Suku Baduy
Suku Baduy adalah satu dari sekian ratus
suku yang ada di Indonesia. Suku ini terkenal dengan kepribadiannya
yang tidak mau dicampuri dengan dunia luar dan modern, bahkan hanya
untuk sekedar difoto saja mereka tidak mau. Kepekaan terhadap adat
istiadat inilah yang membuat wilayah suku Baduy sangat tertutup sehingga tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam wilayahnya. Wilayah suku Baduy disebut sebagai Kanekes. Populasi penduduk suku Baduy di Kanekes berkisar 8000 jiwa.
Asal-usul dan tata kelola suku Baduy
Masyarakat suku Baduy sendiri suka
menyebut dirinya urang Kanekes. Namun para peneliti dan sebagian besar
masyarakat Indonesia menamakan suku ini Baduy karena daerahnya yang
diapit dengan oleh dua gunung Baduy atau bisa juga diadaptasi dari nama
masyarakat Badawi yang pada zaman dahulu memiliki gaya hidup mirip
dengan orang Kanekes. Sistem pemerintahan,politik, ekonomi dan semua
sistem lain dalam desa Kanekes menggunakan sistem kehidupan tradisional.
Maka sistem dusun pun diterapkan atas tiga wilayah utama, yakni
Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo.
Sistem budaya tradisional di masyarakat
Kanekes ini sama halnya dengan budaya tradisional lain yakni menggunakan
sistem lisan untuk memberitakan suatu hal berupa informasi, cerita,
hiburan atau pendidikan. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa Sunda
dengan dialek khusus masyarakat Kanekes. Salah satu ciri khas bahasa
Sunda dialek Kanekes adalah menggunakan kata kami untuk menyebut saya
dan kata ganti dia untuk menyebut kamu atau anda.
Agama dan kepercayaan orang Baduy
Agama yang dianut masyarakat Baduy
adalah agama Sunda Wiwitan, yakni sebuah kepercayaan yang dianut
masyarakat Sunda jaman dahulu yang mendapatkan pengaruh besar dari
budaya Hindu. Namun ada juga sebagian masyarakat Baduy Kanekes yang
memeluk agama Islam dan Budha. Yang paling pokok dalam sistem
kepercayaan mereka, apapun agamanya adalah bahwa segala macam sesuatu
yang berkaitan dengan pola kehidupan mereka tidak boleh atau pantang
untuk diubah. Moto masyarakat Kanekes adalah “Lojor henteu beunang
dipotong, pendek henteu beunang disambung”, mereka menganggap segala hal
yang sudah ada di dunia ini tidak boleh diubah dalam bentuk apapun,
sehingga mereka tidak menerima kemajuan dalam bentuk apapun.
Mata pencaharian masyarakat suku Baduy
Sedangkan mata pencaharian masyarakat
Baduy adalah menjadi petani. Petani di Kanekes tidaklah sama seperti
petani pada umumnya karena mereka tidak membajak untuk menggemburkan
tanah, tidak membuat sengkedan untuk pengairan dan lain-lain. Mereka
menanam secara apa adanya, tidak mengubah atau mengolah tanah. Sistem
kepercayaan mereka yang mendorong mereka berlaku demikian. Hal ini
berkautan dengan semboyan mereka diatas, bahwa apa yang sudah ada tidak
boleh dirubah-rubah dalam bentuk apapun. Sehingga dalam hal pertanian
pun mereka tidak mengubah tanah.
Pembagian masyarakat dan sistem pemerintahan
Selanjutanya kita akan membicarakan lebih lanjut tentang masyarakat Baduy dalam hal pembagian masyarakat dan sistem pemerintahannya.Pembagian dalam masyarakat Baduy
Masyarakat suku Baduy dibagi menjadi tiga kelompok yang tinggal di daerah yang berbeda-beda. Kelompok tersebut adalah:- Baduy Dalam (Kanekes Dalam)
- Baduy Luar (Kanekes Luar)
- Baduy Dangka
Masyarakat Baduy Dalam adalah masyarakat
yang menempati tiga wilayah utama Kanekes, yakni Cikeusik, Cikertawana
dan Cibeo. Masyarakat ini sangat memegang teguh adat istiadatnya dengan
pakaian berwarna putih dan biru tua. Mereka juga suka mengenakan ikat
kepala berwarna putih. Masyarakat Baduy Dalam tidak menggunakan
benda-benda yang berbau modern, seperti alat elektroni dan bahan kimia.
Pakaian yang digunakan pun harus ditenun sendiri berasal dari
bahan-bahan yang alami di sekitar masyarakat tersebut tinggal. Jika ada
pakaian yang dijahit, bisa dipastikan mereka menjahitnya sendiri dengan
tangan.
Kelompok yang kedua adalah masyarakat
suku Baduy luar yang berciri khas pakaian hitam. Mereka juga menggunakan
ikat kepala seperti masyarakat Baduy dalam, namun berwarna hitam juga.
Masyarakat ini tinggal di desa yang mengelilingi desa utama wilayah
Kanekes diatas.Masyarakat Baduy luar ini bisa dikatakan adalah suku
Baduy yang diasingkan karena beberapa alasan seperti melanggar peraturan
adat yang ada dalam wilayah Kanekes dalam, menikah dengan orang luar
Kanekes Dalam atau mengundurkan diri dari Baduy Dalam dengan berbagai
macam alasan. Salah satu sebab yang paling banyak adalah penggunaan
alat-alat moden seperti elektronik, bahan kimia dan teknologi lain.
Namun dalam beberapa hal, masyarakat Baduy Luar masih menerima dan
mengakui sebagian adat masyarakat Baduy. Inilah yang membedakan kelompok
Baduy luar dengan Baduy Dangka. Kelompok ketiga, yakni Baduy Dangka,
mereka yang sudah benar-benar keluar dari suku Baduy, baik secara
geografis maupun secara adat istiadat. Mereka merupakan keturunan suku
Baduy Dalam atau luar, namun umumnya sudah tidak tinggal di wilayah
Kanekes.Sistem pemerintahan dalam masyarakat Baduy
Seperti yang telah kita bahas sebelumnya
bahwa masyarakat suku Baduy masih ketat menjalankan adat dengan
memberlakukan sistem kehidupan sesuai dengan ketentuan tradisional yang
sudah ada sejak jaman dahulu kala. Hal ini termasuk pula dalam sistem
pemerintahan. Pemerintahan yang digunakan di Kanekes ada dua macam,
yakni sistem adat dan sistem nasional. Seperti wilayah yang lain di
Indonesia, setiap Desa di Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang dalam
budaya Kanekes disebut jaro pamarentah. Namun dalam sistem adat, seluruh
masyarakat Baduy dipimpin oleh seorang pemimpin adat tertinggi yang
disebut sebagai pu’un.
Jabatan pu’un tidak dibatasi oleh waktu
sehingga jabatan ini ditempati oleh orang yang dianggap memiliki
kharisma tinggi sebagai pemimpin serta orang harus memiliki kemampuan
untuk bertahan selama mungkin dalam jabatan tersebut. Dibawah pu’un ada
jaro, yang mana dalam sistem modern disebut sebagai ceksi pedesaan yang
berhubungan dengan wilayah tertentu. Jadi sebenarnya kepala desa dalam
sistem nasional yang disebut jaro pamarentah dalam sistem Baduy adalah
bawahan pu’un, secara tidak langsung. Oleh karena itu jika ada acara
nasional, yang harus mengikuti acara tersebut bukan pu’un tapi jaro
pamarentah atau kepala desa. (iwan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar