Kamis, 01 Agustus 2013

Kerajaan Batak Tua

Berdasarkan informasi data yang dapat saya kumpulkan, baik yang berasal dari cerita rakyat, maupun data kepustakaan, konon kabarnya; sekitar abad pertama Masehi, telah berdiri kerajaan Batak (Pa’ta), berkedudukan di Batahan (diperkirakan, di sekitar kota Natal sekarang). Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh pantai barat Sumatera, yang pada zaman dahulu, disebut pulau Andalas (Baca: Adda las ?), sampai ke pulau Jawa bagian barat yang dihuni oleh suku Badui.
Konon sebutan/istilah Badui, berasal dari bahasa Austronesia purba yang juga masih banyak dipergunakan oleh orang Batak sekarang, terdiri dari dua suku kata, Ba-niadui (Nun disana).
Pada masa itu, bangsa Batak, menganut suatu kepercayaan yaitu Agama Malim; pimpinannya disebut Raja Malim, dibantu oleh para Nabi  (Panurirang) dan para pengikutnya disebut Parmalim.
Berkaitan dengan pemerintahan, Raja Malim bertindak sebagai penasehat dan disebut Paniroi/Sitiroi. (Seorang ahli ilmu bumi dari Iskandariah, bernama Claudius Ptolomeus, menyebutnya Satyroy). Kepala pemerintahan yang disebut Sirajai jolma bertindak sebagai Pemangku adat/Penegak hukum. (Bandingkan : Executip)
Terbetik berita, bahwa pada masa jayanya kerajaan Batak dahulu itu, didirikanlah Kampus Perguruan tinggi Parmalim di Gunungtua, dimana masih terdapat sisa-sisa peninggalannya hingga sekarang, antara lain:
Candi Portibi, Biaro Bahal I, Bahal II, Bahal III, Sitopaon (Sitopayan), Candi Pulo, Candi Barumun, Candi Singkilon, Candi Sipamutung, Candi Aloban, Candi Rondaman Dolok, Candi Bara, Candi Magaledang, Candi Sitopayan dan Candi Nagasaribu.
Raja raja dari Sriwijaya yang muncul kemudian dan berkuasa di pantai timur pulau Sumatra, tidak pernah mengganggu keberadaan kerajaan Batak di bagian barat; kabarnya, karena mereka masih ada hubungan keluarga; sama sama keturunan keluarga Sailendra, yaitu keluarga yang datang dari pulau Sai lam=Sai lan=Ceylon.
*.Menurut Drs. Nalom Siahaan, dalam bukunya Adat Dalihan Natolu hal. 9, disebutkan, bahwa di Palembang, terdapat batu bertulis yang berjudul Marmangmang. Dalam buku Sejarah Indonesia, ada juga yang menceritakan tentang prasasti kedukan bukit, yang berisikan sumpah sarapah, terdiri dari empatbelas baris. Marmangmang dalam bahasa Batak adalah Martolon, yang berarti=Mengangkat sumpah. Patut dipertanyakan, apa hubungannya batu marmangmang  yang di Palembang itu dengan orang Batak ?
Di daerah Sumatra bagian selatan, terdapat banyak nama/ istilah yang punya kesamaan dengan bahasa Batak (Karakteristik Batak), antara lain:

Palembang  = Palumbang   = luaskan/kembangkan
Lampung     = Lampung(u) = (semakin kumpul/bersatu.
Rajabasa      = Raja nabasa  = Raja yang budiman.
 To lang bawang (ejaan Cina)   = Tulang bao (ejaan  Batak),  berarti Paman dari istri.
Kubu               = Benteng pertahanan.
Dihubu           = Ditaklukkan / di rebut.
Sakai               = Sangkae baca: Sakkae)=1/4
Dan masih banyak lagi nama / istilah seperti itu, khususnya di daerah sekitar Danau Ranau dan Ogan Komering.
Kedatangan berbagai etnis India ke pantai timur Sumatera dan pantai Barat Sumatera Utara sudah jauh sekali sebelum Masehi, yaitu membawa agama Hindu dan terakhir kemudian juga agama Budha terutama masa arus angin dari India ke Barus pada bulan November dan Desember. Prof. Coomalaswamy* menulis bahwa Sumatera yang mula-mula sekali dari sejak sebelum Masehi menerima pendatang Hindu-India. Mereka membawa aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta.
Abad ke-V Masehi gelombang dari India Selatan membawa agama Budha ke Sumatera dan memperkenalkan aksara Nagari yang menjadi cikal bakal aksara Melayu Kuno, Batak dan lain-lain.
Sejak abad ke-3 M, transportasi perdagangan di kepulauan Nusantara berada di tangan orang Cola. Pusat di Tamilakam, diambil alih oleh orang Pallava yang kemudian pula ditaklukkan oleh Cola kembali diabad ke-9 M. Juga pada tahun 717 M pendeta Tamil Wajabodhi membawa aliran Tantrisme Mahayana Budha ke MALAYU seperti terdapat di candi di Padang Lawas dan patung Adytiawarman di Pagarruyung. Kesemuanya bersamaan dengan membawa juga pengaruh atas perdagangan dan adat-budaya kepada masyarakat di pantai Barat Sumatera Utara dan mereka membawa aksara PALLAWA.
Menurut Tome Pires (1515 M) Raja Pasai dan sebagian penduduknya berasal dari India Islam dari Bengal. Banyak Pedagang Gujarat, Kling dan Bengal di sini.
Di Barus, tepat nya di Lobu Tua (bekas pelabuhan internasional di masa kejayaannya) letak nya di pantai barat Propinsi Sumatera Utara telah ditemukan Batu Bersurat, tetapi atas perintah pembesar Belanda kepada Raja Barus Sutan Mara Pangkat sebahagian telah dihancurkan. Adapun sisa-sisa dari pecahan batu prasasti itu ada disimpan di seksi arkeologi Museum Pusat Jakarta, dan inskripsinya sudah diterjemahkan oleh PROF. DR. K. A. NILAKANTA SASTRI dari Univ. Madras ditahun 1931, yang menurut beliau prasasti itu dibuat ditahun Saka 1010 (=1088 M.). Itu masa pemerintahan RAJA COLA, Kerajaan yang diperintah oleh KULOTUNGGADEWA-I yang menguasai wilayah Tamil di India Selatan.
Kalau kita baca “HIKAYAT MELAYU” karangan Bendahara Melaka TUN SRI LANANG (abad ke-16 M), itu memang cocok dengan apa yang tertulis di prasasti TANJORE (1030 Saka), ketika Raja RAJENDRA COLA DEWA-I pada tahun 1025 M menyerang Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di Sumatera Utara dan Malaya (Pannai, Lamuri Aceh).
Dari Prasasti Lobu Tua itu dapat  kita ketahui bagaimana eratnya hubungan perdagangan dan budaya “benua” India dengan Sumatera. Prasasti Lobu Tua itu berisi tentang aktivitas perdagangan kumpulan konglomerat Tamil yang dikenal dengan nama “MUPAKAT DEWAN 1500”. Anggotanya terdiri dari berbagai sekte Brahmana, Wisnu, Mulabhadra dan lain-lain. Keberbagai negara mereka pergi membawa barang dengan kapal mereka sendiri dan disitu mendirikan Loji (gudang yang berbenteng yang dijaga oleh prajurit mereka). Mereka tidak tunduk kepada sesuatu kerajaanpun tetapi disambut hangat oleh setiap negeri/yang dikunjungi mereka.
Selanjutnya menurut sejarah, pada tahun 1.000. Masehi, kerajaan Batak ini, pernah mengirimkan utusan ke negeri Cina, untuk memperkenalkan hasil bumi. Berita ini, tertulis didalam buku Ling Wei Taita, disusun oleh Chou Ku Fei pada zaman dinasti Ming. Mendengar berita pegiriman utusan dagang ini, raja Negeri Cola dari India selatan menjadi tersinggung, karena antara negeri Batak dan Negeri Cola sebelumnya telah lama menjalin hubungan dagang.
Pada tahun 1024, Raja Rajendra Cola Dewa (1012–1044 ) dari negeri Cola menyerbu negeri Batak berbarengan dengan penyerbuan Kerajaan Sriwijaya, dan pada tahun 1029, setelah berperang selama lima tahun, negeri Batak dapat ditaklukkan. Raja negeri Batak ditangkap, tetapi tidak dibunuh; negeri itu ditinggalkan begitu saja tanpa pemerintahan.
  • Kerajaan Batak, Barus
Kemudian setelah jatuhnya kerajaan Batak tua (Batahan), yaitu sekitar tahun 1030, berbareng dengan munculnya kerajaan-kerajaan baru pecahan dari kerajaan Batak Tua dahulu, Raja Malim (Pimpinan agama Malim) dari Gunungtua, menobatkan menantunya menjadi raja, “sirajai jolma” (Kepala Pemerintahan), berkedudukan di Barus.
Untuk menunjukkan bahwa dialah yang mulamula/pertama menjadi raja di kerajaan Batak Barus, maka dinamakanlah dia Raja Mula. Raja Mula digantikan oleh anaknya, yaitu Raja Donia, kemudian Raja Donia digantikan oleh anaknya yaitu Raja Sorimangaraja Batak I(Sorimangaraja = Sri Maharaja). Sepeninggal Sorimangaraja Batak I, naik tahtalah anaknya yang kedua bernama Nasiak dibanua; kemudian, raja Nasiakdibanua digantikan oleh anaknya, bergelar Sorimangaraja Batak II.
Dari permulaannya sudah demikian, raja-raja Batak Barus selalu mengambil isteri dari keluarga Raja Malim ; kebiasaan ini dipandang perlu dipertahankan, demi menjaga keserasian pemerintahan (Konstelasi politik); Sorimangaraja Batak II pun, memperisterikan putri Raja Malim juga, yang melahirkan lima orang putra baginya; Putra sulung bernama Siraja Bahar, kedua bernama Sinambeuk, ketiga si Pakpak, ke empat bernama Jonggolnitano dan yang kelima bernama Raja Mangisori yang juga disebut Nagaisori.
Dari kelima orang putra Sorimangaraja Batak II sebagai mana disebutkan diatas, hanya Sinambeuk yang mengambil isteri dari keluarga Raja Malim, yaitu saudara perempuan dari Raja Malim Mutiaraja. Dari perkawinannya itu, Sinambeuk memperoleh seorang putra yang dinamakan Si Raja Batak; dia inilah yang kelak dikemudian hari mendirikan perkampungan Sianjur mulamula di tanah Toba.
Pada masa pemerintahan Sorimangaraja Batak II, datanglah orang Melayu Pagarruyung menyerbu negeri Batak Barus; mereka dibantu oleh para saudagar Islam yang datang dari Gujarat, yang menelan banyak korban jiwa. Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, Sorimangaraja Batak II sudah dapat memperhitungkan, bahwa dia akan kalah perang, maka pada suatu kesempatan, dialihkannyalah kekuasaan pemerintahannya kepada Raja Malim Mutiaraja keponakannya itu (Paraman), dengan perjanjian, bahwa kelak dikemudian hari, kalau situasi sudah memungkinkan, kerajaan itu harus dikembalikan kepada ahli waris. Mereka mengikat perjanjian itu dengan suatu tanda barang pusaka, yang mereka namakan Tabutabu sitara pullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang,yang berarti: “Dari mana datangnya, harus kesitu juga kembalinya“.
Sejak peristiwa pengalihan kekuasaan itu, Mutiaraja memegang dua tampuk kepemimpinan, yaitu: selaku pimpinan agama disebutRaja Malim dan selaku Kepala pemerintahan (Sirajai jolma), disebut Raja Uti.
Pada awalnya, gelaran Kepala pemerintahan itu disebut Raja Unte (baca: Utte), hal ini berkaitan dengan kebiasaan Mutiaraja selaku pimpinan agama (Raja Malim), selalu mempergunakan Jeruk purut (Unte pangir) didalam upacara-upacara keagamaan. Disebut juga Mutiaraja itu dengan sebutan Raja Mangalambung yang arti harfiahnya, menyamping/dari samping, karena dia bukan dari ahli waris. Seirama dengan penggelaran itu, muncullah kebiasaan sesajenan yang membedakan pimpinan agama dengan Kepala pemerintahan; Jika seseorang ingin berhubungan dengan pimpinan agama (Raja Malim), maka sesajenannya adalah kambing warna putih (Hambing sibontar), tetapi jika ingin berhubungan dengan Kepala pemerintahan (Raja Uti), maka sesajenannya adalah kambing warna hitam (Hambing silintom).
Perkiraan Sorimangaraja Batak II tentang perang itu menunjukkan kebenarannya ; dia bersama anaknya Sinambeuk, mati terbunuh dalam perang.
Pada zaman itu, sudah menjadi kebiasaan, bahwa semua keturunan raja yang kalah perang, harus dibunuh, agar tidak muncul kerajaan baru yang akan balas dendam; maka demi keselamatan, setelah Sorimangaraja Batak II mati terbunuh, dan para keluarga raja melarikan diri selagi ada kesempatan.
Konon kabarnya, setelah beberapa generasi kemudian, terbetiklah berita, bahwa:
*   Keturunan Si Raja Bahar telah bermukim di Desa Garo (Garo = Pisang) yang kemudian berubah sebutan menjadi Karo.
*   Keturunan Si Raja Batak, anak dari Sinambeuk, bermukim di Toba.
*   Keturunan Si Raja Pakpak, bermukim di Dairi (Dai Ri).
*   Keturunan Jonggol ni Tano yang memperanakkan Raja Pandudu dan Raja Mante (Mantela), bermukim di Aceh Pidie
(Perlu diteliti lagi, apakah Pidie, berasal dari kata Pudi ? ).
*   Keturunan Raja Mangisori (Nagaisori), bermukim di Daerah Singkil dan Tapak Tuan.
Selanjutnya, perkembangan agama Islam di Barus sangatlah pesatnya, terlebih lagi setelah penguasa Barus masuk memeluk agama itu. Orang Batak yang pertama masuk agama Islam di Barus adalah seorang guru pencak silat, bernama Guru Marnangkok; dan banyaklah orang Batak masuk memeluk agama Islam di Barus. Tak lama setelah penaklukan negeri Barus, bersepakatlah penguasa negeri itu dengan para saudagar Islam, untuk mendirikan negeri baru berbasis Islam yang mereka namakan Negeri Fansur, orang Batak meyebutnya Pansur.(baca:  Paccur).
  • Kerajaan Batak, Pea Langge.
Sejak   zaman   dahulukala,   Raja  Malim  selaku  pimpinan agama Malim, selalu  dipilih  berdasarkan  rapat  kenabian,   bukan seperti kerajaan  yang menjadi warisan turun-temurun.  Dimasa tuanya Mutiaraja, dipilihlah penggantinya untuk memimpin agama dan pemerintahan, (Jabatan rangkap),   maka terpilihlah Raja Malim/Raja Uti II.
Pada  masa  jabatan  Raja  Malim / Raja  Uti   IV,  datanglah raja negeri   Fansur  dari  Barus   menyerbu  negeri  Batak  Pea Langge, terjadilah pertempuran, saling bunuh  membunuh.  Setelah Ompu Bada (Ompu Bada = Panglima Perang) yang memimpin pasukan Pea Langge mati terbunuh, maka, takluklah  negeri  itu.
Raja Malim/Raja Uti IV bersama  para   pengikut  setia nya,  menyingkir ke suatu pulau di lautan Hindia, disebelah barat Pea Langge.; sesuai dengan bentuk pulaunya, dinamakanlah pulau itu, Pulo Munsung Babi. (Sekarang ini didalam peta,  dinamakan Pulau Babi, masuk Kecamatan Pulau banyak).
Sejak  itu,   raja Malim /  Raja  Uti   IV  dengan   para peng gantinya Raja Malim/Raja  Uti  V, VI dan Raja Malim/Raja Uti VII, disebut oranglah dengan sebutan Raja dari Pulau Munsung Babi, akan tetapi, dikemudian hari,  demi  gampang nya diucapkan, disebut/disingkat oranglah dengan sebutan Raja Munsung Babi.
* Nama Raja Uti II dan para  penggantinya, belum dapat diketahui.
* Cerita rakyat di Toba tentang Raja Uti, disarikan tersendiri  dalam Bab V.  Sipahusorhusoron ni roha.
  • Kerajaan Sianjurmulamula.
Sebagaimana telah disampaikan diatas, bahwa sebelum Sorimangaraja Batak II mati terbunuh, dia sempat mengalihkan kekuasaannya kepada Raja Malim Mutiaraja.
Setelah kerajaan Batak Barus jatuh ketangan musuhnya, didalam situasi yang serba semraut, Mutiaraja menyuruh si Raja Batak keponakannya itu (Bere), agar melarikan diri kesuatu tempat yang ditunjukkannya; diberikannya seruas bambu yang berisikan dua gulungan surat (Dokumen), terdiri dari Pustaka Tombaga Holing yang berisikan ilmu kemiliteran dan Pustaka Surat Agong yang berisikan ilmu Tata Negara
Selanjutnya, berangkatlah si raja Batak menuju tempat yang dimaksudkan oleh Mutiaraja pamannya itu; susah payahnya diperjalanan naik gunung turun lembah, tidak dihitung-hitung lagi berapa hari sudah berlalu. Di suatu hari, dalam kondisi capek kelelahan, istirahatlah dia disuatu tempat, lalu duduk diatas sebongkah batu datar (batu ceper) yang dinamakannya batu peristirahatan (Batu Pangulonan), akan tetapi dikemudian hari, dinamakan oranglah itu Batu Hobol, ada juga yang menyebutnya Batu Hobon. Setelah tenaganya pulih kembali, dilanjutkanlah perjalanan; rasa capek dan terik matahari membuatnya kehausan, namun perjalanan harus juga diteruskan, berjalan dan berjalan, menahankan capek dan kehausan; tak disangka tak di nyana, ditemukannya sebuah umbul air, lalu minumlah dia melepas dahaga, maka dinamakannyalah umbul air itu Aek sipaulak hosa loja, yang berarti: umbul air pemulih tenaga.  Setelah minum sepuasnya, diteruskan lagi perjalanan, hingga pada waktu hari mulai senja, sampailah dia ditempat yang dituju, yaitu sebuah Gua batu yang dipesankan oleh pamannya Mutiaraja gelar Raja Malim/ Raja Uti I; kemudian, dinama kannyalah gua itu Liang Raja Uti. (Liang = Gua).
Demikianlah agaknya kebiasaan orang di zaman dahulu kala, kalau mau berdoa (Martonggo) kepada Tuhan sang pencipta, haruslah di puncak gunung, karena menurut pikirnya, lebih dekatlah dari sana berseru kepada sang pencipta Ompu Mulajadi nabolon, yang bermukim di benua atas, dilangit yang ketujuh, maka pada hari-hari berikutnya, si Raja Batak merencanakan naik ke puncak gunung yang ada dekat disana, untuk menyampaikan doa permohonannya. Pada hari yang ditentukan, diambilnya seekor ikan besar, yaitu Ihan Batak/Dengke layan (sejenis ikan Jurung), dimasaknya dan dibawa naik ke puncak untuk dipersembahkan sebagai sajian khusus, pengalas permohonan; kemudian, dinamakannyalah tempat itu Pusuk Buhit, yang berarti: puncak bukit.
Konon menurut berita, selang beberapa waktu setelah jatuhnya Barus, Mutiaraja gelar Raja Malim/Raja Uti I, diam-diam dalam rahasia, dia bersama puterinya, datang dari Barus ke Toba mencari si Raja Batak keponakanya itu; mereka berjumpa dan bermalam di Gua batu/Liang Raja Uti selama dua malam. Dalam pertemuannya itu, Mutiaraja gelar Raja Malim/Raja Uti I, mengamanahkan kepada Si Raja Batak untuk mempersiapkan berdirinya kembali kerajaan Batak.
  • Kerajaan Batak, Bakkara.
 Bakkara
Sebelum   kita  cerita  tentang   kemunculan   kerajaan Batak di Bakkara, baiklah terlebih dahulu disampaikan,  bahwa berdasarkan informasi data yang dapat dikumpulkan,   Raja Manghuntal   lahir pada tahun 1520, dan dinobatkan menjadi Raja Sisingamangaraja I pada tahun 1550 oleh Raja Uti VII di Pulau Munsung Babi.
*. Dalam Sejarah umum, tercatat bahwa Portugis telah menaklukkan negeri Malaka pada tahun 1511, berarti, Raja Manghuntal (Sisingamangaraja I), belum lahir pada waktu itu.
Berdasarkan Silsilah yang sudah baku dikalangan orang Batak Toba, Raja Manghuntal adalah generasi yang ketujuh dari Si Raja Batak; jadi, kalau di hitung-hitung satu generasi adalah 25 (dua puluh lima ) tahun,  dalam arti sudah pantas punya anak, maka  Si Raja Batak  tentulah  sudah  lahir sekitar 175 tahun lebih dahulu dari Raja Manghuntal, yaitu sekitar tahun 1345; dan kalau benar Si Raja Batak itu berumur sembilan belas tahun pada waktu berangkat menyingkir dari Barus, maka Si Raja Batak,   mestinya sudah tiba di Toba, sekitar tahun 1364.
Perjanjian Sorimangaraja Batak II dengan Raja Malim Mutiaraja yang ditandai dengan barang pusaka “Tabutabu sitarapullang,  ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang”, agaknya beredar juga secara rahasia dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi, diantara orang-orang tertentu dari kalangan keluarga Si Raja Batak di Toba. Sangkarsomalidang, anak sulung raja Isumbaon, pergi ke Barus dan bermukim disana sebagai mata-mata (Inteligen) melihat/menunggu kemungkinan pengembalian kekuasaan atas kerajaan Batak, akan tetapi, pada masa itu, situasinya belum memungkinkan; Sariburaja pun, pergi juga ke Barus dengan maksud yang sama, akan tetapi, situasinya serupa juga, belum memungkinkan.
Setelah beberapa generasi kemudian, sampailah berita kepada raja Manghuntal di Bakkara, bahwa Raja Malim/Raja Uti VII, ada bermukim di Pulau Munsung babi, maka disuatu waktu, berangkatlah raja Manghuntal kesana untuk membicarakan perjanjian yang dibuat oleh leluhurnya Sorimangaraja Batak II.  Sehubungan dengan niatan itu, Raja Malim /Raja Uti VII, terlebih dahulu meneliti kemampuan raja Manghuntal (semacam test uji coba termasuk kesaktian). Setelah di yakininya, bahwa raja Manghuntal memang mampu untuk maksud itu, maka sepakatlah Raja Malim/Raja Uti VII, mengembalikan kekuasaan atas kerajaan Batak kepada raja Manghuntal (ahli waris), sesuai dengan perjanjian Tabu tabu sitara pullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang.
Didalam acara penobatannya, pihak Raja Uti disimbolkan, mulai dari Raja Uti I s/d Raja Uti VII, menyerahkan kembali kekuasaan atas kerajaan Batak sesuai perjanjian, dan sebagai tanda pengembalian, secara simbolik, diserahkanlah 7 (tujuh) macam barang pusaka, yaitu:
1.  Piso Solam Debata, tanda sitiop harajaon (Keris, tanda pemegang kekuasaan). Konon Piso Solam ini dibawa oleh Belanda dan sampai saat ini belum diketahui keberadaan nya, Kami memohon informasi kepada siapapun yang mengetahui keberadaan piso ini.
2.  Hujur siringis, siungkap mata mual (Tombak, pembuka mata air).
3.  Tumtuman sutora malam, Tali tali harajaon (Mahkota)
4.  Ulos Sandehuliman, siambat api (Kain/Ulos pemadam api permusuhan, bahwa tidak akan ada permusuhan antara Raja/Kepala pemerintahan dengan Raja Malim pimpinan agama).
5.  Lage silintong pinartaraoang omas, lapik panortoran ni Raja (Tikar permadani, alas tempat Raja menari).
6.  Tabu tabu sitarapullang, ia sian i dalanna ro, ingkon tusi do dalanna sumuang (perjanjian).
7.  Gajah sibontar, pangurupi di nadokdok (Gajah putih simbol tanggung   jawab).
Pada  Acara  pelantikannya, disebutlah  Raja Manghuntal  dengan gelaran Sisingamangaraja I (pemula Dinasti Sisingamangaraja); dan setelah pengembalian itu, berakhirlah masa pemerintahan dinasti Raja Uti;   maka, dengan demikian, terwujudlah apa yang dicita-citakan/ direncanakan oleh Si Raja Batak  bersama Mutiaraja pamannya itu pada waktu kujungan dua harinya di Toba;  Kerajaan Batak berdiri kembali dibawah pemerintahan dinasti Sisingamangaraja, berkedudukan di  Bakkara.
Secara berturut-turut yang menjadi Raja Batak, Bakkara berikutnya
Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
Singamangaraja III, Raja Itubungna.
Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja.
Singamangaraja V, Raja Pallongos.
Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk,
Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut,
Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal
Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan,
Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon,
Singamangaraja XI, Ompu Sohahuaon,
Singamangaraja XII, Patuan Bosar (Ompu Pulo Batu)

 

4 komentar:

  1. Saya mau bertanya kepada amang, siapakah Si Raja Uti?
    Apakah makna 7 hali Solam, 7 hali malim?
    Berapakah nama julukkan Raja Uti?.

    BalasHapus
  2. Mau tanya apakah keluarga atau sanak saudara Singamangaraja XII, Patuan Bosar (Ompu Pulo Batu) (walaupun dua anaknya telah meninggal dunia bersama raja tersebut) masih hidup atau ada insan yang mengaku mereka adalah keluarga keturunan raja ini?

    BalasHapus
  3. Anda dapat sejarahnya dari mana

    BalasHapus
  4. Anda dapat referensi sejarahnya dari batahan batak tua..

    BalasHapus