Dalam kebudayaan sukubangsa Batak cerita perjuangan kepahlawanan
Sisingamangaraja XII terus-menerus diwariskan sampai pada generasi berikutnya.
Cerita ini tidak akan pernah lekang karena tergerus zaman. Sisingamangaraja XII
sepanjang hidupnya menentang kolonialisme Belanda di Tanah Batak (1849-1907).
Sehingga wajar bila Sisingamangaraja XII dianugerahi gelar Pahlawan Nasional
yang diumumkan 9 November 1961. Sisingamangaraja XII meninggal 17 Juni 1907,
saat membela diri dari serangan pasukan Belanda yang mengepungnya. Pertempuran
yang berlangsung di desa Si Onom Hudon, perbatasan Kabupatren Tapanuli Utara
dan Kabupaten Dairi ini, merupakan pertempuran penghabisan yang telah
berlangsung cukup lama. Perang Batak berkesudahan setelah berkecamuk 30 tahun.
Sebelum gugur di medan pertempuran, Belanda dikabarkan
pernah menawarkan jalan damai kepada Sisingamangaraja XII, dengan mengangkatnya
menjadi Raja Batak dengan gelar Sultan. Sisingamangaraja XII menolak keras
dengan menyatakan, “Lebih baik berkalang tanah daripada hidup di peraduan
penjajah.”
Raja
Sisingamangaraja XII lahir dan wafat di Tanah Batak. Perjuangannya tidak hanya
meliputi wilayah Sumatera Utara, namun sampai ke Aceh. Dengan tidak kenal
lelah, dan dengan dukungan kuat dari tokoh-tokoh kerabatnya, Raja
Sisingamangaraja XII menampuh perjuangan yang panjang. Bahkan, pada 17 Juni 1957, saat peringatan genap 50 tahun wafatnya Sisingamangaraja
XII, Presiden Soekarno menyatakan Raja Sisingamangaraja bukan saja pahlawan
nasional, tetapi juga seorang pejuang bertaraf internasional.
Layaknya sebagai seorang tokoh
yang dijadikan sebagai sumber inspirasi, Sisingamangaraja juga mewariskan
sejumlah warisan kebudayaan..Warisan-warisan ini sebenarnya juga berasal dari
falsafah yang terkadung dalam nama Sisingamangaraja sendiri. ”Singa” yang
diartikan ”lion” dalam bahasa Inggris adalah merupakan hewan buas yang
merupakan pemangsa dan sering disebut sebagai raja hutan. Padahal, hewan buas
jenis ini sangat jarang ditemui oleh masyarakat Batak. Setidaknya beberapa literatur
sejarah dan budaya Batak sangat jarang menyinggung hewan ini.
Dalam bahasa
Batak, arti kata ”singa” mengandung falsafah ”konstruksi” atau ”rumah Batak”
sedangkan ”mangaraja” sendiri sama artinya dengan ”maharaja” dalam bahasa
Indonesia. Sehingga kata Sisingamangaraja berarti ”Singa ni Uhum” dan ”Singa ni
Hadatuon.” Undang-undang dan aturan-aturan yang termaktub dalam Arsip Bakara
dan Arsip Dairi dapat juga dilihat sebagai penerapan falsafah ”Singa ni Uhum,”
yang mengadung makna Sisingamangaraja sebagai rumah dan konstruksi berbagai
aturan, baik yang berupa aturan adat maupun aturan kemasyarakatan. Sedangkan
”Singa ni Hadatuon” yang menyangkut keyakinan ilmu dan supranatural, termasuk
hubungannya sebagai inkarnasi Maha Pencipta, yang mengalir dalam agama dan
teologi Parmalim.
Ada dua bentuk
warisan yang berasal secara langsung maupun tidak langsung (terinspirasi) dari
Sisingamangaraja, yaitu warisan gerakan spiritualitas agama Parmalim dan
warisan berupa aturan-aturan hukum.
Gerakan Spiritualitas Parbaringin & Parmalim
Sebelum mengetahui lebih jauh tentang agama Parmalim, ada baiknya terlebih
dulu sekilas memahami perjalanan konsep spiritualitas yang berada di Tanah
Batak. Konsep spiritualitas Batak mula-mula adalah memuja Tuhan yang disebut
Mulajadi Na Bolon, dengan kiblat utama pemujaan berada di Gunung Pusuk Buhit.
Pusuk Buhit merupakan mikro kosmos yang penting dari kosmologis besar sang
Mulajadi Na Bolon. Selain Pusuk Buhit, yang masuk mikro kosmos lainnya adalah
Sianjurmulamula, yang merupakan Bius (republik desa) pertama.
Konsep
spiritualitas di Tanah Batak pada awalnya merupakan otoritas dari Parbaringin.
Parbaringin dapat disebut sebagai pendeta yang berada dalam kesatuan Bius,
sehingga dapat pula diartikan bahwa Parbaringin merupakan salah satu aparat
dari Bius yang juga diwariskan secara turun-temurun. Setiap Bius bisa
dipastikan memiliki Parbaringin. Buku ”Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial
Politik Abad XIII-XX,” karya Sitor Situmorang, menyatakan bahwa situasi abad
ke-19 agama Toba pada hakekatnya terdiri tiga unsur dalam prakteknya: 1) Agama
Parbaringin yang terfokus pada pemujaan Sisingamangaraja/Raja Uti, yang
dipimpin oleh Sisingamangaraja dan Parbaringin. 2) Pemujaan leluhur oleh
Sisingamangaraja sebagai warisan tribalisme (kesukuan) dipimpin oleh tua-tua
dari marga-marga, dan 3) Animisme/magi yang dipimpin oleh para Datu/ Shaman
sebagai spesialis profesional (bayaran).
Jelaslah bahwa
agama paling tua yang dimiliki oleh bangsa Batak adalah animisme dan pemujaan
kepada leluhur (roh-roh nenek moyang). Ritual ini dipimpin oleh Parbaringin
untuk wilayah teritorial di dalam Bius, sedangkan Datu (dukun) dapat memimpin
ritual atas nama marga dan horja (pemilik lahan) yang terdapat di berbagai
Bius. Hampir bisa dipastikan Parbaringin mulai terfokus pada pemujaan terhadap
Sisingamangaraja sekitar abad 19. Sehingga pada abad 19 itu agama dan
ritual-ritual keagamaan semakin marak di tanah Batak. Parbaringin melayani
ritual keagamaan di dalam Bius, sedangkan Datu melayani ritual pemujaan
melampaui batas-batas teritorial meskipun terbatas pada siapa yang memerlukan
saja.
Disebut
Parbaringin, karena selalu memimpin upacara dengan melilitkan kain putih yang
diselipkan ranting pohon baringin di ikat kepalanya. Kadang kala, juga ikat
kepala berupa kain tiga warna (merah-putih-hitam) yang disebut bonang manalu.
Parbaringin mempunyai tugas yang jelas, yaitu mengatur jadwal bercocok tanam,
mengatur kegiatan pemeliharaan irigasi dan memimpin ritual-ritual, terutama di
dalam Bius.
Yang
terpenting, Parbaringin adalah kelompok yang merupakan pencetus awal ideologi
”kesatuan nasional Toba.” Bahkan sejak abad 13 Parbaringin sudah menjadi
pelopor sebagai kelompok elite pendeta yang memiliki kepekaan terhadap
gelombang zaman. Dalam tulisannya, Sitor Situmorang, juga menyatakan bahwa
Parbaringin adalah jabatan yang semula terbatas dalam sistem Bius saja. Tetapi,
kemudian berkembang meliputi Kerajaan Sisingamangaraja yang bersifat supra-Bius
(banyak bius-bius), sebagai kecenderungan bernegara tanpa melepaskan sistem
Bius dengan otonominya. Sisingamangaraja XII pernah mengeluarkan surat
pengangkatan bercap yang ditujukan kepada Parbaringin di daerah tertentu, yang
sedang berada dalam situasi perang. Pada awalnya, Parbaringin adalah sebuah gerakan
spiritualitas yang adalah juga cikal bakal gerakan sosial yang tumbuh di
kebudayaan Batak.
Gerakan
Parbaringin ini juga mengambil bentuk-bentuk yang baru, seperti gerakan
Parmalim dan Parhudamdam. Meskipun demikian, Parbaringin tetap menjadi roh dan
kekuatan tersamar yang mengilhami usaha pemberontakan bersenjata melawan
Belanda di Toba dan Dairi. Parbaringin kemungkinan dapat dikatakan adalah
embrio bagi kemunculan Parmalim, mengingat keberadaannya yang lebih dulu ada.
Prof Dr W.B
Sidjabat dalam bukunya ”Ahu Sisingamangaraja,” mencatat bahwa timbulnya gerakan
Parmalim tahun 1870 adalah dalam rangka usaha Sisingamangaraja XII menjaga agar
unsur-unsur agama Batak kuno dapat bertahan terutama dalam menghadapi agama
Kristen, Islam dan penjajah Belanda.
Raja
Sisingamangaraja XII berhasil mewariskan ajaran-ajaran Parmalim, karena
sebelumnya sudah ada kultus dari masyarakat tentang konsep messianisme pada
diri Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja XII dianggap bukan hanya sebagai
pendeta-raja (priester koning), melainkan juga seorang messias dan disebut
sebagai Malim Ni Debata, sebagai panutan spiritual pada Debata (Tuhan).
Sehingga Parmalim sendiri dapat diartikan sebagai ajaran Malim Ni Debata, yaitu
Sisingamangaraja XII. Sebelumnya, yang dinyatakan Malim Ni Debata hanya Raja
Uti. Berbeda dengan Raja Uti, yang sampai saat ini masih menjadi legenda Batak,
maka Sisingamangaraja XII sosok keberadaannya sangat nyata. Akhirnya, agama
Parmalim dapat juga diartikan merupakan ajaran-ajaran dari Sisingamangaraja XII.
Sisingamangaraja XII menjadi tokoh sentral menuju Tuhan (Debata). Belanda pun,
dalam menumpas perjuangan Sisingamangaraja XII, termasuk dengan cara melarang
setiap berlangsungnya kegiatan yang dilakukan oleh Parmalim.
Suatu ketika,
Sisingamangaraja XII memberikan maklumat dirinya sedang sakit. Ketika itu,
semua pemimpin Bius khawatir, sehingga Raja Mulia Naipospos selaku Parbaringin
berangkat menuju Bakkara. Pada saat itu Sisingamangaraja XII belum sama sekali
dibesuk oleh pemimpin bius lain. Ketika Raja Mulia tiba ternyata
Sisingamangaraja sehat walfiat. Kepada Raja Mulia Naipospos diceritakan bahwa
ancaman akan datang dan dukungan menentang Belanda semakin lemah. Proses
regenerasi Parmalim dilaksanakan. Raja Mulia Naipospos dikabarkan mendapat
surat secara langsung untuk mengurus keberlangsungan agama ini di Huta Tinggi,
Laguboti. Kelanjutan agama Parmalim di Laguboti berlangsung terus hingga saat
ini.
Tokoh sentral
lainnya dalam gerakan Parmalim adalah Guru Somalaing. Guru Somalaing ini bukan
merupakan Parbaringin melainkan seorang datu yang juga disebut guru. Sehingga
terlihat dua perbedaan dengan Raja Mulia Naipospos sebagai keturunan
Parbiringin. Guru Somalaing yang sebelumnya adalah penasehat perang
Sisingamangaraja XII, dalam kaitan dengan Parmalim melakukan aksi-aksi
penggorganisasian dalam menjalankan hubungan dengan Mulajadi Nabolon. Sedangkan
Raja Mulia Naipospos tidak dimunculkan sebagai sosok perlawanan anti kolonial,
dengan strategi melalui pengkaderan agama Parmalim untuk didekatkan kepada penyebaran
misi zending Nommensen di Sigumpar. Gerakan Parmalim di Balige, yang dipelopori
Guru Somalaing sekitar tahun 1890 ini, kemudian secara terpisah dilanjutkan
oleh Raja Mulia Naipospos di Laguboti.
Guru Somalaing
dikabarkan mendapatkan mimpi akan menggerakkan Parmalim. Saat itu, yang
bersangkutan sedang mengungsi di Tamba setelah Balige direbut Belanda. Parmalim
yang konstruksinya dibangun oleh Guru Somalaing sudah mengandung unsur agama
Barat, yaitu Katolik. Hal ini dimungkinkan karena adanya hubungan pertemanan
dekat antara Somalaing dengan seorang peneliti berasal dari Roma, Italia, yang
bernama Emilio Modigliani. Hasil dari perjalanan peneliti Italia ini dan
pertemanannya dengan Guru Somalaing, melahirkan tulisan berjudul ”Fra I
Batacchi Indipendenti” yang artinya ”Mengunjungi Tanah Batak Merdeka.” Artinya
kata ”Tanah Batak merdeka” sudah muncul pada tahun 1892 di Eropa saat tulisan
itu diumumkan.
Meninggalnya
Sisingamangaraja XII tahun 1907 tidak menyurutkan gerakan Parmalim dalam
melawan Belanda. Ketika Sisingamangaraja dikabarkan terbunuh, Gerakan Parmalim
bereaksi keras dan mengatakan bahwa sang Raja tidak mati melainkan sedang dalam
keadaan menderita dan mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Raja juga
dikabarkan dalam sosok seorang peminta-minta dan akan kembali ke Bakkara untuk
mendirikan kerajaannya seperti sediakala. Sehingga Parmalim juga memiliki paham
messianisme, sebuah keyakinan dan pengharapan akan kembali hadirnya sang
messias, yaitu Sisingamangaraja. Pada tahun 1907, Somalaing juga masih terus
melakukan perlawanan terhadap Belanda, dengan menganjurkan penduduk, terutama
yang berada di Toba dan Habinsaran, untuk tidak bersedia dijadikan tenaga rodi
dan membayar belasting.
Sampai saat ini
Parmalim masih terus bertahan dan berjuang, meskipun Indonesia telah dinyatakan
sebagai negara merdeka. Parmalim saat ini dinyatakan sebagai identitas pribadi
sedangkan kelembagaan agamanya disebut dengan ugamo malim. Ugamo malim
menyatakan bahwa permasalahannya sekarang adalah terhambatnya proses pengakuan
sebagai agama. Saat ini sudah ada legitimasi oleh pemerintah dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2006. Undang-undang ini membuka
kesempatan bagi Parmalim untuk dicatatkan sebagai bagian dari warga negara
Indonesia melalui kantor catatan sipil, meskipun belum diberi kesempatan untuk
menuliskan identitas agamanya di Kartu Tanda Penduduk.
Terkait
Parmalim sebagai warisan Sisingamangaraja XII, sampai saat ini tidak ada
keturunan dari Raja Sisingamangaraja XII yang masih menganut ugamo malim atau
agama Parmalim. Meskipun pernah dikabarkan
seorang keturunan langsung menghadiri ritual Sipaha Lima di Hutatinggi,
Kecamatan Laguboti. Raja Tonggotua Sinambela adalah generasi ke-15 dan cicit
langsung dari Raja Sisingamangaraja XII. Sedangkan nama Tonggotua sendiri
dikabarkan nama yang diberikan oleh Raja Ungkap Naipospos selaku pimpinan
Parmalim Nasiakbagi Hutatinggi generasi kedua. Raja Marnangkok juga menyatakan
bahwa tahun 2007 untuk pertamakalinya keturunan langsung dari Raja
Sisingamangaraja XII turut menghadiri ritual, meskipun yang bersangkutan sudah
beragama Kristen. Sangat dilematis mengingat ritual Sipaha Lima adalah ritual
keagamaan, maka yang bersangkutan tidak dapat mengambil bagian secara penuh.
Bahkan Raja Marnangkok menyatakan apabila ada keturunan Sisingamangaraja XII
yang masih menganut ugamo malim, maka Raja Mulia Naipospos selaku kakek saya,
akan langsung menyerahkan tampuk dan mandat kepemimpinan ugamo malim kepada
mereka.
Kesinambungan
Parmalim bagi generasi berikutnya juga ditunjukkan dengan dibangunnya PSHT
(Parmalim School Hoeta Tinggi), atau yang
sering disebut Sekolah Parmalim. Sekolah ini didirikan 1 November 1939 di Huta
Tinggi, Laguboti. Seperti umumnya agama-agama lokal yang hidup di beberapa
tempat di Indonesia, ugamo malim memiliki nilai-nilai kearifan religius yang
selayaknya terus digali.
Warisan hukum
Dalam buku “Ahu Si
Singamangaraja” diuraikan Sisingamangaraja XII juga menyusun dan memberlakukan
sebuah hukum yang harus ditaati. Hukum yang dibuat dan diberlakukan bagi
penduduk Si Onom Hudon di Pearaja, Dairi, yang pada saat itu dalam keadaan yang
relatif stabil. Sumber dari hukum ini dinyatakan oleh Sisingamangaraja XII
sebagai ”hukum dari nenekku.” Perangkat hukum tersebut disusun setelah Si
Singamangarajar XII pulang dari Aceh dalam rangka memperkuat hubungan diplomasi
dengan wilayah tersebut, juga Tanah Karo dalam rangka pengangkatan Sibayak
(raja) yang baru. Hukum di Dairi dibuat sekitar tahun 1890–1895. Hukum ini
tidak ditulis oleh Sisingamangaraja XII sendiri, melainkan oleh anaknya, Raja
Buntal. Hukum ini terdiri dari 11 pasal, yaitu: (1) Soal pembunuhan yang pada
dasarnya diatur atas dasar lex talionis; (2) Soal hutang piutang; (3) Soal
pemerkosaan seorang wanita yang sudah berumah tangga; (4) Soal pemerkosaan
seorang wanita yang belum berumah tangga; (5) Seorang wanita yang mengambil
inisiatif meninggalkan suaminya; (6) Larangan meracun; (7) Soal hewan piaraan
yang terseruduk dan mati; (8) Larangan mencuri; (9) Hukuman tentang pencuri
tanam-tanaman; (10) Tentang ganjaran bagi yang mengawini seorang wanita yang
telah bertunangan; dan (11) Ganjaran bagi pembakar rumah. Kesebelas hukum ini
terdapat dalam naskah Raja Buntal.
Naskah Dairi
lebih tipis dibandingkan Naskah Bakkara yang memuat 26 hal penting, sehingga
naskah Bakkara ini lebih banyak dari naskah Dairi. Karena bidang yang dicakup
lebih luas, seperti kemasyarakatan, hukum perkawinan. Juga terdapat
aturan-aturan dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Sedangkan naskah Dairi
lebih mengutamakan petunjuk yang berupa larangan-larangan. Arsip Bakara yang
disusun oleh Sisingamangaraja XI juga disebut ”Pustaha Harajaon” (Pustaka
Kerajan),i terdiri atas 24 jilid, yang setiap jilidnya setebal sekitar lima cm.
Garis besar
dari pustaha harajon adalah: Pemerintahan Tuan Sorimangaraja selama 90 turunan
mulai dari Putri Tapi Donda Mausan (Jilid 1-3). Pemerintahan kerajan
Singamangaraja I sampai IX (Jilid 4 -7). Perihal pedang padri Tuanku Rao
terhadap terhadap Tuan Nabolon Si Singamangaraja X (Jilid 8). Perihal
Pongkinangolngolan dan Datu Aman Tagor Simanullang (Jilid 9). Perihal pendeta
Pilgrim, pembunuhan atas diri pendeta Lyman dan Munson oleh Raja Panggalamei
(Jilid 11-12). Periode pembangunan kembali ibukota kerajan Bakkara dan
daerah-daerah Toba tahun 1835-1845 setelah pembumihangusan dalam Perang Bonjol
(Jilid 13-16). Perihal Dr Junghun van der Tuuk yang datang menjumpai
Singamangaraja XI dan perihal photonya (Jilid 17). Penobatan Ompu Sohahuaon
menjadi Singamangaraja XI, yang pemerintahannya berlangsung sampai tahun 1886,
dan perihal penyakit menular yang dahsyat di tanah Batak (Jilid 18-14). Pustaha
Harajaon ini ditemukan pada tumpukan rumah kerajaan yang dibakar oleh tentara
Belanda. Naskah ini dibawa ke Belanda oleh pendeta Pilgrams dan hingga saat ini
tersimpan di sebuah museum di Leiden.
Terkait arsip hukum Bakkara,
disebutkan sanksi dan ganjaran yang diberikan terhadap pencuri adalah keharusan
menyediakan babi yang besar (babi na bolon). Ganjaran dengan keharusan
memberikan babi na bolon juga telah diketahui saat Sisingamangaraja XI. Bahkan
dalam naskah Bakara masih ada kemungkinan bila pencuri yang tertangkap tidak
sanggup memberikan denda maka akan dijual (digadis). Ini barangkali
terkait dengan kemungkinan berlangsungnya perbudakan pada masa itu. Naskah
Bakkara memang jauh lebih tua bila dibandingkan dengan naskah Dairi, terlihat
dari bahasa dan isinya yang terperinci. Naskah Bakkara
juga memuat lebih banyak hal dibandingkan dengan naskah Dairi. Hal ini
kemungkinan juga disebabkan karena Raja Buntal sangat terbatas sumbernya dalam
menyusun, karena naskah Bakkara sendiri sudah dibawa ke Belanda. Selain itu,
informasi yang diterimanya dari nara sumber Boru Sagala, Boru Nadeak, Boru
Situmorang, Boru Siregar, Raja Sabidan dan Sunting Mariam terbatas.
Ironis bahwa kedua arsip tersebut belum dapat diakses oleh publik. Arsip
Bakkara berada di perpustakaan Belanda, sedangkan Naskah Dairi masih belum
diketahui wujudnya. Padahal kedua naskah sangat penting sebagai bahan sejarah.
Juga merupakan hak kekayaan intelektual budaya Batak.
Oleh: Chris
Poerba