akan memaparkan jaman Pra sejarah dan Hindu Budha, karena untuk keberadaan kerajaan Haru masih menjadi diskusi kapankah kerajaan ini muncul.
Etnis Karo merupakan percampuran dari ras Proto Melayu dengan ras Negroid (negrito). Percampuran ini disebut umang. Hal ini terungkap dalam legenda Raja Aji Nembah yang menikah dengan putri umang. Umang tinggal dalam gua dan sampai sekarang masih dapat dilihat bekas-bekas kehidupan umang di beberapa tempat. Pada abad 1 Masehi terjadi migrasi orang India Selatan yang beragama Hindu ke Indonesia termasuk ke Sumatera. Mereka memperkenalkan aksara Sansekerta dan Pallawa dan agama Hindu. Pengaruh mereka masih tampak dalam kepercayaan Karo. Beberapa diantaranya adalah Perwujudan Tuhan dalam tiga bentuk. Pada abad ke 5 M terjadi pula gelombang migrasi india yang memperkenalkan agama Budha dan tulisan Nagari. TL. Sinar menyatakan bahwa Tulisan Nagari akan menjadi cikal aksara Batak, Melayu, dan Jawa kuno .
Dari sejarah ini kita ketahui bahwa suku Karo berasal dari percampuran proto Melayu dan Negroid yang kemudian disebut umang. Suku Karo mengalami banyak gelombang migrasi. Yang pertama adalah migrasi India-Hindu yang menganut agama Hindu dan gelombang kedua adalah India-Budha yang memperkenalkan agama Budha. Maka tidak heran bila sistem kepercayaan dan sistem masyarakat dipengaruhi oleh Hindu dan Budha.

II. Gambaran sistem kepercayaan
Sebelum kedatangan penjajah Tanah Karo sudah memiliki tingkat peradaban yang cukup tinggi, hal ini terbukti dari :
- Adanya kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa
- Mempunyai aksara atau tulisan sendiri,
- Mempunyai bahasa sendiri
- Menghasilkan karya seni dari Emas dan Perak
- Memiliki adat-istiadat sendiri
Namun penjajah datang dan melihat bahwa suku Karo merupakan suku bangsa primitif dan seolah mau memanusiakan mereka dari kegelapan. Sebutan "Perbegu diberikan penjajah melalui gereja, kepada orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat Karo sendiri tidak memberi nama apapun terhadap kepercayaannya itu. Padahal, perbegu itu dimaknai sebagai orang yang percaya/memiliki setan. Cap suku Karo yang adalah perbegu juga menjadi patokan dasar misi Islam. Banyak yang tidak setuju dengan penamaan perbegu yang diberikan penjajah. Pada tahun 1946 masyarakat Karo melalui ketua adatnya memberikan nama Agama Pemena kepada sistem kepercayaan itu . Pergantian dilakukan setelah 1 tahun Indonesia merdeka dari penjajah. Bagaimanakah alam kepercayaan masyarakat Karo yang telah dicap perbegu oleh Penjajah? Ketika kita membacanya dan memahaminya, apakah kita dapat memahami alasan para tokoh adat untuk mengganti sebutan agama perbegu menjadi agama pemena?

Dibata
Masyarakat Karo dahulu percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang dapat dilihat maupun yang tak dapat dilihat adalah merupakan ciptaan Dibata. Menurut Henry Guntur Tarigan, orang Karo membedakan antara Dibata si idah ( Tuhan yang dilihat) dan Dibata si la idah ( Tuhan yang tidak dilihat ) . Dibata si idah dimaksud menunjuk pada kalimbubu. Sedikit penjelasan bahwa di dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo terdapat daliken sitelu/rakut sitelu. Ketiga unsur yang terdapat adalah kalimbubu ( pemberi dara) Anak beru ( pihak penerima dara) dan senina (saudara ) Kalimbubu adalah golongan yang terhormat, golongan yang disegani. Orang yang menghormati kalimbubunya akan memperoleh banyak rejeki oleh karena itu kalimbubu disebut juga dibata di idah. Dibata si la idah biasa disebut dengan Dibata kaci-kaci (Dibata yang berjenis perempuan) Dibata kaci-kaci ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu: dunia atas, tengah, dan bawah. Setiap wilayah kekuasaan ini diperintah oleh seorang Dibata sebagai wakil dari Dibata Kaci-kaci. Ketiga Dibata itu merupakan satu kesatuan yang disebut Dibata Si Telu ( Tuhan yang tiga). Berdasarkan tempatnya memerintah, orang Karo percaya kepada :
1. Dibata Datas, Dibata Datas disebut juga Guru Batara, yang memiliki kekuasaan dunia atas (angkasa).
2. Dibata Tengah, Dibata Tengah disebut juga Tuhan Padukah ni Aji, Dibata inilah yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini.
3. Dibata Teruh Dibata Teruh juga disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang memerintah di bumi bagian bawah bumi.
Selain itu, ada dua unsur kekuatan yang diyakini yaitu sinar mataniari (sinar matahari) dan si Beru Dayang. Sinar Mataniari inilah yang memberi penerangan. Tempatnya ada di matahari terbit dan matahari terbenam. Dia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata. Siberu dayang adalah seorang perempuan yang bertempat tinggal dibulan. Si beru dayang sering kelihatan pada pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat dan tidak diterbangkan angin topan.




Manusia
Manusia dalam kepercayaan masyarakat Karo terdiri dari :
1. Tendi (jiwa)
2. Begu (Roh orang yang sudah meninggal, Hantu)
3. Tubuh
Ketika seseorang meninggal maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur namun begu tetap ada. Tendi dengan aku seseorang merupakan kesatuan yang utuh. Ketika tendi berpisah dari aku maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan dengan mengadakan pemanggilan tendi. Jika tendi tidak kembali maka yang terjadi adalah kematian.
Terkait dengan Dibata, Bagi mereka Dibata adalah tendi (jiwa) yang dapat hadir di mana saja, kekuasaannya meliputi segalanya dan dianggap sebagai sumber segalanya. Hal ini sesuai dengan keyakinan orang-orang Karo yang sangat dekat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi, yaitu suatu kehidupan jiwa yang keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib. Orang Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam "kosmos" mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang mencakup segalanya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari "kosmos" (alam semesta). Setiap manusia dianggap sebagai "mikro-kosmos" (semesta kecil) yang merupakan kesatuan bersama dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten (perasaan), kesah (nafas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama lain. Kesatuan ini disebut sebagai `keseimbangan dalam manusia'. Hubungan yang kacau atau tidak beres antara satu sama lain dapat menyebabkan berbagai bentuk kerugian seperti sakit, malapetaka, dan akhirnya kematian
Daya pikiran manusia dianggap bertanggung jawab ke luar guna menjaga keseimbangan dalam dengan keseimbangan luar sebagai suatu "makro-kosmos" (semesta besar) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial dan lingkungan alam sekitar. Tercapainya suatu "keseimbangan dalam" akan memperlihatkan berbagai keadaan menyenangkan, seperti; malem (sejuk/tenang), ukur malem (pikiran tenang), malem ate (hati sejuk/tenang), malem pusuh (perasaan sejuk/tenang). Oleh karena itu kata malem digunakan juga sebagai arti sehat atau kesembuhan dalam bahasa Karo.
Kesejukan badan dan pikiran merupakan dasar dari keadaan sehat, yaitu keadaan sejuk dan seimbang antara "makro-kosmos". Prinsip ini pula yang menyebabkan mengapa seorang guru melakukan beberapa upacara ritual dengan tujuan untuk mendapatkan keadaan yang serba malem (sejuk/tenang). Menurut para guru, terganggunya hubungan-hubungan dalam "mikro-kosmos" seseorang berarti adanya keadaan tidak seimbang dalam tubuhnya, yaitu ketidakseimbangan antara tubuh, jiwa, perasaan, nafas dan pikiran.
Dengan menggunakan air jeruk purut pada upacara berlangir (erpangir), seorang guru akan menyiramkannya ke kepala pasiennya. Air jeruk purut diyakini menimbulkan rasa sejuk. Sementara itu kepala si pasien dipilih dengan pertimbangan bahwa kepala adalah tempat dari pikiran dan sebagai pusat dan pimpinan dari "mikro-kosmos" (semesta kecil) tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam diri guru terdapat suatu pandangan bahwa keseimbangan dalam "mikro-kosmos" (semesta kecil/tubuh manusia itu sendiri) tidak akan sempurna tanpa tercapainya suatu keseimbangan "kosmos" (alam semesta secara luas). Oleh karena itu, seorang guru dalam beberapa ritusnya yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan pada diri manusia akan menggunakan air jeruk yang malem. Air jeruk dianggap sebagai lambang dari alam semesta yang mewakili `keseimbangan luar'akan dimasukkan ke dalam diri manusia yang mewakili `"keseimbangan dalam" itu sendiri. Tindakan ini diyakini akan menyempurnakan keseimbangan dalam diri seseorang.

Tendi atau Roh halus
Seperti yang telah disebutkan bahwa masyarakat Karo memandang dunia tidak hanya ditempati manusia namun juga ada tendi dan begu yang merupakan roh yang tak terbatas tempat dan waktu. Hal ini tampak pada sebutan ijah dan ijenda. Sebutan i jah dan i jenda tidak berarti adanya suatu wujud pasti tertentu sebagai alam gaib. Kata tersebut di atas hanya untuk membedakan alam gaib dengan alam biasa. Alam gaib sendiri berada bersama-sama di sekitar manusia. Semua tempat sekitar manusia adalah juga alam gaib, namun alam gaib tersebut digambarkan sebagai suatu alam yang tidak terlihat dan tanpa wujud, karena itulah disebut dengan i jah (di sana), manusia tidak tahu pasti tempat dan wujudnya. Menurut seorang guru Pa Jawi (bukan nama sebenarnya), mengatakan bahwa:
"I bas inganta enda pe melala kel orang-orang alus si la teridah bagi
kalak si la dua lapis perngenin matana, bage pe keramat seh kel
lalana, tiap-tiap kerangen lit sada keramatna, tiap keramat enda la
ia engganggui jelma, adina keramat ia singarak-ngarak, tapi adina
orang alus, e banci ia erbahan penakit, bage pe celaka man kita."
("Dalam tempat tinggal kita ini pun banyak sekali orang halus yang
tidak terlihat oleh mereka yang tidak dua lapis matanya, demikian
juga dengan keramat, sangat banyak juga, di setiap hutan ada satu
keramat penungggu, tapi mahluk halus jenis keramat ini tidak
menganggu sifatnya, tidak mau menganggu manusia, dia menolong
manusia, tapi jika orang-orang halus bisa saja membuat penyakit
bagi manusia dan mencelakakan kita.")
Sehubungan dengan itu, dikatakan juga bahwa arwah orang yang telah meninggal mempunyai kehidupan yang berbanding terbalik dengan kehidupan manusia. Arwah itu tinggal di taneh kesilahen dengan keadaan; berngi suarina, pagi berngina. Artinya, malam bagi arwah adalah siang bagi kita manusia dan pagi bagi arwah adalah malam bagi kita manusia. Itulah yang merupakan penyebab mengapa dikatakan begu banyak berkeliaran di malam hari. Alam gaib dikatakan juga sebagai alam jiwa. Keseluruhan alam gaib disebut pertendiin (kejiwaan). Hal ini berkaitan dengan kepercayaan orang Karo yang sangat erat dengan tendi (jiwa). Oleh karena itu hubungan manusia dengan alam gaib hanya dapat dilakukan melalui jiwa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Itulah sebabnya dalam melakukan hubungan dengan orang-orang yang telah meninggal, seorang guru (guru si baso) menggunakan tendinya dengan bantuan tendi-tendi lain yang disebut jenujung (junjungan). Junjungan ini adalah sebagai kekuatan dari luar diri seorang guru yang dapat membantunya sebagai roh gaib pelindung yang berasal dari "makro-kosmos".
Dalam mengadakan hubungan dengan roh-roh orang yang telah meninggal, seorang guru dapat melakukannya dengan bantuan jenujung, khususnya mereka yang dijuluki sebagai guru si baso melalui ritual perumah begu atau perumah tendi. Guru mengatakan bahwa hubungan itu dapat dilakukan melalui perantaraan angin si lumang-lumang (angin yang berhembus).

Dunia/kosmos terkait pandangan tentang alam
Sebelum dunia tercipta, ketiga anggota dibata si telu yaitu guru Batara, Tuan padukah ni Aji beserta Tuhan Banua koling sudah ada. Demikian pula sinar mataniari. Guru Batara dari dunia atas menurunkan saudaranya Banua koling kedunia bawah untuk berkuasa disana. Tuhan paduka ni Aji diutus kedunia tengah dan mengizinkannya untuk menciptakan dunia serta menguasainya. Sesampainya didunia tengah, Ia menciptakan bumi, namun ketika Banua koling hendak melihat kedunia atas pandangannya terhalang oleh bumi ciptaan Tuhan Padukah Ni Aji. Segera ia menciptakan angin puting beliung untuk meniup dan merusaknya. Sinar mataniari melihat kejengkelan Tuhan Banua Koling dan ketika ia melihat bumi yang lembek itu seketika itu juga bumi mengembang. Terjadilah gunung-gunung, bukit-bukit serta terjadilah pemisahan air dan daratan.
Bagaimana orang Karo memandang dunia tengah? Dunia tengah diyakini selain tempat manusia hidup, juga merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau mahluk-mahluk lain yang hidup bebas tanpa terikat. Oleh karena itu diperlukan beberapa aktivitas-aktivitas yang dapat menjaga keseimbangan alam. Aktivitas kegiatan yang berhubungan dengan roh-roh gaib dan upacara ritual. Suatu peristiwa penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib, merupakan sebagian aspek penting dalam kepercayaan tradisional Karo yang pelaksanaanya terpusat pada guru. Suatu peranan guru sebagai pelaksana utama mempunyai kaitan yang erat sekali dengan konsepsi mereka tentang kosmos. Mengingat bahwa titik sentral dan tujuan utama segala aktivitas peranan guru adalah untuk mencapai kembali "equilibrium" atau keseimbangan. Baik itu keseimbangan dalam diri manusia sendiri dan lingkungannya, maupun keseimbangan "makro-kosmos" dalam konteks yang lebih luas. Guru dianggap memiliki banyak pengetahuan yang mendetail tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan dan kejadian- kejadian dalam hubungannya dengan kehidupan
Alam semesta merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh, yang dapat dibagi secara "vertikal" (tegak lurus) dan secara "horizontal" (mendatar). Secara vertikal, alam dapat dibagi ke dalam tiga bagian yang disebut benua, yaitu : benua atas, benua tengah dan benua teruh yang masing-masing dikuasai oleh Dibata datas, Dibata tengah dan Dibata teruh yang merupakan suatu kesatuan yang disebut Dibata si Telu ( Tuhan yang tiga) atau dianggap sebagai "tri tunggal"yang disebut juga Dibata kaci-kaci ( Kaci-kaci artinya Tuhan Perempuan) sebagai penguasa tunggal. Bagi satu masyarakat di Desa Kidupen, para guru menyebutnya juga dengan Dibata si nurihi buk mecur atau Dibata si mada tenuang. Si nurihi buk mecur artinya yang mampu menghitung rambut (manusia) yang sangat banyak. Sedangkan si mada tenuang artinya yang menciptakan (tenuang berasal dari kata tuang = cipta, yang biasa dipakai menyebutkan pencipta manusia selagi dalam rahim seorang Ibu).
Secara horizontal, alam semesta dibagi ke dalam delapan penjuru mata angin: purba (timur), aguni (tenggara), daksina (selatan), nariti (barat daya), pustima (barat), mangabia (barat laut), butara (utara), irisen (timur laut). Penjuru mata angin ini disebut desa si waluh (delapan arah), berasal dari kata desa yang berarti arah dan si waluh yang berarti delapan. Penjuru mata angin ini dapat dibedakan atas dua sifat yang berbeda, yaitu desa ngeluh (arah hidup) dan desa mate (arah mate). Desa-desa yang digolongkan sebagai arah hidup adalah; timur, selatan, barat dan utara. Selain itu digolongkan sebagai arah mati. Penggolongan kepada arah hidup dan arah mati didasarkan kepada pemikiran bahwa desa-desa timur, selatan, barat dan utara dikuasai oleh roh penolong yang memberikan kebahagiaan kepada manusia. Sebaliknya pada arah mati terdapat mahluk-mahluk gaib yang jahat dan suka mencelakakan manusia. Sesuai dengan dengan pendapat dan pemikiran ini, posisi arah rumah dan areal pemakaman penduduk suatu desa (Desa Kidupen) mengikuti arah hidup. Posisi rumah pribadi mayoritas menghadap ke arah utara dan selatan. Sedangkan posisi rumah-rumah adat mayoritas menghadap ke arah timur dan barat. Sementara itu, areal persawahan dan perladangan mayoritas di arah utara, selatan dan barat.
Orang Karo meyakini bahwa alam sekitar diri manusia sendiri dianggap sebagai "makro-kosmos". Alam sekitar ini digolongkan ke dalam beberapa inti kehidupan yang masing-masing dikuasai oleh nini beraspati (nini = nenek), yaitu;
1. beraspati taneh (inti kehidupan tanah)
2. beraspati rumah (inti kehidupan rumah)
3. beraspati kerangen (inti kehidupan hutan),
4. beraspati kabang (inti kehidupan udara).
Dalam ornamen Karo, nini beraspati ini dilambangkan dengan gambar cecak putih (disebut perenget-renget) yang dianggap sebagai pelindung manusia. Beraspati, oleh penganut pemena atau guru khususnya dibagi lagi ke dalam beberapa jenis lingkungan alam atau tempat dan keadaan. Beraspati lau (inti kehidupan air) misalnya, dibedakan lagi atas sampuren (air terjun), lau sirang (sungai yang bercabang), tapin (tempat mandi di sungai) dan lain-lain. Beraspati rumah (inti kehidupan rumah) dibagi lagi atas bubungen (bubungan), pintun (pintu), redan (tangga), palas (palas), daliken (tungku dapur), para (tempat menyimpan alat-alat masakdi atas tungku dapur) dan lain-lain. Beraspati taneh dibedakan atas kerangan (hutan), deleng (gunung), uruk (bukit), kendit (tanah datar), embang (jurang), lingling (tebing), mbal-mbal (padang rumput). Ini yang menjadi dasar setiap guru di Karo akan selalu mengadakan persentabin (mohon ijin) kepada nini beraspati sebelum melakukan upacara ritual, tergantung dalam konteks mana upacara akan dilakukan, apakah kepada beraspati taneh, beraspati air, beraspati kerangen atau beraspati kabang dan kadang-kadang para guru menggabungkan beberapa beraspati yang dianggap penting dapat membantu kesuksesan suatu upacara ritual yang mereka adakan dalam praktek hidup sehari-hari.

III. Praktik hidup sehari-hari
Upacara ritual dalam hidup masyarakat sehari-hari terlihat dalam upacara panen padi. Para petani akan memberikan sesaji kepada Si Bru Dayang yang telah menjaga tanaman-tanaman mereka, dan untuk kedepannya semoga Bru Dayang tetap berkenan menjaga tanaman mereka agar hasil yang didapat nantinya lebih baik dari tahun ini. Dalam upacara itu, Guru akan mendoakan sesaji yang diberi ditambah dengan beberapa mantra (tabas). Adapun sesajinya berupa makanan khas Karo, rokok dari daun nipah beserta tembakaunya, beberapa jenis bunga dan perlengkapan untuk makan sirih (kampil). Contoh berikutnya adalah dalam upacara perumah begu seorang guru si baso mengadakan persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati rumah agar meraka masing-masing sebagai inti kehidupan tersebut tidak mengganggu atau menghambat jalannya upacara. Biasanya dilakukan dengan meletakkan sirih yang disebut belo cawir (sirih, kapur, pinang dan gambir). Belo cawir ini merupakan lambang diri manusia. Sirih dalam belo cawir sebagai lambang tubuh manusia, kapur lambang dari darah putih sesuai dengan warnanya putih, pinang dan gambir adalah lambang dari darah merah manusia karena perpaduan keduanya memberi warna merah. Adanya kehidupan pada manusia disebabkan bekerjanya ketiga unsur tersebut sebagai metabolisme tubuh manusia yang saling mengatur peredaran darah dalam tubuh. Mantra (Karo = tabas) yang dipakai guru dalam rangka persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati rumah adalah sebagai berikut:
"enda ku sentabi kel aku o nini beraspati taneh kenjulu kenjahe -
sider bertengna, cibal beloku, belo cawir, pinang cawir, kapur meciho,
pinang meciho maka meciholah penuri - nurin Dibata si lakuidah.
Maka ula kari abat ula kari alih, enda persentabinku, o nini beraspati
rumah ujung kayu bena kayu . . .". (" Ini aku datang memohon ijin
kepada nenek sebagai inti kehidupan tanah dari segala sisi, ku
letakkan sirih permohonanku, terdiri dari sirih bersih dan bagus
demikian juga pinangnya, kapur yang putih bersih dan terang atau
jelaslah keterangan dan petunjuk dari Dibata yang tidak terlihat.
Supaya tidak ada yang menghalangi upacara ini, permohonan ijin
dariku, kepada nenek beraspati rumah , baik yang ada di ujung kayu
ataupun di pangkal kayu . . .").

Disamping hal di atas, kosmologi Karo mempunyai perbedaan yang sifatnya umum antara alam gaib dan alam biasa. Alam gaib ditunjukkan dengan pemakaian kata ijah (di sana) dan alam manusia biasa dengan kata ijenda (di sini). Dalam peristiwa pemanggilan roh-roh orang mati tersebut berasal/datang dari negeri seberang, sedangkan alam biasa tempat kehidupan manusia disebut doni enda (dunia ini). Ini menunjukkan bahwa alam gaib itu berbeda jauh dengan alam tempat kehidupan manusia, tidak ada seorangpun yang tahu pasti dimana, hal ini terutama menandakan bahwa roh-roh yang telah mati tidak sama dengan manusia yang hidup. Ini dibuktikan dengan kata seberang yang dalam pengertian para guru dianggap melewati suatu batas yang ditandai oleh lau (air), sehinga disebut negeri seberang, harus menyeberangi sesuatu untuk sampai ke tempat tersebut yang disebut sebagai i jah (di sana). Dalam hal ini diungkapkan bahwa lau (air) merupakan penghubung antara manusia dan roh-roh yang telah mati. Hal ini pula yang menyebabkan banyak guru memakai air yang ditempatkan dalam suatu mangkuk putih, terutama jika guru merasa bahwa penyebab dari keadaan yang tidak seimbang pada diri manusia tersebut disebabkan karena ada hubungannya dengan roh-roh orang mati yang mengganggu.

III. Penutup
Dari penjelasan diatas, agama pemena adalah agama tradisi. Saya menamainya agama tradisi karena sistem kepercayaan ini sudah menjadi tradisi yang lekat dengan kehidupan masyarakat Karo. Selain itu dapat kita tarik kesimpulan bahwa agama tradisi suku Karo banyak dipengaruhi oleh agama Hindu. Hal ini dapat dilihat dari beberapa istilah yang sama, pembagian kedudukan Dibata (Tuhan) dan masih banyak lagi. Karena disebut sebagai agama tradisi, maka ajaran-ajaran tersebut melekat dalam kepribadian masyarakat Karo. Para pemeluk agama tradisi masih menjalankan segala ritual yang ada dalam ajaran agama suku itu. Tidak hanya para pemeluk saja yang menjalankan ritual tersebut, tetapi orang-orang Karo yang telah memeluk agama lain seperti agama Kristen atau Islam juga turut menjalankan beberapa ritual yang dianggap sebagai bagian dari adat

1 komentar: