Sabtu, 06 April 2013

Gunung Merapi Legenda dan Mythos

Gunung Merapi

Gunung Merapi (2914 meter) hingga saat ini masih dianggap sebagai gunung berapi aktif dan paling berbahaya di Indonesia, namun menawarkan panorama dan atraksi alam yang indah dan menakjubkan. Secara geografis terletak di perbatasan Kabupaten Sleman (DIY), Kabupaten Magelang (Jateng), Kabupaten Boyolali (Jateng) dan Kabupaten Klaten (Jateng). Berjarak 30 Km ke arah utara Kota Yogyakarta, 27 Km ke arah Timur dari Kota Magelang, 20 Km ke arah barat dari Kota Boyolali dan 25 Km ke arah utara dari Kota Klaten.


Menurut Atlas Tropische Van Nederland lembar 21 (1938) terletak pada posisi geografi 7 derajad 32.5' Lintang Selatan dan 110 derajad 26.5' Bujur Timur. Dengan ketinggian 2914 m diatas permukaan air laut. Berada pada titik persilangan sesar Transversal perbatasan DIY dan Jawa Tengah serta sesar Longitudinal lintas Jawa (lihat Triyoga Lucas Sasongko 1990, Manusia Jawa & Gunung Merapi Persepsi dan Sistem Kepercayaanya, Gadjahmada Univ. Press). Meletus lebih dari 37 kali, terbesar pada tahun 1972 yang menewaskan 3000 jiwa. Terakhir meletus pada Selasa Kliwon tanggal 22 November 1994, dengan korban tewas lebih dari 50 orang


Mitologi G. Merapi.


Untuk memahami mitologi Gunung Merapi tidak bisa terlepas dari filosofi Kota Yogyakarta dengan karaton sebagai pancernya. Kota ini terbelah oleh sumbu imajiner yang menghubungkan Laut Kidul, Parangkusumo - Panggung Krapyak - Karaton - Tugu Pal Putih dan Gunung Merapi. Secara filosofis hal ini dibagi menjadi dua aspek, yaitu Jagat Alit dan Jagat Ageng.


Jagat alit, yang mengurai proses awal-akhir hidup dan kehidupan manusia dengan segala perilaku yang lurus sehingga terpahaminya hakekat hidup dan kehidupan manusia, digambarkan dengan planologi Kota Yogyakarta sebagai Kota Raja pada waktu itu. Planologi kota ini membujur dari selatan ke utara berawal dari Panggung Krapyak, berakhir di Tugu Pal Putih. Hal ini menekankan hubungan timbal balik antara Sang Pencipta dan manusia sebagai ciptaannnya (Sangkan Paraning dumadi).


Dalam perjalanan hidupnya manusia tergoda oleh berbagai macam kenikmatan duniawi. Godaan tersebut dapat berupa wanita dan harta yang digambarkan dalam bentuk pasar Beringharjo. Adapun godaan akan kekuasaan digambarkan oleh komplek Kepatihan yang kesemuanya berada pada sisi kanan pada jalan lurus antara kraton dan Tugu Pal Putih, sebagai lambang manusia yang dekat dengan pencipta-Nya (Manunggalaing Kawula Gusti).


Jagat Ageng, yang mengurai tentang hidup dan kehidupan masyarakat, di mana sang pemimpin masyarakat siapapaun dia senantiasa harus menjadikan hati nurani rakyat sebagai isteri pertama dan utamanya guna mewujudkan kesejahteraan lahir bathin bagi masyarakat dilandasi dengan keteguhan dan kepercayaan bahwa hanya satu pencipta yang Maha Besar. Jagat Ageng ini digambarkan dengan garis imajiner dari Parangkusuma di Laut selatan - Karaton Yogyakarta - Gunung Merapi. Hal ini lebih menekankan hubungan antara manusia yang hidup di dunia dimana seorang manusia harus memahami terlebih dahulu hakekat hidup dan kehidupannya sehingga mampu mencapai kesempurnaan hidup (Manungggaling Kawula Gusti).


Gunung Merapi menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa, diyakini sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai "swarga pangrantunan", dalam alur perjalanan hidup yang digambarkan dengan sumbu imajiner dan garis spiritual kelanggengan yang menghubungkan Laut Kidul - Panggung krapyak - Karaton Yogyakarta - Tugu Pal Putih - Gunung Merapi. Simbol ini mempunyai makna tentang proses kehidupan manusia mulai dari lahir sampai menghadap kepada sang Maha Pencipta.


Menurut foklor yang diceritakan oleh Juru Kunci Merapi yang bernama R. Ng. Surakso Hargo atau sering disebut mbah Marijan disebutkan bahwa konon Karaton Merapi ini dikuasai oleh Empu Rama dan Empu Permadi. Dahulu sebelum kehidupan manusia, keadaan dunia miring tidak stabil. Batara Guru memerintahkan kepada kedua Empu untuk membuat keris, sebagai pusaka tanah Jawa agar dunia stabil. Namun belum selesai keburu mengutus para Dewa untuk memindahkan G. Jamurdipa yang semula berada di Laut Selatan ke Pulau Jawa bagian tengah, utara Kota Yogyakarta (sekarang) dimana kedua Empu tersebut sedang mengerjakan tugasnya. Karena bersikeras berpegang pada "Sabda Pendhita Ratu" (satunya kata dan perbuatan) serta tidak mau memindahkan kegiatannya, maka terjadilah perang antara para Dewa dengan kedua Empu tadi yang akhirnya dimenangkan oleh kedua Empu tersebut.


Mendengar kekalahan para Dewa, Batara Guru memerintahkan Batara Bayu untuk menghukum keduanya dengan meniup G. Jamurdipa sehingga terbang diterpa angin besar ke arah utara dan jatuh tepat diatas perapian dan mengubur mati Empu Rama dan Permadi. Namun sebenarnya dia tidak mati hanya berubah menjadi ujud yang lain dan akhirnya menguasai Kraton makhluk halus di tempat itu. Sejak itu arwahnya dipercaya untuk memimpin kerajaan di Gunung Merapi tersebut. Masyarakat Karaton Merapi adalah komunitas arwah mereka yang tatkala hidup didunia melakukan amal yang baik. Bagi mereka yang selalu melakukan amalan yang jelek arwahnya tidak bisa diterima dalam komunitas mahluk halus Karaton Merapi, biasanya terus nglambrang kemana-mana lalu hinggap di batu besar, jembatan, jurang dsb menjadi penunggu tempat tersebut.


Menurut cerita rakyat yang lain yang juga diceritakan oleh mbah Marijan : Konon pada masa kerajaan Mataram tepatnya pada pemerintahan Panembahan Senopati Pendiri Dinasti Mataram (1575-1601). Panembahan Senopati mempunyai kekasih yang bernama Kanjeng Ratu Kidul, Penguasa Laut Selatan. Ketika keduanya sedang memadu kasih dia diberi sebutir "endhog jagad" (telur dunia) untuk dimakan. Namun dinasehati oleh Ki Juru Mertani agar endog jagad tersebut jangan dimakan tapi diberikan saja kepada Ki Juru Taman. Setelah memakannya ternyata Juru Taman berubah menjadi raksasa, dengan wajah yang mengerikan. Kemudian Panembahan Senopati memerintahkan kepada si raksasa agar pergi ke G. Merapi dan diangkat menjadi Patih Karaton Merapi, dengan sebutan Kyai Sapujagad. (Marijan 1996, wawancara)


Labuhan & Selamatan


Sebagai perwujudan kepercayaan Karaton Mataram terhadap keberadaan sekutu mistisnya yaitu Karaton Kidul (di Samodera Indonesia) dan Karaton Merapi ini, maka diselenggarakan prosesi Labuhan. Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya persembahan. Upacara adat karaton Mataram (Yogyakarta dan Surakarta) ini sebagai perwujudan doa persembahan kepada Tuhan YME agar karaton dan rakyatnya selalu diberi keselamatan dan kemakmuran. Labuhan biasanya diselenggarakan di beberapa tempat antara lain di : G. Merapi, Pantai Parangkusumo, G. Lawu dan Kahyangan Dlepih. Biasanya dilaksanakan untuk memulai suatu upacara besar tertentu seperti Tingalan Jumenengan. Barang-barang milik raja yang dilabuh antara lain : Semekan solok, semekan, kain cinde, lorodan layon sekar, guntingan rikmo, dan kenoko selama setahun, seperangkat busana sultan dan kuluk kanigoro.


Disamping labuhan ada beberapa upacara selamatan yang lain yang dilakukan oleh masyarakat setempat, seperti : Sedekah Gunung, Selamatan Ternak, Selamatan Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, Selamatan Mencari Orang Hilang, Selamatan Orang Kesurupan, Selamatan Sekul Bali, Selamatan Mengambil Jenazah, Selamatan Menghadapi Bahaya Merapi, dll. Dua diantaranya ditunjukkan oleh Upacara Becekan dan Upacara Banjir Lahar berikut ini.


Upacara Becekan, disebut juga Dandan Kali atau Memetri Kali yang berarti memelihara atau memperbaiki lingkungan sungai, berupa upacara meminta hujan pada musim kemarau yang berlangsung di Kalurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Air sungai sangat penting bagi penduduk setempat untuk keperluan pertanian. Konon sesudah diadakan upacara biasanya segera turun hujan sehingga tanah menjadi becek maka lalu disebut becekan. Becek diartikan juga sebagai sesaji berujud daging kambing yang dimasak gulai. Dusun yang melaksanakan upacara ini antara lain : Dusun Pagerjurang, Dusun Kepuh dan Dusun Manggong. Penyelenggaraannya dibagi menjadi beberapa tahap: Pertama, memetri sumur di Dusun Kepuh (di kawasan itu hanya dusun ini yang memiliki sumur); Kedua, Upacara Becekan dilakukan di tengah-tengah Sungai Gendol; Ketiga upacara khusus di masing-masing dusun. Upacara ini dimaksudkan untuk berdoa memohon hujan kepada Tuhan YME agar tanah menjadi subur, sehingga warga menjadi sehat, aman, selamat dan sejahtera. Waktu penyelenggaraan, menggunakan pranotomongso yaitu pada mongso kapat dan harinya Jumat Kliwon, jika pada mongso kapat tidak terdapat Jumat Kliwon diundur pada mongso kalimo, sebab hari itu dianggap keramat. Upacara ini dipimpin oleh seorang modin dan diikuti oleh warga ketiga dusun. Perlu diketahui bahwa seluruh rangkaian acara ini harus dilakukan/diikuti oleh kaum laki-laki dan sesaji sama sekali tidak boleh disentuh oleh wanita serta kambing untuk sesaji harus kambing jantan.


Upacara Banjir Lahar, tradisi penduduk sekitar gunung berapi, khususnya dalam menanggapi bencana lahar. Salah satunya bisa disaksikan di Dusun Tambakan, Desa Sindumartani, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, sebagai salah satu desa yang sering dilewati bencana lahar (dingin atau panas) dari Gunung Merapi.


Upacara ini berupa doa mohon keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan YME bagi segenap penduduk agar terhindar dari marabahaya, disertai dengan peletakan sesaji berupa kelapa muda di sungai yang diperkirakan akan dilewati lahar. Hal ini dilakukan bila telah melihat tanda-tanda alam akan datangnya bencana lahar yang telah mereka kenal secara turun temurun.


Penduduk yang bermukim di tepi sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi kadang mendengar suara-suara aneh di malam hari, misalnya gemerincing suara kereta kencana yang lewat. Konon merupakan pertanda bahwa Karaton Merapi sedang mengirimkan rombongan dalam rangka hajat untuk mengawinkan kerabatnya dengan salah satu penghuni Karaton Laut Kidul. Hal itu ditafsirkan sebagai pertanda mistis bahwa sebentar lagi akan terjadi banjir lahar yang akan melalui sungai itu, sehingga bagi mereka yang tahu akan segera membuat langkah-langkah pengamanan dan penyelamatan.


Adapun tujuan dari penyelenggaraan berbagai prosesi selamatan tersebut konon adalah untuk berdoa memohon keselamatan dan kelimpahan rejeki kepada Tuhan YME serta memberi sedekah kepada makhluk halus penghuni Merapi agar tidak mengganggu penduduk, damai dan terbebas dari marabahaya, sehingga tercipta satu harmoni antara manusia dan lingkungan alam. Apabila perilaku manusia negatif maka maka alampun akan negatif pula.


Konsep keseimbangan yang menjadi kearifan penduduk sekitar Gunung Merapi merupakan implementasi dari nilai-nilai yang mereka percaya bahwa para penghuni akan murka ketika menyimpang dari kaidah-kaidah alam yang benar dan seimbang. Letak harmoninya tidak saja terletak pada sesaji yang disediakan namun pada perilaku yang selalu diusahakan untuk tidak nyebal (menyimpang) dari kaedah-kaedah keseimbangan alam, yang selalu selaras serasi dan seimbang untuk menjaga keutuhan ekosistem.



Mbah Maridjan Dikawal Lengkap Ketika Menghadap Eyang Merapi

http://4.bp.blogspot.com/_19j87EQervM/RiToqbrM3pI/AAAAAAAAAUQ/BV7fsAbQCcs/s320/mbah%2Bmarijan.jpg
Orang Jawa dalam kehidupannya sejak zaman prasejarah bahkan sampai sekarang masih memegang kuat KEPERCAYAAN terhadap hal-hal yang berbau mistik. Hal demikian tidak lepas dari unsur Sejarah, unsur Agama (terutama Hindu dan Budha) dan unsur kepercayaan Animisme. Sebab kepercayaan manusia diresmikan dengan legenda dan setiap legenda didasarkan pada sejarah.
Orang yang tinggal di daerah Gunung Merapi percaya bahwa ada Keraton Mahluk Halus di gunungnya yang mirip Kraton Mataram dalam dunia manusia. Maka tak heran bila nama Eyang Merapi dianggap sebagai penguasa alias pimpinan seluruh lelembut  penghuni Gunung Merapi. Bahkan para praktikan kebatinan mampu melihat kemegahan Keraton Merapi yang indah gemerlap tersebut dengan mata batinnya.
Eyang Merapi tidak sendiri dalam mendiami Gunung teraktif di dunia ini, ada Eyang Panembahan Sapu Jagat yang diberi kepercayaan sebagai juru kunci kawah Merapi, yang berkuasa untuk membuka kawah bila sudah tiba saatnya akan meletus. Eyang Sapu Jagat mempunyai staf juga yaitu Kyai Grinjing Wesi dan Kyai Grinjing Kawat.
http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQ2TMKbxn9rrKnLTtcDnvM68Ff6fdg5YQft3fWLYrshUHEl4kc&t=1&usg=__Sid0b06NjDzl1rf6_uqakCi2IBw=
Pembantu Eyang Merapi lainnya adalah Eyang Megantara yang memiliki kewenangan mengendalikan cuaca di sekitar Merapi, hujan atau panas tergantung Eyang Megantara. Eyang Merapi juga menugaskan Nyi Gadung Melati untuk menjaga kesuburan tetumbuhan di sekitar Merapi. Tokoh berikutnya sebagai pembantu Penguasa Merapi adalah Eyang Antaboga. Makhluk dari bangsa jin ini mendapat tugas cukup berat karena harus selalu menjaga keseimbangan gunung agar tidak melorot tenggelam ke dasar bumi.
Adalagi nama tokoh yang sering disebut masyarakat sekitar Gunung Merapi yaitu Kyai Petruk. Pemuka jin ini bertugas memberi wangsit mengenai waktu meletusnya Merapi, termasuk juga memberi kiat-kiat tertentu kepada penduduk agar terhindar dari ancaman bahaya lahar panas Merapi. Dipundak jin inilah keselamatan penduduk tergantung. Sedang pemimpin roh halus ketujuh yang khusus mengatur arah angin adalah Kyai Sapu Angin. Pemuka jin kedelapan yang tugasnya menjaga sembari mengatur teras keraton Merapi adalah Kyai Wola-Wali.
Adapun Kartadimejo, tokoh kesembilan ini bertugas sebagai komandan pasukan makhluk halus sekaligus menjaga ternak serta satwa gunung, termasuk memberi kepastian kepada penduduk tentang kapan tepatnya Merapi meletus. Jin terakhir ini kerap mendatangi penduduk sehingga namanya cukup terkenal di kalangan penduduk Merapi.
Seperti layaknya sebuah Keraton, tentu saja masih banyak tokoh-tokoh yang mendiami Keraton Merapi selain yang sudah disebutkan di atas.
Mbah Maridjan sendiri konon mampu berkomunikasi dengan beberapa penunggu Gunung Merapi, maka tak heran dia selalu menunggu WANGSIT dari Kyai Petruk untuk tindakan selanjutnya bila Gunung Merapi mengeluarkan gelagat mau meletus. Lewat Kyai Petruklah Mbah Maridjan sudah puluhan tahun menjadi Juru Kunci Gunung Merapi selalu selamat dari akibat letusannya.
Selama ini memang sudah terbukti bahwa dimana Mbah Maridjan tinggal yaitu desa Kinahrejo  selalu luput dari ancaman bahaya lahar panas atau Wedhus Gembelnya Merapi, desa yang konon termasuk desa kesayangan Eyang Merapi itu juga menjadi sebuah representasi dari sebuah suasana kehidupan yang serba nyaman dan tentram.
Dalam bahasa Mbah Maridjan alias Raden Mas Panewu Surakso Hargo ini bahwa gejolak di Gunung Merapi diterjemahkan sebagai “eyang” yang melenggahinya sedang punya hajat membangun “keraton”. Mbah Maridjan yang pantang menggunakan istilah “Gunung Merapi meletus”, menjelaskan bahwa di saat eyang sedang punya hajat semua orang di lingkungan Merapi harus sabar, tabah dan tawakal.
Memang letusan Merapi tahun ini cukup hebat dan berlangsung cukup lama, konon Eyang Merapi tengah punya HAJAT BESAR yang dimulai sejak tanggal 10-10-2010 lalu. Untuk itu ia mengundang juru kunci Merapi sebagai wakil dari Keraton Jogjakarta untuk menghadap ke Keratonnya. Mbah Maridjan mungkin sudah menerima wangsit yang berupa “undangan” dari Eyang Merapi, maka ia tak beranjak untuk meninggalkan kediamannya demi menerima undangan sang penguasa Gunung Merapi itu.
Desa Kinahrejo akhirnya menjadi sasaran letusan Gunung Merapi setelah sekian puluh tahun selalu selamat, dalam terawang mistik, Mbah Maridjan dijemput para pengawal Eyang Merapi untuk berangkat ke Keratonnya. Namun Mbah Maridjan tidak berangkat sendirian, ia juga “membawa” pengawal lengkap, mulai dari tenaga medis dari PMI, Wartawan dari Vivanews, Tentara Nasional Indonesia (TNI), juga warga biasa dengan berbagai profesi, yang meninggal bersama Mbah Maridjan saat itu. Meninggalnya Mbah Maridjan dalam posisi bersujud itu bisa ditafsirkan dari sisi mistik bahwa Mbah Maridjan memang tengah sujud kepada utusan Eyang Merapi yang mengundangnya.
Sementara ahli Numerologi juga mempunyai catatan tersendiri tentang Mbah Maridjan ditinjau dari angka-angka kejadian, makna nama sang Juru Kunci berikut tanggal bulan dan tahun peristiwanya.
http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSuHMb6HtLIDzInWmV2t6uWMNs04gUwU91pzgktYsLdSfwaO_w&t=1&usg=__MktF5Coim-yGnWcQFdwapeJn2Z4=
Lepas dari cerita di atas, memang seluruh kepercayaan manusia Jawa terhadap gunung berunsur kepercayaan animisme dari zaman prasejarah sampai sekarang, termasuk kepercayaan tentang mahluk halus, roh leluhur yang mendiami macam-macam tempat adalah kepercayaan animisme. Walau demikian ada unsur positif dalam setiap ritual kepercayaan itu, bekerjasama menjaga alam dan seisinya sebagai salah satu amanat Tuhan Allah kepada manusia. Setiap Gunung mempunyai cerita mistisnya, alam raya menyimpan banyak misterinya, dan budaya Jawa melakukan ritual tradisinya sebagai unsur peninggalan nenek moyang yang tak lepas dari fungsi sebuah Keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Negara mawa tata, desa mawa cara artinya negara punya peraturan, desa dengan tradisinya. Setiap desa memiliki tradisi sendiri yang berbeda dengan desa yang lain. Tiap-tiap negara atau daerah memiliki keunikan tersendiri, entah dari segi bahasa, seni, budaya, atau adat istiadat. Tidak bisa dikatakan begitu saja mana yang lebih baik atau mana yang lebih buruk, tergantung pada warganegara atau penduduknya menghayati adat atau tradisi mereka.
Gunung Merapi mempunyai tradisi, Eyang Merapi yang mendiami, Orang Jawa NGALAP BERKAH jangan disalahkan, sebab menurut filosofi kerohanian Jawa, dibenarkan.

Penampakan Hantu Gunung Merapi

http://gambarfotohantu.com/wp-content/uploads/2008/05/hantu-kepala311.jpg
Imel memang sudah bertunangan dengan Erik, bertunangan artinya dalam tahap melatih bagaimana menyesuaikan diri dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan citarasa pribadinya. Masa pertunangan merupakan masa perwujudan saling percaya dan saling membina. Itulah langkah pertama cinta yaitu mewujudkan tanggung jawab seorang aku terhadap seorang engkau.
Cinta memang lambang keabadian, bagi seorang wanita cinta adalah seluruh riwayat hidupnya, namun bagi seorang lelaki hanyalah sebuah episode. Pertunangan itu ideal namun perkawinanlah yang yang real. Imel sudah membayangkan akan mengenakan gaun putih dari kain yang bercahaya, wajahnya semakin cantik dengan riasan khas pengantin, kain tule sebagai kerudungnya, lalu dibelakangnya ada dua gadis kecil menjadi 
'bruid-meisjes' yang mengangkat 'sluier' manakala kain panjang itu menyapu lantai gereja menuju altar.
Kemudian umat di kiri kanan akan berdiri mengikuti tangan sang pendeta yang berdiri di mimbar, sementara paduan suara dengan merdu bakal menyanyikan salah satu lagu ciptaan Mozart atau Bach. Namun lagu itu tak jadi merdu, justru berubah menjadi ratapan panjang, entah kapan berakhirnya.
Hampir tiga bulan hati Imel berkabung. Dan selama itu ia selalu mengigau, seakan ia tak percaya bahwa Erick tunangannya telah hilang di Gunung Merapi saat mendaki seorang diri. Mama papanya tak henti-henti menghibur dengan doa.
"Seperti Ayub, semakin dekat manusia pada Tuhannya, semakin sering pula dicobai iblis. Tetapi bila mampu bertahan, Tuhan akan memberi ganti lebih dari yang pernah ia punya." kata sang papa suatu kali.
"apa maksudnya papa selalu berbicara tentang GANTI? Papa mestinya tahu, tidak ada lelaki yang bisa mengggantikan Erik!" teriak Imel tak mampu menyumbat emosinya.
Sang papa tetap tenang, dengan lembut dan bijaksana dia meredam letupan emosi Imel.
"Nak, barangkali ini memang maksud Tuhan. Tuhan tak mungkin memutar dan mengubah masa lalu. Hidup seperti matahari, redup dan bersinar silih berganti. Kita harus bisa menerima kenyataan ini untuk mengurangi kesedihan hati."
"Tidak! Papa harusnya bilang kalau Erik masih hidup. Erik tidak mati!" teriak Imel histeris.
Sang papa semakin kuatir, sang mama sudah tak bisa membendung air matanya. Apakah anaknya sudah tidak waras? Dan kekuatiran itu semakin terjawab ketika paginya Imel menghilang, entah ke mana? Keduanya panik, segera menghubungi polisi dan semua orang ikut sibuk. Tapi semua tak 
ada yang tahu keberadaannya.
 *****
"Kau sungguh gila Imel, pergi diam-diam dan minggat ke rumahku, nanti aku dituduh menculikmu, gimana?!" kataku kaget ketika Imel pagi-pagi sudah menggedor rumahku tanpa memberitahu terlebih dahulu.
"Mas Toni, saya minta tolong," Imel meluncurkan kalimat pertamanya.
"Minta tolong apalagi Imel?"
"Antarkan aku naik ke Gunung Merapi?"
"Hah? Bukankah Erik sudah dinyatakan hilang oleh tim SAR dan para pendaki lain yang ikut mencarinya waktu itu. Untuk apa lagi naik ke sana?"
"Saya hanya percaya mas Toni sebagai teman paling dekatnya kak Erik. Saya penasaran dan merasa kak Erik masih hidup dan menungguku di puncak sana."
Aku tak bisa mengelak lagi, segera saja aku berkemas menyiapkan segala keperluan untuk mendaki seperti  tenda, kompor gas kecil, nesting, senter, double jaket, celana, syal dan sebagainya, walau saya memastikan tidak akan naik sampai puncak, saya kuatirkan Imel tidak akan mampu bertahan dalam pendakian, karena ia memang tidak pernah mendaki gunung.
 Dan mobil kami meluncur ke arah Jogya, ke desa Pakem. Karena dari jalur itulah dulu Erik naik ke puncak Gunung Merapi. Walau ia berangkat sendirian, tapi dalam pendakian sudah berteman dengan banyak pendaki lainnya.Sayang dalam pendakian itu Erik dinyatakan hilang. Berminggu-minggu ditelusuri berbagai sudut Merapi tak ada jejaknya sama sekali. Erik 
dinyatakan hilang begitu saja.
*****
Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Sleman, menjadi tujuan pertama kami. Menemui Mbah Maridjan sebagai juru kuncinya dan menceritakan tujuan kami untuk pendakian ini. Dan Mbah Maridjan dengan senyum khasnya menceritakan keangkeran Gunung Merapi dengan bahasa Jawa khasnya.
Diceritakan bahwa Gunung Merapi ada penghuninya yang bertindak sebagai tokoh jahat yaitu Mak Lampir, tokoh setengah manusia setengah jin. Penguasa Merapi sendiri namanya Eyang Merapi, Gunung Merapi bila dilihat dengan mata batin adalah sebuah Keraton yang megah, namun tidak sembarang orang bisa melihatnya.
Si Mbah juga menceritakan tentang Pasar Bubrah atau Pasar Demit atau Pasar Setan. Sebuah tempat yang diyakini sebagai tempat yang paling angker sebagai tempat berkumpulnya para penduduk halus Merapi. Setiap malam jumat biasanya keramaian di Pasar Bubrah itu akan berlangsung hingga tengah malam. Biasanya akan terdengar suara gamelan dan  gending Jawa mengalun menambah keriuhan pasar tersebut.
Kami mendengarkan cerita Mbah Maridjan sambil menikmati hidangan yang disediakan, segelas teh hangat, pohung godok dan beberapa makanan jajan pasar. Saya pun menterjemahkannya pada Imel yang mendengarkan dengan seksama. Maklum Imel orang Jakarta asli, tidak mengerti banyak 
bahasa Jawa.
Kurang lebih pukul sembilan pagi, saya mohon izin Mbah Maridjan untuk naik dan saya mengatakan tidak akan sampai puncak, paling sampai Pasar Bubrah terus turun kembali. Mbah Maridjan mengangguk dan akan menunggunya.
*****
Sinar mentari mulai menampakkan keperkasaannya dari ketinggian 2900 Dpl ini. Saya lihat Imel terengah-engah di belakangku, tapi semangatnya begitu membara. Jalanan berbatu yang terjal disertai angin kencang menjadi teman kami. Namun sebelum sampai Pasar Bubrah Imel sudah mengajak duduk beristirahat sambil membuka minumannya.
Pepohonan di sekililing kami begitu sunyi, hanya desau angin seperti suara simpony alam yang saling bersahutan. Tiba-tiba ada kelebatan bayangan melintas di depan kami, kurang lebih 10 meter dari kami duduk ini.
"Mas Toni, kamu ngeliat nggak?" tanya Imel setengah berbisik.
"Ya saya melihatnya. Ia berhenti di sana, sepertinya tengah mencari sesuatu. Mari kita hampiri." kataku sambil menggandeng Imel.
Langkah kami semakin dekat, namun bayangan hitam itu memang berbaju hitam, tidak berusaha menghindar. Sosok itu mengenakan caping, topi yang terbuat dari anyaman bambu. Saya pun menyapanya.
"Sugeng enjing pak! (Selamat pagi pak!)." Ia memandang kami sebentar lalu melanjutkan kesibukannya, mencari rerumputan.
"Kalian mau mencari apa kok duduk di sini?" katanya pelan, masih tak memandang kami.
"Saya mengantarkan teman saya ini dalam mencari jejak kekasihnya yang 3 bulan lalu hilang di Gunung Merapi ini."
"Banyak orang hilang di sini, percuma kalian mencarinya." jawabnya singkat. Yang membuat saya agak heran, logat bicaranya orang ini tidak seperti penduduk asli di sekitar Merapi yang kebanyakan memakai bahasa Jawa, tapi ia begitu fasih berbahasa Indonesia.
Mendadak saja Imel duduk dan sesenggukan, ia seperti mengingat Erik dan tak mampu membendung kesedihannya. Sosok hitam itu tiba-tiba menghentikan aktivitasnya menyabit rumput dan berkata : "Sudahlah nona, jangan menangis."
Imel terdiam. DIa mendongak dan bangkit menghampiri orang tersebut. Ketika melihatnya, sejenak langkahnya terhenti, orang tersebut wajahnya jelek sekali, seluruh mukanya seperti bekas jahitan. Walau demikian Imel tak memperdulikannya.
"Nona?" desis Imel seakan tak percaya bahwa kata itu diucapkan oleh lelaki bermuka menyeramkan itu. "Kenapa kau panggil aku Nona?"
"Saya tidak tahan melihat kau menangis seperti itu," jawabnya.
"Tapi dari mana kau tahu saya Nona. Dalam hidupku hanya Erik yang memanggilku Nona. Itu nama kesayangan buat aku."
"Saya tahu,"
"Dari mana kau tahu?" tanya Imel penasaran. Orang itu tidak menjawab, tapi berdiri menjauh. Imel semakin penasaran, tanpa takut ia mengejarnya, aku mengikutinya dari belakang.
"Tolong jawab, dari mana kau tahu? Apa kak Erik masih hidup? Dan ia menceritakan tentangku padamu?"
"Tidak."
"Terus?"
"Sebenarnya Erik masih hidup." jawab itu membuat Imel tersentak dan ia semakin tajam memandang lelaki bertampang seram itu.
"Benarkah katamu?"
"Benar, tapi ia tak berani menemuimu, sebab wajahnya telah rusak ketika terpeleset ke jurang."
"Apa?"
"Ya, Erik tahu dia tidak pantas lagi menjadi calon suamimu. Seluruh tubuhnya cacat!"
Imel menjerit tubuhnya lunglai, aku langsung memeluknya. Ia menangis dalam pelukanku.
"Kak Erik, aku tahu kau masih hidup. Aku tahu, sebab aku mendengar Tuhan menjawab dalam doa-doaku setiap malam....." desisnya sesenggukan. Aku membimbingnya untuk turun saja. Dan sosok berbaju hitam dan berwajah menyeramkan itu sudah menghilang di balik rimbun pepohonan.
SEKIAN

1 komentar:

  1. banyak mitos yang berkembang seputar merapi,
    y , percaya - gak percaya sih, memang banyak versi, namun kita memang harus meyakini bhwa kita tidak hidup sendiri, ada alam lain yang ga bisa kita lihat

    BalasHapus