Kamis, 24 April 2014

Warisan Raja Namaruhum, Namarhatua ( Sisingamangaraja XII )

Warisan Raja Namaruhum, Namarhatua ( Sisingamangaraja XII )




Dalam kebudayaan sukubangsa Batak cerita perjuangan kepahlawanan Sisingamangaraja XII terus-menerus diwariskan sampai pada generasi berikutnya. Cerita ini tidak akan pernah lekang karena tergerus zaman. Sisingamangaraja XII sepanjang hidupnya menentang kolonialisme Belanda di Tanah Batak (1849-1907). Sehingga wajar bila Sisingamangaraja XII dianugerahi gelar Pahlawan Nasional yang diumumkan 9 November 1961. Sisingamangaraja XII meninggal 17 Juni 1907, saat membela diri dari serangan pasukan Belanda yang mengepungnya. Pertempuran yang berlangsung di desa Si Onom Hudon, perbatasan Kabupatren Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi ini, merupakan pertempuran penghabisan yang telah berlangsung cukup lama. Perang Batak berkesudahan setelah berkecamuk 30 tahun.
Sebelum gugur di medan pertempuran, Belanda dikabarkan pernah menawarkan jalan damai kepada Sisingamangaraja XII, dengan mengangkatnya menjadi Raja Batak dengan gelar Sultan. Sisingamangaraja XII menolak keras dengan menyatakan, “Lebih baik berkalang tanah daripada hidup di peraduan penjajah.”
Raja Sisingamangaraja XII lahir dan wafat di Tanah Batak. Perjuangannya tidak hanya meliputi wilayah Sumatera Utara, namun sampai ke Aceh. Dengan tidak kenal lelah, dan dengan dukungan kuat dari tokoh-tokoh kerabatnya, Raja Sisingamangaraja XII menampuh perjuangan yang panjang. Bahkan, pada 17 Juni 1957, saat peringatan genap 50 tahun wafatnya Sisingamangaraja XII, Presiden Soekarno menyatakan Raja Sisingamangaraja bukan saja pahlawan nasional, tetapi juga seorang pejuang bertaraf internasional.
Layaknya sebagai seorang tokoh yang dijadikan sebagai sumber inspirasi, Sisingamangaraja juga mewariskan sejumlah warisan kebudayaan..Warisan-warisan ini sebenarnya juga berasal dari falsafah yang terkadung dalam nama Sisingamangaraja sendiri. ”Singa” yang diartikan ”lion” dalam bahasa Inggris adalah merupakan hewan buas yang merupakan pemangsa dan sering disebut sebagai raja hutan. Padahal, hewan buas jenis ini sangat jarang ditemui oleh masyarakat Batak. Setidaknya beberapa literatur sejarah dan budaya Batak sangat jarang menyinggung hewan ini.
Dalam bahasa Batak, arti kata ”singa” mengandung falsafah ”konstruksi” atau ”rumah Batak” sedangkan ”mangaraja” sendiri sama artinya dengan ”maharaja” dalam bahasa Indonesia. Sehingga kata Sisingamangaraja berarti ”Singa ni Uhum” dan ”Singa ni Hadatuon.” Undang-undang dan aturan-aturan yang termaktub dalam Arsip Bakara dan Arsip Dairi dapat juga dilihat sebagai penerapan falsafah ”Singa ni Uhum,” yang mengadung makna Sisingamangaraja sebagai rumah dan konstruksi berbagai aturan, baik yang berupa aturan adat maupun aturan kemasyarakatan. Sedangkan ”Singa ni Hadatuon” yang menyangkut keyakinan ilmu dan supranatural, termasuk hubungannya sebagai inkarnasi Maha Pencipta, yang mengalir dalam agama dan teologi Parmalim.
Ada dua bentuk warisan yang berasal secara langsung maupun tidak langsung (terinspirasi) dari Sisingamangaraja, yaitu warisan gerakan spiritualitas agama Parmalim dan warisan berupa aturan-aturan hukum.

Gerakan Spiritualitas Parbaringin & Parmalim

Sebelum mengetahui lebih jauh tentang agama Parmalim, ada baiknya terlebih dulu sekilas memahami perjalanan konsep spiritualitas yang berada di Tanah Batak. Konsep spiritualitas Batak mula-mula adalah memuja Tuhan yang disebut Mulajadi Na Bolon, dengan kiblat utama pemujaan berada di Gunung Pusuk Buhit. Pusuk Buhit merupakan mikro kosmos yang penting dari kosmologis besar sang Mulajadi Na Bolon. Selain Pusuk Buhit, yang masuk mikro kosmos lainnya adalah Sianjurmulamula, yang merupakan Bius (republik desa) pertama.
Konsep spiritualitas di Tanah Batak pada awalnya merupakan otoritas dari Parbaringin. Parbaringin dapat disebut sebagai pendeta yang berada dalam kesatuan Bius, sehingga dapat pula diartikan bahwa Parbaringin merupakan salah satu aparat dari Bius yang juga diwariskan secara turun-temurun. Setiap Bius bisa dipastikan memiliki Parbaringin. Buku ”Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX,” karya Sitor Situmorang, menyatakan bahwa situasi abad ke-19 agama Toba pada hakekatnya terdiri tiga unsur dalam prakteknya: 1) Agama Parbaringin yang terfokus pada pemujaan Sisingamangaraja/Raja Uti, yang dipimpin oleh Sisingamangaraja dan Parbaringin. 2) Pemujaan leluhur oleh Sisingamangaraja sebagai warisan tribalisme (kesukuan) dipimpin oleh tua-tua dari marga-marga, dan 3) Animisme/magi yang dipimpin oleh para Datu/ Shaman sebagai spesialis profesional (bayaran).
Jelaslah bahwa agama paling tua yang dimiliki oleh bangsa Batak adalah animisme dan pemujaan kepada leluhur (roh-roh nenek moyang). Ritual ini dipimpin oleh Parbaringin untuk wilayah teritorial di dalam Bius, sedangkan Datu (dukun) dapat memimpin ritual atas nama marga dan horja (pemilik lahan) yang terdapat di berbagai Bius. Hampir bisa dipastikan Parbaringin mulai terfokus pada pemujaan terhadap Sisingamangaraja sekitar abad 19. Sehingga pada abad 19 itu agama dan ritual-ritual keagamaan semakin marak di tanah Batak. Parbaringin melayani ritual keagamaan di dalam Bius, sedangkan Datu melayani ritual pemujaan melampaui batas-batas teritorial meskipun terbatas pada siapa yang memerlukan saja.
Disebut Parbaringin, karena selalu memimpin upacara dengan melilitkan kain putih yang diselipkan ranting pohon baringin di ikat kepalanya. Kadang kala, juga ikat kepala berupa kain tiga warna (merah-putih-hitam) yang disebut bonang manalu. Parbaringin mempunyai tugas yang jelas, yaitu mengatur jadwal bercocok tanam, mengatur kegiatan pemeliharaan irigasi dan memimpin ritual-ritual, terutama di dalam Bius.
Yang terpenting, Parbaringin adalah kelompok yang merupakan pencetus awal ideologi ”kesatuan nasional Toba.” Bahkan sejak abad 13 Parbaringin sudah menjadi pelopor sebagai kelompok elite pendeta yang memiliki kepekaan terhadap gelombang zaman. Dalam tulisannya, Sitor Situmorang, juga menyatakan bahwa Parbaringin adalah jabatan yang semula terbatas dalam sistem Bius saja. Tetapi, kemudian berkembang meliputi Kerajaan Sisingamangaraja yang bersifat supra-Bius (banyak bius-bius), sebagai kecenderungan bernegara tanpa melepaskan sistem Bius dengan otonominya. Sisingamangaraja XII pernah mengeluarkan surat pengangkatan bercap yang ditujukan kepada Parbaringin di daerah tertentu, yang sedang berada dalam situasi perang. Pada awalnya, Parbaringin adalah sebuah gerakan spiritualitas yang adalah juga cikal bakal gerakan sosial yang tumbuh di kebudayaan Batak. 
 
Gerakan Parbaringin ini juga mengambil bentuk-bentuk yang baru, seperti gerakan Parmalim dan Parhudamdam. Meskipun demikian, Parbaringin tetap menjadi roh dan kekuatan tersamar yang mengilhami usaha pemberontakan bersenjata melawan Belanda di Toba dan Dairi. Parbaringin kemungkinan dapat dikatakan adalah embrio bagi kemunculan Parmalim, mengingat keberadaannya yang lebih dulu ada.
Prof Dr W.B Sidjabat dalam bukunya ”Ahu Sisingamangaraja,” mencatat bahwa timbulnya gerakan Parmalim tahun 1870 adalah dalam rangka usaha Sisingamangaraja XII menjaga agar unsur-unsur agama Batak kuno dapat bertahan terutama dalam menghadapi agama Kristen, Islam dan penjajah Belanda.
Raja Sisingamangaraja XII berhasil mewariskan ajaran-ajaran Parmalim, karena sebelumnya sudah ada kultus dari masyarakat tentang konsep messianisme pada diri Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja XII dianggap bukan hanya sebagai pendeta-raja (priester koning), melainkan juga seorang messias dan disebut sebagai Malim Ni Debata, sebagai panutan spiritual pada Debata (Tuhan). Sehingga Parmalim sendiri dapat diartikan sebagai ajaran Malim Ni Debata, yaitu Sisingamangaraja XII. Sebelumnya, yang dinyatakan Malim Ni Debata hanya Raja Uti. Berbeda dengan Raja Uti, yang sampai saat ini masih menjadi legenda Batak, maka Sisingamangaraja XII sosok keberadaannya sangat nyata. Akhirnya, agama Parmalim dapat juga diartikan merupakan ajaran-ajaran dari Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja XII menjadi tokoh sentral menuju Tuhan (Debata). Belanda pun, dalam menumpas perjuangan Sisingamangaraja XII, termasuk dengan cara melarang setiap berlangsungnya kegiatan yang dilakukan oleh Parmalim.
Suatu ketika, Sisingamangaraja XII memberikan maklumat dirinya sedang sakit. Ketika itu, semua pemimpin Bius khawatir, sehingga Raja Mulia Naipospos selaku Parbaringin berangkat menuju Bakkara. Pada saat itu Sisingamangaraja XII belum sama sekali dibesuk oleh pemimpin bius lain. Ketika Raja Mulia tiba ternyata Sisingamangaraja sehat walfiat. Kepada Raja Mulia Naipospos diceritakan bahwa ancaman akan datang dan dukungan menentang Belanda semakin lemah. Proses regenerasi Parmalim dilaksanakan. Raja Mulia Naipospos dikabarkan mendapat surat secara langsung untuk mengurus keberlangsungan agama ini di Huta Tinggi, Laguboti. Kelanjutan agama Parmalim di Laguboti berlangsung terus hingga saat ini.
Tokoh sentral lainnya dalam gerakan Parmalim adalah Guru Somalaing. Guru Somalaing ini bukan merupakan Parbaringin melainkan seorang datu yang juga disebut guru. Sehingga terlihat dua perbedaan dengan Raja Mulia Naipospos sebagai keturunan Parbiringin. Guru Somalaing yang sebelumnya adalah penasehat perang Sisingamangaraja XII, dalam kaitan dengan Parmalim melakukan aksi-aksi penggorganisasian dalam menjalankan hubungan dengan Mulajadi Nabolon. Sedangkan Raja Mulia Naipospos tidak dimunculkan sebagai sosok perlawanan anti kolonial, dengan strategi melalui pengkaderan agama Parmalim untuk didekatkan kepada penyebaran misi zending Nommensen di Sigumpar. Gerakan Parmalim di Balige, yang dipelopori Guru Somalaing sekitar tahun 1890 ini, kemudian secara terpisah dilanjutkan oleh Raja Mulia Naipospos di Laguboti.
Guru Somalaing dikabarkan mendapatkan mimpi akan menggerakkan Parmalim. Saat itu, yang bersangkutan sedang mengungsi di Tamba setelah Balige direbut Belanda. Parmalim yang konstruksinya dibangun oleh Guru Somalaing sudah mengandung unsur agama Barat, yaitu Katolik. Hal ini dimungkinkan karena adanya hubungan pertemanan dekat antara Somalaing dengan seorang peneliti berasal dari Roma, Italia, yang bernama Emilio Modigliani. Hasil dari perjalanan peneliti Italia ini dan pertemanannya dengan Guru Somalaing, melahirkan tulisan berjudul ”Fra I Batacchi Indipendenti” yang artinya ”Mengunjungi Tanah Batak Merdeka.” Artinya kata ”Tanah Batak merdeka” sudah muncul pada tahun 1892 di Eropa saat tulisan itu diumumkan.
Meninggalnya Sisingamangaraja XII tahun 1907 tidak menyurutkan gerakan Parmalim dalam melawan Belanda. Ketika Sisingamangaraja dikabarkan terbunuh, Gerakan Parmalim bereaksi keras dan mengatakan bahwa sang Raja tidak mati melainkan sedang dalam keadaan menderita dan mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Raja juga dikabarkan dalam sosok seorang peminta-minta dan akan kembali ke Bakkara untuk mendirikan kerajaannya seperti sediakala. Sehingga Parmalim juga memiliki paham messianisme, sebuah keyakinan dan pengharapan akan kembali hadirnya sang messias, yaitu Sisingamangaraja. Pada tahun 1907, Somalaing juga masih terus melakukan perlawanan terhadap Belanda, dengan menganjurkan penduduk, terutama yang berada di Toba dan Habinsaran, untuk tidak bersedia dijadikan tenaga rodi dan membayar belasting.
Sampai saat ini Parmalim masih terus bertahan dan berjuang, meskipun Indonesia telah dinyatakan sebagai negara merdeka. Parmalim saat ini dinyatakan sebagai identitas pribadi sedangkan kelembagaan agamanya disebut dengan ugamo malim. Ugamo malim menyatakan bahwa permasalahannya sekarang adalah terhambatnya proses pengakuan sebagai agama. Saat ini sudah ada legitimasi oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2006. Undang-undang ini membuka kesempatan bagi Parmalim untuk dicatatkan sebagai bagian dari warga negara Indonesia melalui kantor catatan sipil, meskipun belum diberi kesempatan untuk menuliskan identitas agamanya di Kartu Tanda Penduduk.
Terkait Parmalim sebagai warisan Sisingamangaraja XII, sampai saat ini tidak ada keturunan dari Raja Sisingamangaraja XII yang masih menganut ugamo malim atau agama Parmalim. Meskipun pernah dikabarkan seorang keturunan langsung menghadiri ritual Sipaha Lima di Hutatinggi, Kecamatan Laguboti. Raja Tonggotua Sinambela adalah generasi ke-15 dan cicit langsung dari Raja Sisingamangaraja XII. Sedangkan nama Tonggotua sendiri dikabarkan nama yang diberikan oleh Raja Ungkap Naipospos selaku pimpinan Parmalim Nasiakbagi Hutatinggi generasi kedua. Raja Marnangkok juga menyatakan bahwa tahun 2007 untuk pertamakalinya keturunan langsung dari Raja Sisingamangaraja XII turut menghadiri ritual, meskipun yang bersangkutan sudah beragama Kristen. Sangat dilematis mengingat ritual Sipaha Lima adalah ritual keagamaan, maka yang bersangkutan tidak dapat mengambil bagian secara penuh. Bahkan Raja Marnangkok menyatakan apabila ada keturunan Sisingamangaraja XII yang masih menganut ugamo malim, maka Raja Mulia Naipospos selaku kakek saya, akan langsung menyerahkan tampuk dan mandat kepemimpinan ugamo malim kepada mereka.
Kesinambungan Parmalim bagi generasi berikutnya juga ditunjukkan dengan dibangunnya PSHT (Parmalim School Hoeta Tinggi), atau yang sering disebut Sekolah Parmalim. Sekolah ini didirikan 1 November 1939 di Huta Tinggi, Laguboti. Seperti umumnya agama-agama lokal yang hidup di beberapa tempat di Indonesia, ugamo malim memiliki nilai-nilai kearifan religius yang selayaknya terus digali.

Warisan hukum
 
Dalam buku “Ahu Si Singamangaraja” diuraikan Sisingamangaraja XII juga menyusun dan memberlakukan sebuah hukum yang harus ditaati. Hukum yang dibuat dan diberlakukan bagi penduduk Si Onom Hudon di Pearaja, Dairi, yang pada saat itu dalam keadaan yang relatif stabil. Sumber dari hukum ini dinyatakan oleh Sisingamangaraja XII sebagai ”hukum dari nenekku.” Perangkat hukum tersebut disusun setelah Si Singamangarajar XII pulang dari Aceh dalam rangka memperkuat hubungan diplomasi dengan wilayah tersebut, juga Tanah Karo dalam rangka pengangkatan Sibayak (raja) yang baru. Hukum di Dairi dibuat sekitar tahun 1890–1895. Hukum ini tidak ditulis oleh Sisingamangaraja XII sendiri, melainkan oleh anaknya, Raja Buntal. Hukum ini terdiri dari 11 pasal, yaitu: (1) Soal pembunuhan yang pada dasarnya diatur atas dasar lex talionis; (2) Soal hutang piutang; (3) Soal pemerkosaan seorang wanita yang sudah berumah tangga; (4) Soal pemerkosaan seorang wanita yang belum berumah tangga; (5) Seorang wanita yang mengambil inisiatif meninggalkan suaminya; (6) Larangan meracun; (7) Soal hewan piaraan yang terseruduk dan mati; (8) Larangan mencuri; (9) Hukuman tentang pencuri tanam-tanaman; (10) Tentang ganjaran bagi yang mengawini seorang wanita yang telah bertunangan; dan (11) Ganjaran bagi pembakar rumah. Kesebelas hukum ini terdapat dalam naskah Raja Buntal. 
 
Naskah Dairi lebih tipis dibandingkan Naskah Bakkara yang memuat 26 hal penting, sehingga naskah Bakkara ini lebih banyak dari naskah Dairi. Karena bidang yang dicakup lebih luas, seperti kemasyarakatan, hukum perkawinan. Juga terdapat aturan-aturan dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Sedangkan naskah Dairi lebih mengutamakan petunjuk yang berupa larangan-larangan. Arsip Bakara yang disusun oleh Sisingamangaraja XI juga disebut ”Pustaha Harajaon” (Pustaka Kerajan),i terdiri atas 24 jilid, yang setiap jilidnya setebal sekitar lima cm.
Garis besar dari pustaha harajon adalah: Pemerintahan Tuan Sorimangaraja selama 90 turunan mulai dari Putri Tapi Donda Mausan (Jilid 1-3). Pemerintahan kerajan Singamangaraja I sampai IX (Jilid 4 -7). Perihal pedang padri Tuanku Rao terhadap terhadap Tuan Nabolon Si Singamangaraja X (Jilid 8). Perihal Pongkinangolngolan dan Datu Aman Tagor Simanullang (Jilid 9). Perihal pendeta Pilgrim, pembunuhan atas diri pendeta Lyman dan Munson oleh Raja Panggalamei (Jilid 11-12). Periode pembangunan kembali ibukota kerajan Bakkara dan daerah-daerah Toba tahun 1835-1845 setelah pembumihangusan dalam Perang Bonjol (Jilid 13-16). Perihal Dr Junghun van der Tuuk yang datang menjumpai Singamangaraja XI dan perihal photonya (Jilid 17). Penobatan Ompu Sohahuaon menjadi Singamangaraja XI, yang pemerintahannya berlangsung sampai tahun 1886, dan perihal penyakit menular yang dahsyat di tanah Batak (Jilid 18-14). Pustaha Harajaon ini ditemukan pada tumpukan rumah kerajaan yang dibakar oleh tentara Belanda. Naskah ini dibawa ke Belanda oleh pendeta Pilgrams dan hingga saat ini tersimpan di sebuah museum di Leiden.
Terkait arsip hukum Bakkara, disebutkan sanksi dan ganjaran yang diberikan terhadap pencuri adalah keharusan menyediakan babi yang besar (babi na bolon). Ganjaran dengan keharusan memberikan babi na bolon juga telah diketahui saat Sisingamangaraja XI. Bahkan dalam naskah Bakara masih ada kemungkinan bila pencuri yang tertangkap tidak sanggup memberikan denda maka akan dijual (digadis). Ini barangkali terkait dengan kemungkinan berlangsungnya perbudakan pada masa itu. Naskah Bakkara memang jauh lebih tua bila dibandingkan dengan naskah Dairi, terlihat dari bahasa dan isinya yang terperinci. Naskah Bakkara juga memuat lebih banyak hal dibandingkan dengan naskah Dairi. Hal ini kemungkinan juga disebabkan karena Raja Buntal sangat terbatas sumbernya dalam menyusun, karena naskah Bakkara sendiri sudah dibawa ke Belanda. Selain itu, informasi yang diterimanya dari nara sumber Boru Sagala, Boru Nadeak, Boru Situmorang, Boru Siregar, Raja Sabidan dan Sunting Mariam terbatas.
Ironis bahwa kedua arsip tersebut belum dapat diakses oleh publik. Arsip Bakkara berada di perpustakaan Belanda, sedangkan Naskah Dairi masih belum diketahui wujudnya. Padahal kedua naskah sangat penting sebagai bahan sejarah. Juga merupakan hak kekayaan intelektual budaya Batak.
Oleh: Chris Poerba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar